Jakarta (ANTARA) - Ketahanan pangan menjadi isu besar bersama saat ini di seluruh dunia, termasuk Indonesia, akibat dampak perubahan iklim yang menyebabkan berbagai permasalahan meteorologis, seperti kekeringan di sejumlah wilayah.
Ancaman akan datangnya kekeringan itu berpengaruh pada ketersediaan pangan, sehingga memerlukan kesiapan untuk tetap bertahan hidup, terutama untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok masyarakat.
Terlebih lagi di daerah perkotaan, seperti Jakarta, yang minim lahan pertanian, perlu upaya lebih untuk memenuhi kebutuhan warganya yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 berjumlah 10,6 juta jiwa.
Karena minimnya lahan itu, maka pertanian urban, dengan memanfaatkan lahan maupun media yang ada, merupakan salah satu alternatif bercocok tanam yang terus digencarkan oleh pemerintah di Jakarta.
Tidak hanya pemerintah yang aktif terkait program ini, sejumlah masyarakat juga giat mengolah lahan yang ada di sekitarnya agar bisa menghasilkan pangan, salah satunya Epon Sukarsih (54), warga Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Epon memanfaatkan bantaran Banjir Kanal Timur (BKT) dengan menanam padi sejak pertengahan Mei 2024. Sekitar 3,5 bulan ia sudah memanen padi jenis Kebo Putih yang bibitnya dibeli secara dalam jaringan atau daring.
Padi di BKT
BKT dibangun pada November 2003 yang berfungsi sebagai pengendali banjir di Jakarta, kini menjadi salah satu lokasi andalan warga untuk menghabiskan waktu di akhir pekan.
Mereka datang, mulai dari berolahraga ringan, seperti jalan santai, joging, bersepeda, hingga untuk membawa keluarga bermain, terutama bagi yang memiliki anak kecil karena kawasan dengan lintasan itu menyediakan sejumlah permainan dan jajanan kaki lima.
Di sisi lain,tepat di seberang lokasi yang dipisahkan oleh aliran air BKT selebar sekitar 100 meter, Epon tengah menjemur padi yang sudah dipotong oleh keponakannya, Ujang. Ujang sengaja didatangkan dari kampung asal Epon di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, untuk membantu memotong padi.
Karena usia yang sudah lebih setengah abad, ditambah beberapa penyakit yang dideritanya, ibu dua anak tidak sanggup untuk mengolah sendiri hasil panen. Ia juga tak bisa berharap kepada sang suami yang sedang sakit, untuk membantu mengurus padi.
Awalnya, tidak ada niat Epon untuk menanam padi di areal BKT itu. Sebelumnya, ia menanam timun suri yang dirasa lebih mudah dirawat dan tidak menghabiskan biaya besar. Hanya saja, timun suri biasa ditanam beberapa bulan menjelang Ramadhan karena buahnya biasa digunakan untuk minuman berbuka puasa, sedangkan musimnya sudah lewat.
Nenek dua cucu itu, awalnya berencana menanam padi agar bisa memanfaatkan jerami dan sekamnya untuk pakan ternak hewan kurban, sedangkan padinya untuk dikonsumsi sendiri.
Lagi-lagi, karena terlambat ditanam, padinya baru bisa dipanen pada September, sedangkan Idul Adha atau hari raya haji sudah lewat. Alhasil, rencana awal tidak sesuai dengan harapan.
Karena merasa sayang dengan bibit yang sudah dibeli secar daring itu, mau tidak mau Epon menanamnya di lahan sepanjang kurang lebih 70 meter dan lebar sekitar 6 meter itu.
Semuanya dilakukan secara swadaya alias dengan biaya sendiri. Perempuan yang sehari-hari hanya berdagang sayur keliling itu sudah mengeluarkan uang untuk biaya menanam padi, mulai dari membeli bibit, pupuk, mesin air, jaring, sampai membayar orang untuk mencangkul lahan dan menyiram padi. Belum lagi waktu yang tersita, terutama setelah padi berbuah, karena harus kerap dijaga agar tidak dimakan sekawanan burung.
Kini, ia patut berbangga karena jerih payahnya bisa menghijaukan kawasan BKT. Upaya Epon ternyata menunjukkan fakta bahwa padi juga bisa tumbuh di wilayah Jakarta yang lebih dikenal dengan gedung-gedung pencakar langitnya.
Apalagi, lahan padinya, kini banyak dikunjungi para pelajar salah satu sekolah di Jakarta Timur, setidaknya anak-anak bisa melihat langsung tanaman padi.
"Mungkin ini pertama dan terakhir kali saya tanam padi, nanti mau tanam cabai atau timun suri saja," katanya, sambil tertawa, saat berbincang dengan ANTARA.
Kawasan Hijau
Tidak hanya Epon, sejauh mata memandang, di sepanjang bantaran BKT yang melintasi 11 kelurahan di Jakarta Timur, saat ini terlihat menghijau dengan aneka tumbuhan .
BKT sendiri memiliki panjang 23,5 km yang memotong Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung.
Untuk wilayah Jakarta Timur, pemerintah setempat membuat program Kampung Buah di kawasan BKT. Jadi tidak heran jika ada pohon-pohon tanaman buah yang menghijaukan kawasan itu, seperti mangga, alpukat, pepaya, pisang, melon, dan anggur.
Selain buah, berbagai jenis sayuran juga ditanam di lokasi tersebut, seperti tomat, sawi, singkong, jagung, cabai, terong, dan lainnya. Beberapa tanaman dan lahan sudah dipanen dan hasilnya sebagian dijual atau dikonsumsi sendiri oleh warga.
Program Kampung Buah yang diinisiasi sejak 2021 oleh Pemprov DKI Jakarta, melalui Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian (KPKP) Jakarta Timur, terkonsentrasi di sepanjang kawasan BKT yang berada di Kecamatan Duren Sawit, Jatinegara, dan Cakung, dengan total luas 20.000 meter persegi (m2) di sisi selatan dan seluas 10.000 m2 di sisi utara.
Jika lahan bantaran BKT dikelola dengan serius, tentu hasil panennya bisa menyuplai kebutuhan sayur dan buah di daerah itu, setidaknya warga yang mengelola bisa mendapatkan manfaat lebih dari tanamannya, sehingga bisa membantu upaya pemerintah terkait ketahanan pangan.
"Menyulap" bantaran BKT menjadi lumbung pangan
Sabtu, 14 September 2024 13:01 WIB