Jayapura, Papua (ANTARA) - Di Lembah Grime Nawa, Tanah Papua, tampak hamparan kebun kakao yang tumbuh subur di lahan seluas 900 ribu hektare itu.
Lembah ini terbelah oleh aliran Sungai Grime yang melintasi wilayah adat Kemtuk, Klesi, dan Namblong. Sementara Nawa, melintasi Kaureh dan Kautabakhu. Daerah-daerah ini berada di wilayah Kabupaten Jayapura,
Photovoices International (PVI) bekerja sama dengan Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Suku Namblong dan Suara Grina, membawa Antara sampai di Lembah Grime Nawa, Kampung Insar, Selasa (11/2).
Daerah ini terkenal dengan tanaman kakaonya yang berkualitas sejak era invasi Belanda pada 1932.
Ferdinand Giay (49), petani kakao, menyebut hampir seluruh keluarga di Kampung Imsar memiliki kebun kakao tetapi, sejak tanaman mereka diserang hama kepik penghisap buah kakao (Helopeltis spp), jamur, dan hama penggerek buah, pada medio 2019, mereka mulai meninggalkan kebun kakao sehingga tidak dirawat lagi.
Ferdinand termasuk petani kakao yang bertahan sejak 1997 hingga sekarang.

Akhir 2024, menjadi lembaran baru bagi kebangkitan tanaman Kakao di Kampung Imsar. Pemerintah Kabupaten Jayapura telah memperkenalkan varian bibit baru yang diklaim lebih tahan hama dan mulai disebarkan kepada masyarakat.
Harga cokelat atau kakao basah dengan kondisi standar atau ukuran kecil dihargai antara Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram. Untuk cokelat kering, dilepas seharga Rp95 ribu per kilogram.
Pasar mancanegara
Papua memiliki potensi besar dalam industri kakao global, terutama di tengah penurunan produksi kakao di Afrika akibat perubahan iklim dan alih fungsi lahan.
Marketing Advisor PT Kakao Kita Papua, Akiko Tsuru, yang ditemui Antara di Sentani, menilai kualitas kakao Papua masih bisa ditingkatkan dengan fermentasi yang lebih baik.
PT Kakao Kita Papua, yang berbasis di Surabaya dan Kota Raja, Papua, telah mengekspor kakao dari Papua ke Jepang sejak 2015. Prosesnya dimulai dari pengolahan biji kakao di Jawa menjadi produk setengah jadi seperti bubuk, lemak, dan pasta, sebelum dikirim ke Jepang untuk diolah menjadi berbagai produk cokelat.
Perusahaan ini bekerja sama dengan petani di beberapa daerah, termasuk Genyem, Imsar, dan koperasi petani kakao di Papua. Perusahaan fokus membeli kakao organik yang bebas dari zat kimia, sehingga jumlah produksi terbatas sekitar 10 ton per tahun.
"Produk coklat itu langka di dunia, banyak orang mencarinya. Di Afrika, produksi mulai menurun karena perubahan iklim dan alih fungsi lahan. Petani di sana banyak beralih ke kelapa sawit atau pertambangan," katanya.
Tantangan utama di Papua adalah kebiasaan petani yang lebih memilih menjual kakao dalam kondisi basah atau kering tanpa melalui fermentasi yang optimal.
Proses fermentasi yang memakan waktu sekitar dua pekan sering kali dianggap terlalu lama, karena petani membutuhkan uang dengan cepat.
Baca juga: Kekayaan kebun Kampung Imsar di Jayapura
Baca juga: BRIN berhasil ciptakan 12 varietas unggul baru tanaman perkebunan