Jakarta (ANTARA) - Ketika dunia perlahan menjadi ruang tanpa batas, di mana informasi bergerak lebih cepat dari kecepatan suara, kita dihadapkan pada sebuah ironi: otak manusia, pusat dari segala keunggulan kita sebagai makhluk berakal, tampaknya sedang mengalami "korsleting" di tengah derasnya aliran informasi.
Istilah brain rot, atau yang secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi "pembusukan otak," telah menjadi bahasa sehari-hari di dunia maya. Namun, apakah ini sekadar metafora belaka, atau ada implikasi nyata yang patut kita cermati?
Melalui opini reflektif ini, kita akan menyoroti fenomena brain rot berdasarkan multiperspektif, mulai dari neurologi hingga sosiologi, untuk memahami bagaimana ia bekerja, mengapa ia mengakar, dan bagaimana solusinya.
Sebagai sebuah fenomena modern, brain rot adalah produk sampingan dari kehidupan digital yang tak terelakkan. Ia adalah tanda zaman, manifestasi dari bagaimana otak kita beradaptasi—atau gagal beradaptasi—dengan cara hidup yang sepenuhnya baru.
Bayangkan otak manusia sebagai ladang yang subur. Sebuah ladang membutuhkan air untuk menumbuhkan tanaman. Namun, apa yang terjadi jika air terlalu banyak? Alih-alih menyuburkan, banjir akan merusak tanaman, mencabut akarnya, dan mengubah ladang subur menjadi rawa tak produktif.
Dalam konteks ini, informasi adalah "air" bagi otak kita. Informasi memang diperlukan untuk perkembangan kognitif, tetapi ketika banjir informasi tak terelakkan—seperti yang kita alami saat ini—otak kita terancam tenggelam dalam kekacauan.
Istilah brain rot sering kali digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana seseorang merasa otaknya "tumpul," kesulitan berkonsentrasi, dan kehilangan kemampuan berpikir kritis setelah terlalu banyak terpapar media sosial, video pendek, atau bahkan video games.
Secara ilmiah, ini bukanlah fenomena yang dapat direduksi menjadi satu sebab-akibat yang sederhana, tetapi lebih merupakan efek kumulatif dari berbagai aspek kehidupan modern.
Mekanisme ilmiah brain rot
Otak manusia adalah organ yang sangat plastis. Dari perspektif neurosains, neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi.
Namun, neuroplastisitas ini juga memiliki kelemahan. Ketika otak terus-menerus menerima rangsangan dari konten yang dangkal dan cepat—seperti video TikTok yang hanya berdurasi 15 detik atau unggahan Instagram yang memprioritaskan visualisasi estetis daripada substansi—neuron-neuron kita mulai terbiasa dengan pola ini.
Sistem dopamin, yang bertanggung jawab atas perasaan senang atau puas, menjadi terlalu aktif. Setiap kali kita men-scroll layar ponsel dan menemukan sesuatu yang menarik, otak memberikan "hadiah" berupa semburan dopamin.
Namun, ini adalah pedang bermata dua. Jika proses ini terus berlangsung, otak akan mulai membutuhkan rangsangan yang lebih intens untuk menghasilkan jumlah dopamin yang sama, mirip dengan mekanisme yang terjadi pada kecanduan narkotika.
Fenomena ini sering disebut sebagai dopamine hijacking, di mana aktivitas otak yang seharusnya diarahkan untuk pemikiran mendalam dan refleksi justru dialihkan untuk mencari kepuasan instan.
Apa efek selanjutnya? Penurunan kemampuan untuk fokus, kesulitan menyelesaikan tugas kompleks, dan rasa lelah mental yang tak kunjung hilang.
Fenomenologi Brain Rot
Dari perspektif sosiologi, brain rot adalah refleksi dari bagaimana masyarakat modern menciptakan budaya konsumsi informasi yang tidak sehat.
Kita hidup dalam era di mana attention economy (ekonomi perhatian) mendikte hampir semua aspek kehidupan digital. Perusahaan teknologi berlomba-lomba merebut perhatian pengguna dengan menciptakan algoritma yang dirancang untuk membuat kita terus terhubung.
Dalam lingkungan ini, perhatian manusia menjadi komoditas yang paling berharga.
Namun, seperti halnya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, “eksploitasi perhatian” juga membawa dampak destruktif. Dalam budaya yang serba cepat ini, nilai-nilai mendalam seperti kesabaran, introspeksi, dan pemikiran kritis semakin terpinggirkan.
Kita lebih sering mendengar opini dangkal dibandingkan analisis mendalam. Berita utama (headlines) di media sosial sering kali cukup untuk membentuk opini publik, tanpa memerlukan pembacaan lebih lanjut.
Konsekuensi sosial dari brain rot juga mencakup fragmentasi komunitas. Dalam ruang digital, kita cenderung terjebak dalam echo chambers (ruang gema) yang memperkuat bias dan prasangka kita. Interaksi kita menjadi dangkal, dibatasi oleh emoji (seperti: like) dan komentar singkat, yang sering kali tidak memiliki kedalaman emosional atau intelektual.
Uniknya, hal ini kini menjadi parameter kesuksesan dan kebahagiaan bagi sebagian generasi milenial atau netizen tanpa sadar. Semakin banyak like dan komentar, seolah semakin populer dan dianggap pakar. Sungguh suatu fenomena yang sangat memprihatinkan, namun sudah telanjur mengakar.
Efek psikologis
Brain rot juga memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental. Banyak orang melaporkan perasaan burnout digital—keadaan di mana mereka merasa lelah secara mental dan emosional akibat paparan teknologi yang terus-menerus. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa konsumsi media sosial yang berlebihan dapat memicu perasaan rendah diri, kecemasan, dan bahkan depresi.
Fenomena comparison culture (budaya perbandingan) yang dihasilkan oleh media sosial memperparah kondisi ini. Ketika kita terus-menerus membandingkan kehidupan kita dengan versi terbaik kehidupan orang lain yang ditampilkan secara selektif di platform digital, kita kehilangan kemampuan untuk merasa puas dengan diri sendiri.
Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana kita mencari validasi eksternal melalui "likes" dan "followers," hanya untuk merasa semakin kosong setiap kali ekspektasi kita tidak terpenuhi.
Salah satu area di mana dampak brain rot sangat terlihat adalah dalam dunia pendidikan. Guru dan dosen melaporkan bahwa siswa mereka semakin sulit untuk berkonsentrasi, membaca teks panjang, atau mendiskusikan ide-ide kompleks. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk mengembangkan pemikiran mendalam malah sering kali terbentur oleh pendekatan pembelajaran yang terlalu dangkal.
Dengan dominasi teknologi dalam pembelajaran, ada risiko bahwa siswa lebih memilih jawaban cepat daripada pemahaman mendalam. Murid cenderung menyukai soal berupa pilihan ganda daripada uraian. Ini tidak hanya menghambat kemampuan kognitif, tetapi juga membatasi potensi mereka untuk berkembang sebagai individu yang kritis dan kreatif.
Jalan keluar
Meski fenomena brain rot tampak suram, ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Salah satu pendekatan yang populer adalah digital detox, yaitu mengurangi atau bahkan menghilangkan penggunaan perangkat digital untuk jangka waktu tertentu. Praktik ini dapat membantu otak untuk reset, memungkinkan kita untuk memulihkan kemampuan fokus dan refleksi yang hilang.
Pendekatan lain adalah melalui mindfulness (kesadaran penuh), yaitu praktik untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen tanpa distraksi. Dengan melatih mindfulness, kita dapat membangun kembali hubungan yang sehat dengan teknologi dan informasi. Contohnya sederhana. Saat kita makan bersama sahabat atau keluarga, kita bisa berdiskusi dan berbincang akrab, tanpa harus terdistraksi oleh gawai.
Namun, solusi ini membutuhkan komitmen tidak hanya dari individu, tetapi juga dari masyarakat secara keseluruhan. Kita perlu menciptakan budaya yang lebih menghargai kedalaman daripada kecepatan, yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas informasi.
Pada akhirnya, fenomena brain rot adalah pengingat bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berarti kemajuan manusia. Dalam dunia yang semakin terhubung, tantangannya bukan lagi tentang bagaimana mendapatkan lebih banyak informasi, tetapi bagaimana memilah, memilih, memahami, dan menggunakannya dengan bijak.
Sebab, sebagaimana ladang yang subur membutuhkan irigasi yang tepat, otak manusia pun membutuhkan keseimbangan antara stimulasi dan ketenangan agar tetap sehat dan produktif.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia, penulis puluhan buku.