Abu Dhabi (ANTARA) - Ketika menghadiri Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) 2025, ekspektasi yang menyertai keberangkatan dari Indonesia ke Uni Emirat Arab adalah ramainya pameran teknologi keberlanjutan dari berbagai negara.
Apakah ada yang berasal dari Indonesia? Pertanyaan tersebut terngiang-ngiang sepanjang perjalanan, dan perlahan-lahan berubah menjadi rasa penasaran yang menolak untuk diam bila tidak terjawab.
Alhasil, ketika tiba di lokasi gelaran ADSW 2025, denah pameran yang terletak di tengah-tengah koridor pun menjadi tujuan pertama. Harapan saat itu hanya satu, yakni menemukan ‘Indonesia’ dalam daftar yang dipenuhi oleh perusahaan asal Uni Emirat Arab, China, India, dan negara-negara lainnya.
Setelah menyisir ratusan perusahaan, akhirnya “Indonesia” pun ditemukan dalam kategori inovasi teknologi bersih, kategori yang didominasi oleh perusahaan asal India.
Adalah “Crustea”, salah satu perusahaan anak bangsa yang diundang untuk memperkenalkan produknya di ADSW 2025. Crustea membawa inovasi berupa teknologi akuakultur yang berkelanjutan.
“Karena kami memang semuanya suka seafood (makanan laut), jadi bangun tambak, " demikian Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Crustea Roikhanatun Nafi’ah menyampaikan hal tersebut ketika menceritakan awal mula berdirinya Crustea.
Nafi, sapaan akrabnya, mulai menjadi petambak udang bersama rekannya pada 2019. Perjalanannya menjadi petambak udang tidak berlangsung dengan mulus, sebab ketika musim panen tiba, ia justru mengalami gagal panen.
Kegagalan tersebut mengingatkan Nafi kepada berbagai interaksi sebelumnya dengan para petambak udang, khususnya yang ia temui sejak 2016, ketika masih berstatus sebagai mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Ketahanan pangan
Fokus dari inovasi Nafi adalah meningkatkan produktivitas petambak dan penurunan biaya operasional, khususnya listrik untuk operasional tambak.
Inovasi pertama adalah eco-aerator, sebuah sistem pemberian oksigen kepada ikan (khususnya udang) yang menghasilkan kadar oksigen lebih tinggi daripada teknologi kincir, yang masih digunakan oleh pembudi daya ikan maupun udang di Indonesia.
Selain itu, Nafi juga memiliki inovasi teknologi untuk memonitor dan mengontrol kualitas air bernama EBII System. Apabila kualitas air terdeteksi buruk, kata dia, maka eco-aerator akan menyala secara otomatis.
EBII System juga mendukung upaya untuk efisiensi energi, sebab petambak tidak perlu menyalakan alat selama 24 jam. Sedangkan, apabila petambak masih menggunakan kincir, mereka harus mengoperasikan kincir tersebut selama 24 jam.
Dari petambak yang rata-rata membayar biaya bahan bakar untuk diesel sebesar Rp8 juta per bulan, kini menjadi Rp2 juta per bulan.
Saat ini, Nafi mencatat sekitar 500 petambak yang berasal dari tiga provinsi sudah masuk ke ekosistem Crustea. Provinsi tersebut meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.
Dalam dua tahun ke depan, ia menargetkan agar petambak yang masuk ke ekosistem perusahaannya mencapai seribu bahkan dua ribu petambak dan melakukan ekspansi minimal ke 10 wilayah baru lagi.
Inovasi-inovasi tersebut tidak akan lahir apabila Nafi bersama rekan-rekannya tidak melakukan aksi nyata setelah mendengar keluhan para petambak, bahkan mengalami sendiri pahitnya gagal panen.