Jakarta (ANTARA) - Kementerian UMKM, sebenarnya, bukanlah kementerian bentukan baru. Pada Kabinet sebelumnya, Kementerian ini bernama Kementerian Koperasi dan UKM. Lalu oleh Presiden Prabowo, Kementerian Koperasi dan UKM dipisah dalam dua entitas menjadi Kementerian Koperasi dan Kementerian UMKM.
Tugas dan peran Kementerian UMKM, secara normatif telah tertuang dalam Perpres Nomor 196 Tahun 2024 tentang Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pada Perpres tersebut dinyatakan Kementerian UMKM mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang usaha kecil dan menengah dan sub-urusan pemerintahan usaha mikro yang merupakan lingkup urusan pemerintahan di bidang usaha kecil dan menengah untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Secara tegas dan jelas, Kementerian UMKM akan menjadi pengampu bagi sebanyak 64,1 juta pengusaha UMKM.
Bukan jumlah yang sedikit untuk diurus. Juga bukan hal yang mudah untuk dikelola. Sebagaimana diketahui bersama, UMKM selalu distigmakan secara positif, yaitu sebagai penopang perekonomian Indonesia.
Stigma tersebut bukan tanpa data. Sebagaimana dikutip dari situs https://umkm.go.id/umkm-dalam-angka, UMKM menyumbang lapangan kerja sebesar 99,9 persen. Sebesar 96,9 persen tenaga kerja berasal dari UMKM berkontribusi terhadap PDB sebesar 60,5 persen, juga menyumbang 60 persen dari total investasi.
Mencengangkannya data tersebut tidak serta merta membuat Menteri UMKM beserta jajarannya akan bersantai-santai di kursi empuknya.
Pilihan yang paling mudah bagi Kementerian UMKM adalah mempertahankan saja angka-angka tersebut supaya tidak turun. Menjalankan tugas dan perannya as business as usual. Copy paste program dan kegiatan dari tahun-tahun sebelumnya, dan memilih tombol auto pilot.
Namun apakah itu menjadi pilihan yang logis? Seharusnya tidak, dan sepertinya tidak. Jika melihat unggahan akun resmi Kementerian UMKM di salah satu media sosial, akan ditemukan poster serupa dengan film box office The Avengers.
Namun bedanya, figur pada poster tersebut telah diganti menjadi figur para pejabat Kementerian UMKM. Terdapat sketsa wajah Menteri UMKM beserta pejabat eselon I-nya.
Visual yang digambarkan itu seperti ingin menunjukkan bahwa Menteri UMKM serta “punggawanya” akan menjadi pahlawan bagi UMKM.
Siap memperjuangkan kemajuan dan kesejahteraan UMKM dengan sepenuh hati dan tenaganya. Seperti The Avengers yang berjuang untuk melindungi bumi sampai titik darah penghabisan.
Sebuah analogi yang hiperbolis? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Namun jika sekilas melihat salah satu kinerja pada tahun-tahun sebelumnya, akan ditemukan bahwa Kementerian UMKM (saat itu Kementerian Koperasi dan UKM) berjibaku di garda depan untuk memerangi produk thrifting yang disinyalir menggerus pangsa produk lokal. DNA petarung telah mengalir dalam nadi Kementerian UMKM.
Jiwa petarung juga telah dibuktikan oleh Menteri UMKM Maman Abdurahman. Belum genap 100 hari menjalankan amanahnya, Menteri UMKM telah memberi kado spesial bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Menteri UMKM berhasil meminta perpanjangan kebijakan insentif tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen hingga akhir tahun 2025.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan akan mengakhiri pemberian insentif PPh final tersebut pada akhir tahun 2024. Dan yang patut diapresiasi, upaya tersebut dilakukan dalam kondisi transisi pemisahan organisasi antara Kementerian UMKM dan Kementerian Koperasi. Belum ada struktur organisasi definitif pada saat itu.
Nantinya selama 5 tahun ke depan, akan menjadi arena untuk menguji daya tarung Menteri UMKM serta jajarannya di Kementerian UMKM dalam upaya mensejahterakan dan memajukan UMKM.
Pertarungan epik akan terus tersaji, mengingat problematika yang ada dalam upaya-upaya memberdayakan UMKM.
Hal yang cukup mendasar dan krusial adalah, mensinkronkan dan mengkoordinasikan kebijakan pemberdayaan UMKM dengan kementerian/lembaga, serta pemerintah daerah.
Sinkronisasi dan koordinasi kebijakan pemberdayaan UMKM tersebut harus menjadi prioritas bagi Kementerian UMKM. Wewenang Kementerian UMKM untuk menyinkronisasikan dan mengkoordinasikan kebijakan pemberdayaan UMKM, cukup kuat. Hal tersebut telah tertuang pada pasal 93-100 PP 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Untuk memudahkan sinkronisasi dan koordinasi kebijakan pemberdayaan UMKM tersebut, perlu diinisiasi Rencana Aksi Pemberdayaan UMKM yang dibalut dengan Instruksi Presiden.
Rencana aksi tersebut harus berisi tentang peran dan tugas dari masing-masing kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam pemberdayaan UMKM.
Hal lain yang perlu mendapat prioritas perhatian adalah legalisasi pengusaha UMKM melalui pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB).
Sampai tahun 2024, tercatat baru 10 juta pengusaha UMKM yang memiliki NIB. Artinya hanya sebesar 16,6 persen pengusaha UMKM yang memiliki NIB.
Hal ini cukup miris, mengingat pengurusan pembuatan NIB sudah cukup mudah. Namun ternyata, mudahnya proses tersebut ternyata tidak membuat pengusaha UMKM berbondong-bondong membuat NIB.
Masih banyak hal-hal lain yang harus diupayakan oleh Kementerian UMKM untuk membuktikan jiwa petarungnya.
*Penulis adalah PNS pada Kementerian UMKM
Baca juga: Kementerian UMKM perkuat pembiayaan UMKM pertanian-perikanan