Jakarta (ANTARA) - Bila seorang Presiden Amerika Serikat menyatakan akan mengambil alih Jalur Gaza dan menyamakan wilayah kantung Palestina tersebut sebagai Riviera di Timur Tengah, maka itu seperti menyaksikan plot film satir politik Hollywood.
Namun, hal tersebut benar-benar dikemukakan oleh Donald Trump, yang menyatakan itu saat melakukan konferensi pers bersama dengan kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu, yang tengah mengunjungi AS pada Selasa (4/2).
Riviera itu sendiri adalah istilah untuk daerah kawasan tepi pantai Mediterania yang memiliki iklim yang moderat dengan langit biru yang indah serta lautan yang luas dan memukau, baik di wilayah Prancis (French Riviera), ataupun Italia (Italian Riviera).
Sebagai seorang yang banyak bergelut di sektor properti, Trump seperti melihat pengembangan real estat sebagai solusi yang jitu untuk berbagai persoalan di tingkat global.
Dengan menguasai Gaza --dan tentu saja untuk mengembangkan kawasan tepi pantai ala Riviera di daerah yang sebelumnya telah dibombardir oleh bom Zionis Israel--, Trump menyatakan bahwa pihaknya berencana untuk "melucuti semua bom aktif berbahaya dan senjata-senjata lainnya, meratakan wilayah itu, dan membersihkan gedung-gedung yang hancur".
Trump juga membayangkan bahwa masyarakat dunia akan tinggal di Gaza sehingga kawasan tersebut akan menjadi sebuah "tempat internasional yang luar biasa" sehingga seluruh perwakilan dari seluruh dunia akan tinggal di sana. Dengan logika seperti itu, maka sama saja Trump juga mengundang "perwakilan" dari Israel untuk membangun pemukiman di sana, yang sudah jelas merupakan pelanggaran dari keputusan internasional dan dikecam baik oleh PBB maupun banyak negara.
Dalam sejumlah kesempatan sebelumnya, Trump juga sangat pe-de bahwa Yordania dan Mesir akan menerima relokasi warga Palestina dari Gaza, padahal spoiler, usulan Trump, telah ditolak mentah-mentah oleh kedua negara tersebut. Dengan mengusulkan "pengosongan" Gaza itu, maka tidak heran bila ada yang menuding langkah tersebut sama saja dengan merencanakan "pembersihan etnis".
Selain gagasan proyek properti untuk pengembangan kawasan pantai di Gaza, Trump memang telah lama dikenal dengan kontroversi terkait dengan konflik Palestina-Israel. Biasanya, pendekatan terhadap konflik itu "dibungkus" dengan konsep menciptakan peluang ekonomi bagi warga Palestina, yang dapat melibatkan infrastruktur, investasi, dan beragam potensi proyek pembangunan.
Namun, jika menyangkut rencana spesifik seperti pembangunan seperti kawasan tepi laut atau tepi pantai di Gaza, tentu saja hal tersebut harus benar-benar peka terhadap kompleksitas politik dan kemanusiaan di wilayah tersebut. Harus diingat bahwa hingga awal Februari ini, otoritas Gaza telah mengungkapkan bahwa sedikitnya 61.709 warga Palestina telah tewas akibat perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza dalam konferensi pers di Kota Gaza, Ahad (2/2), menyatakan bahwa dari jumlah tersebut, hanya 47.487 jenazah yang berhasil dievakuasi ke rumah sakit, sementara 14.222 lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan. Terungkap pula bahwa dari korban tewas termasuk pula 17.881 anak-anak, di antaranya 214 bayi yang baru lahir.
Menurut pejabat tersebut, setidaknya 1.155 tenaga medis, 205 jurnalis, dan 194 petugas pertahanan sipil juga tewas dalam serangan Israel yang turut merusak lebih dari 450.000 unit rumah. Sedangkan lebih dari 2 juta warga Palestina dipaksa mengungsi, dengan banyak di antaranya harus berpindah lebih dari 25 kali di tengah ketiadaan layanan dasar untuk kehidupan sehari-hari.
Dengan banyak negara yang mengecam langkah pembantaian warga Palestina tersebut, maka bila ada kebijakan yang akan membuka Gaza untuk dijadikan pemukiman tidak hanya bagi warga Palestina tetapi juga bagi warga negara lain, termasuk Israel, akan menjadi langkah yang sangat sensitif baik dari segi kompleksitas politik maupun dari aspek kemanusiaan masyarakat Palestina.
Dalam hal sensitivitas politik, perlu diingat bahwa Jalur Gaza telah menjadi jantung konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade. Setiap rencana yang melibatkan warga Israel untuk menetap di Gaza dapat dilihat sebagai pelanggaran signifikan terhadap hak dan kedaulatan Palestina.
Gaza adalah dan harus selalu menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan, sehingga bila ada izin agar warga Israel untuk menetap di sana akan merupakan langkah yang berpotensi memperburuk konflik. Belum lagi telah diketahui bahwa kegiatan permukiman Israel di Tepi Barat telah banyak dikritik secara internasional dan merupakan kebijakan yang ilegal.
Baca juga: Mesir dan Palestina bahas pemulihan Gaza tanpa relokasi warga Palestina
Baca juga: PBB: Lebih dari 565 ribu orang menyeberang ke Gaza Utara sejak 27 Januari