Pada 5 September 1972, sejumlah militan Palestina melancarkan aksi penculikan bersandi operasi Berim Ikrit dengan target perkampungan atlet Israel peserta Olimpiade Munich, Jerman. Kelompok ini berhasil menyandera atlet Israel peserta Olimpiade Munich dan menuntut dibebaskannya 234 tawanan Palestina dari penjara Israel, dua pemimpin kelompok kiriBaader-Meinhoff dari penjara Jerman Barat, serta rute pelarian aman menuju Mesir.
Pemerintahan Jerman Barat sendiri bersedia memenuhi tuntutan untuk membebaskan pemimpin Baader-Meinhof, yakni Ulrike Meinhof dan Andreas Baader. Sementara itu, pemerintahan Israel yang dipimpin oleh Perdana Menteri Golda Meir menolak mentah-mentah tuntutan pelaku penyanderaan.
Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Black September (September Hitam) ini akhirnya berlangsung tragis dengan tewasnya 11 atlet Israel yang disandera, 3 anggota Black September, dan seorang polisi Jerman Barat.
Pada awal 2003, tiga anggota IRA (Irish Republican Army) yakni James Monaghan, Martin McCauley, dan Niall Connoly, diajukan kepengadilan dan dituntut atas tuduhan melatih gerilyawan Pasukan Bersenjata Revolusioner Kolombia/Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) yang berhaluan Marxis. Niall Connoly sebelumnya adalah wakil Sinn Fein, sayap militer IRA di Kuba.
Sedangkan McCauley adalah bekas anggota eksekutif Sinn Fein dengan keahlian mengembangkan teknik detonasi dan bom. IRA yang telah dimasukan sebagai kelompok teroris telah menjalin hubungan kerja sama dengan teroris FARC yang merupakan paramiliter yang berhaluan Marxis dan diduga juga sebagai kartel narkoba sejak tahun 1998.
Untuk meningkatkan kapasitas operasinya, FARC juga bekerja sama dengan kelompok teroris asing seperti kelompok teroris Basque ETA di Spanyol. Menurut hasil Joint Investigation Report yang dirilis oleh pemerintah Spanyol dan Kolombia tahun 2008, ditemukan bahwa FARC dan ETA telah berbagi kemampuan taktis dan informasi logistik. Laporan ini menyatakan bahwa ETA telah melatih FARC mengenai taktik gerilya dan produksi bahan peledak.
Pada 23 Mei 2017, Presiden Duterte memberlakukan darurat militer di Mindanao setelah pecah kontak senjata antara tentara Filipina dan kelompok bersenjata di Kota Marawi. Pertempuran sengit terjadi ketika polisi dan tentara Philipina bergerak untuk melaksanakan perintah penahanan seorang pemimpin kelompok Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon.
Kelompok Maute yang telah menyatakan berafilisasi dengan ISIS kemudian menyerbu Kota Marawi untuk melawan rencana penahanan tersebut. Dalam pertempuran itu, dilaporkan bahwa terdapat puluhan militan asing yang turut membantu teroris Maute di antaranya berasal Indonesia, Malaysia dan Singapura turut tewas tertembak.
Sementara itu, pada 24 Mei 2017 terjadi ledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, yang mengakibatkan 5 orang tewas yakni 3 anggota Kepolisian dan 2 orang pelaku, serta sedikitnya melukai 10 orang yang berada di lokasi kejadian. Segera setelah itu Polisi berhasil menangkap sejumlah orang, di antaranya Asep Sofyan alias Karpet, Waris Suyipno alias Masuyit, dan Jajang Ikin Sodikin alias Abu Revan di Bandung, Jawa Barat.
Mereka diduga kuat terlibat dalam rencana bom bunuh diri dengan menyuplai kendaraan dan bahan peledak kepada pelaku. Menurut investigasi yang dilakukan oleh Kepolisian, para pelaku bom bunuh diri merupakan sel Jamaah Anshorut Daulah (JAD) di Bandung Raya. Investigasi juga menemukan bahwa para pelaku telah berkomunikasi dengan Bahrun Naim sebelum melancarkan aksinya. Bahrun Naim sendiri adalah warga negara Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah dan menjadi otak di balik serangkaian teror bom di Indonesia, salah satunya aksi bom bunuh diri di depan Sarinah, Thamrin.
Berbagai fakta di atas menunjukan adanya pola yang sama, yakni adanya tindak kekerasan, dapat bersifat lintas negara, serta digerakan dengan berbagai motif, memiliki tujuan politik, menimbulkan ketakutan massa. Watak transnasional dari terorisme ini membuktikan bahwa terorisme bukan sekAdar isu domestik saja, melainkan masalah dunia yang perlu mendapat perhatian dan penanganan bersama karena sifatnya yang melintasi sekat-sekat negara bangsa. Terorisme menjadi semacam kejahatan lintas batas yang memilih target secara selektif yang merefleksikan sesuatu yang dianggap sebagai ancaman ideologi ekstrim yang mereka anut. Justifikasi ideologis ini membentuk keyakinan fundamental akan keabsahan seluruh tindakan mereka, termasuk penggunaan kekerasan terhadap objek yang ditarget.
Ancaman Global
Meski bukan fenomena baru, perhatian terhadap terorisme menguat dan muncul dengan pendekatan yang berbeda dipicu oleh tragedi 9/11, yakni pengeboman gedung World Trade Center di Amerika Serikat pada 11 September 2001 oleh sekelompok orang terkait dengan Al-Qaeda. Menurut pengakuan Khalid Sheikh Mohammed, salah seorang pelaku yang dekat dengan tokoh kunci Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiry, bahwa dirinya bertanggungjawab atas serangan tersebut dan terlibat dalam perencanaan 30 serangan teroris sejak 1993 di berbagai belahan dunia. Tragedi 9/11 ini telah menabuh genderang perang dan merubah pendekatan atas penanganan serangan terorisme secara global. Istilah "war on terror" menjadi popular secara global setelah Presiden George Bush, menyatakan secara tegas kebijakan "either you with us or with terrorist" di Pentagon pasca runtuhnya menara kembar WTC yang menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika Serikat.
Menurut data Global Terrorism Index (GTI) yang dirilis Institute for Economics and Peace, terjadi peningkatan serangan terorisme dalam periode tahun 2000-2014. Dalam GTI tahun 2012 terlihat posisi Indonesia berada pada peringkat 31 dari 127 negara dengan nilai index (skor) sebesar 4.67. Dalam lima besar, peringkat tertinggi terjadinya serangan terjadi di Irak (skor :13) disusul oleh Afghanistan (skor : 9.39), Pakistan (9.37), Nigeria (8.58) dan Syria (skor 8.12). Sementara Amerika Serikat menduduki ranking 22, China ranking 26, Inggris ranking 28. Perubahan terjadi dimana tahun 2016 Indonesia berada pada peringkat ke-33 Indeks Terorisme Global, sementara Amerika di peringkat ke-35, dan Perancis ke-36. Sedangkan di Asia, Indeks Terorisme Global Indonesia di peringkat ke-9 dan di tingkat ASEAN menempati urutan ke-4. Hal itu menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi target prioritas serangan teror dan semakin rentan keamanannya.
Global Terrorism Index juga menunjukkan terjadinya peningkatan siginifikan dalam kurun 15 tahun terakhir. Mayoritas korban terorisme adalah penduduk sipil dimana tahun 2014 tercatat sebanyak 32.685 orang tewas, angka ini 80% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 18.111 korban tewas. Aksi teror juga lebih banyak dilakukan di negara berpenduduk muslim, dibandingkan di negara-negara Barat. Mayoritas korban serangan teroris terjadi di lima negara Muslim: Irak, Nigeria, Afghanistan, Pakistan dan Suriah. Diperkirakan hanya 1 dari 5 serangan teror di negara Barat yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam. Meski demikian, GTI menunjukan bahwa serangan di negara Barat termasuk yang paling mematikan, seperti peristiwa 9/11 di AS, bom Madrid-Spanyol, pembantaian di Norwegia, serta bom London yang mencakup 90 persen dari jumlah korban serangan teroris di negara Barat.
Terorisme yang didefinisikan Walter Laqueur (1977) sebagai penggunaan kekuatan secara tidak sah untuk mencapai tujuan-tujuan politik, dengan mentarget masyarakat sipil yang tidak bersalah/berdosa melalui penggunaan kekerasan, telah mengalami peningkatan dalam skala global. Capaian global terutama di bidang informasi dan tehnologi, transportasi, persenjataan, dan perbankan telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh kelompok teror untuk meningkatkan kapasitas operasinya dalam skala yang lebih luas. Lihat saja bagaimana ISIS memanfaatkan jaringan maya untuk merekrut dan melancarkan aksi teror di berbagai negara. Begitupula dengan meningkatnya jumlah korban sebagai dampak dari kemampuan taktis persenjataan teroris yang kian meningkat sehingga mampu menimbulkan kerusakan skala besar.Mobilitas pelaku teror serta infrastruktur pendukungnya berlangsung demikian cepat dan melintasi hambatan teritori dan administrasi negara bangsa. Meski berbagai otoritas keuangan negara-negara di dunia telah melakukan pencegahan, namun lalulintas keuangan teroris antar negara tetap belum secara efektif dilumpuhkan. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa terorisme merupakan kejahatan terorganisasi skala global dan menjadi ancaman seluruh negara di dunia.
Kerjasama Global
Terorisme tidak dapat dilawan sendiri, perlu kerja sama seluruh pemangku kepentingan di dalam negeri, baik dengan menyiapkan kerangka regulasi, infrastruktur pencegahan dan penindakan, hingga program deradikalisasi. Upaya menangkal dan menanggulangi terorisme harus dilakukan secara simultan dan komprehensif melalui berbagai skenario.
Kebijakan pemerintah untuk membubarkan Ormas radikal sebagai "conveyor belt of terrorism" merupakan tindakan pencegahan yang tepat. Selain itu, harus didukung pula dengan transformasi kembali secara efektif interpretasi keagamaan yang bersifat moderat, nilai-nilai toleransi dan kebangsaan melalui berbagai jalur, baik itu pendidikan, sosial, kebudayaan maupun agama dalam skala yang lebih luas.
Pemberantasan terorisme di dalam negeri memerlukan sinergi dan dukungan rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Di dalam negeri, kebijakan counter terrorism telah dimulai di hulu dengan merevisi UU Anti Terorisme dan mencegah berkembangnya ideologi ekstrim yang dapat memicu terjadinya terorisme.
Selain itu, pemerintah telah memperkuat kapasitas taktis dan infrastruktur yang diperlukan dalam mengantisipasi penyusupan kelompok teroris, maupun untuk melakukan penindakan terhadap teror yang dilakukan. Naiknya level GTI Indonesia dalam peringkat yang semakin rentan terhadap terorisme harus menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk merumuskan strategi komprehensif dalam mencegah dan menindak terorisme di Indonesia.
Selain itu, kerja sama global merupakan kebutuhan mutlak mengingat terorisme mampu menembus batas-batas nation state. Indonesia telah menjalin kerja sama bilateral dengan puluhan negara seperti Australia, Inggris, Perancis, Belanda, Singapura, Malaysia, dan negara lainnya dalam upaya menghadapi ancaman foreign terroris fighter (FTF), menangkal kejahatan financing terrorism, penanggulangan ektremisme dan deradikalisasi, serta pertukaran informasi intelejen guna mencegah aksi terorisme. Kerja sama bilateral juga penting dilakukan dengan negara-negara Muslim mengingat kesamaan situasi dan ancaman yang dihadapi. Begitupula dengan kerja sama multilateral sebagaimana baru-baru ini dirilis dalam "Jakarta Concord" yang dihasilkan Konferensi Tingkat Tinggi Indian Ocean Rim Association (IORA), dimana salah satu poin penting yang dicapai adalah deklarasi negara-negara IORA dalam melawan dan mencegah aksi terorisme dan ekstremisme.
*) Alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).
Penguatan Kerja sama Melawan Globalisasi Terorisme
Jumat, 14 Juli 2017 8:38 WIB
Terorisme tidak dapat dilawan sendiri, perlu kerja sama seluruh pemangku kepentingan di dalam negeri, baik dengan menyiapkan kerangka regulasi, infrastruktur pencegahan dan penindakan, hingga program deradikalisasi.