Jakarta (ANTARA) - Meresapi pemikiran Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau Tan Malaka seperti berkaca pada cermin retak, memunculkan mozaik gagasan yang membingungkan, mencengangkan, dan berbahaya.
Dalam sejarah Indonesia, Tan berdiri di antara kekaguman dan kontroversi. Gagasan dan idealismenya, seperti yang dituangkan dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) dan Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), pernah dilarang di negeri sendiri.
Banyak yang mengibaratkan sosoknya sebagai Che Guevara-nya Indonesia karena sama-sama merupakan sosok revolusi yang ikonik.
Dalam Naar de Republiek Indonesia, Tan menggagas republik sebagai pemerintahan ideal yang dipimpin rakyat tanpa diskriminasi.
Konsep ini lahir jauh sebelum Sukarno, Hatta, dan tokoh lain mencetuskan proklamasi kemerdekaan. Tan menginginkan kemerdekaan 100 persen tanpa kompromi, berbeda dengan Sukarno-Hatta yang memilih diplomasi.
Tan Malaka menghubungkan kemerdekaan politik dengan transformasi sosial dan ekonomi. Dalam Madilog, ia menawarkan pendekatan rasional untuk memecahkan persoalan masyarakat, dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai senjata melawan ketidakadilan.
Meski begitu, keterkaitannya dengan Marxisme membuatnya dianggap berbahaya, terutama di era Orde Baru, sehingga buku-bukunya dilarang bersama karya Karl Marx dan Lenin.
Namun, pemikiran Tan melampaui komunisme. Madilog misalnya, adalah karya yang sangat berorientasi pada rasionalitas, mengajarkan cara berpikir kritis dan ilmiah kepada masyarakat.
Sebagai magnum opus Tan Malaka, Madilog, juga menyajikan pemikiran yang relevan jika dikaitkan dengan berbagai macam diskursus termasuk tentang kemiskinan yang depresif.
Ia menuliskan di antaranya: “Si lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja walaupun kita ulangi 1001 kali.”
Kutipan tersebut merupakan elaborasi dari pemikiran seorang Tan yang ingin menjelaskan bahwa hanya sekadar kata-kata tidak akan mampu mengadakan sesuatu.
Sayangnya stigma terhadap Marxisme membuat karya-karya Tan sulit diakses, baru setelah reformasi masyarakat mulai membaca kembali gagasan-gagasannya.
Minat terhadap karya Tan meningkat, tetapi pelarangan di masa lalu menyisakan dampak, terutama dalam literasi sejarah bangsa.
Dalam bukunya, Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1925–1945, Poeze menyoroti bagaimana pemikiran Tan tidak hanya menginspirasi gerakan kemerdekaan di Indonesia, tetapi juga di negara-negara seperti Filipina dan Burma.
Pada Januari 1946 Tan Malaka mendirikan Persatoean Perdjoeangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat.
Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali dari Maret 1946 sampai September 1948.
Tan Malaka selalu dihadapkan dengan empat sekawan pimpinan Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjarifoeddin serta gerakan komunis-sosialis yang berpengaruh dan yang menuduh Tan Malaka sebagai penganut Trotsky.
Jilid kedua biografi Tan Malaka menggambarkan secara rinci nasib Tan Malaka dan pengikutnya dalam tawanan. Ia difitnah sebagai dalang di balik Peristiwa 3 Juli 1946 untuk menyelubungi fakta bahwa peristiwa itu sebetulnya menyerupai kup Panglima Besar Soedirman yang ingin berkuasa.
Dalam risalah yang menegangkan rahasia Peristiwa 3 Juli diungkapkan. Walaupun Tan Malaka masih dalam tawanan, teman-teman sehaluannya berhasil muncul kembali sebagai oposisi melawan Perjanjian Linggajati yang dianggap sebagai kapitulasi terhadap Belanda. Akan tetapi semuanya berakhir dengan kekalahan lagi.
Tan Malaka adalah cermin perjuangan melawan keterbatasan, baik dalam pemikiran maupun tindakan.
Menuju Indonesia Emas 2045, visi Tan tentang kemerdekaan ekonomi, pendidikan kritis, dan keberanian revolusioner adalah warisan tak ternilai.