Jakarta (ANTARA) - Lebaran tidak hanya dapat dimaknai sebagai hari raya yang suci, tetapi Idul Fitri juga dapat dimaknai hari raya berbuka atau hari raya makanan.
Setelah berpuasa sebulan penuh, umat Islam kembali berbuka dengan beragam kuliner, makanan dan tentu minuman.
Kuliner menjadi penanda Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri. Umat Islam bahkan disunahkan menyantap kurma sebelum berangkat ke masjid atau lapangan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri.
Itu adalah kebiasaan Nabi Muhammad di masa lalu di Madinah yang memang banyak tumbuh kurma.
Di Indonesia beragam kuliner juga muncul di saat Lebaran. Ketupat hanya salah satu simbol saja hidangan Lebaran.
Sesungguhnya keragaman hidangan Lebaran merupakan jejak dan evidence bahwa Islam adalah agama yang terbuka pada beragam tradisi.
Di Palembang, Sumatera Selatan, hidangan berupa pempek, tekwan, model, dan kemplang menjadi menu wajib hidangan lebaran di samping ketupat dan anam (sejenis gulai opor ayam).
Empat hidangan yang disebut pertama adalah akulturasi kuliner Tiongkok dengan masyarakat Sumatera Selatan. Hidangan Lebaran di Sumatera Selatan juga kerap menggunakan bihun, soun, dan mie.
Di Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat bagian barat hidangan yang sering muncul adalah dodol. Beberapa keluarga bahkan memiliki tradisi membuat dodol sendiri secara patungan.
Bagi yang tak membuat biasanya membeli di pasar. Uniknya seringkali dodol yang paling laku malah buatan warga keturunan.
Jejak kultur India juga muncul di hidangan Lebaran berupa bumbu pada kari ayam. Demikian pula jejak budaya Eropa dan Barat hadir pada menu Lebaran kue kering seperti nastar, putri salju, dan kastengel.
Kata nastar gabungan dua kata bahasa Belanda yaitu ananas yang berarti nanas dan taartjes yang bermakna kue tart.
Demikian pula kastengel berasal dari Bahasa Belanda kaastengels. Kaas artinya keju dan stengels artinya batangan sehingga sederhananya bermakna keju batangan. Minuman Coca Cola, Fanta, Sprite, serta Pepsi juga tetap hadir hingga kini.
Berpadunya beragam kultur pada menu Lebaran menandakan persahabatan yang erat di masa lalu antara umat Islam pada umumnya dengan umat-umat dari bangsa lain yang kebetulan berbeda agama.
Di Hari Raya Idul Fitri warga Eropa menghadiahkan kue khas Eropa pada penguasa pribumi atau pekerja di rumahnya. Sebaliknya, ketika perayaan Natal warga lokal mengirim makanan ke warga Eropa.
Akulturasi kebudayaan semakin erat ketika terjadi pernikahan antaretnis seperti orang Arab, China, India, dan Eropa dengan warga lokal.
Perjumpaan bumbu-bumbu di dapur menjadi saksi terbukanya umat Islam pada beragam budaya.
Di sisi lain ragam kuliner tersebut melahirkan permintaan bahan baku dan kuliner yang sudah jadi di pasaran sehingga terjadi perputaran ekonomi.
Sirkulasi ekonomi untuk kuliner bahkan telah terjadi sejak Ramadhan yang menghidupkan banyak bisnis tanpa memandang agama apapun pelakunya. Bisnis kuliner Lebaran dan Ramadhan terbukti memberi berkah untuk semua anak bangsa.
Demikian pula Lebaran terbuka pada kuliner pabrikan modern. Kue kaleng beragam merk telah melekat sebagai kue Lebaran.
Brand tertentu bahkan bukan hanya rasa kuenya yang melekat di hati umat Islam, tetapi kaleng kemasannya karena diisi oleh kuliner lokal seperti rengginang, kembang goyang, maupun biji ketapang.
Hal ini menunjukkan umat Islam tidak gagap pada kemodernan tetapi mampu mengambil manfaat dan menggunakannya untuk merawat tradisi kuliner lokal.
Menu Lebaran
Belakangan ketika tradisi dari Jepang dan Korea mulai meresap ke sendi-sendi kehidupan anak muda, kuliner kedua negara itu mulai masuk menghiasi menu Lebaran.
Hal itu dapat juga terlihat pada masa sebulan sebelumnya ketika restoran Jepang dan Korea menjadi tempat favorit buka puasa.
Sebentar lagi bukan tak mungkin menu tempura, ramen, dan sushi menjadi menu yang turut serta mewarnai kuliner Lebaran.
Pilihan beragama memang bersifat pribadi yang unik, tetapi kelezatan rasa kuliner di lidah seperti alunan irama musik yang universal yang lebih mudah diterima oleh semua manusia apapun genre musiknya.
Keragaman pangan di atas meja makan menunjukkan setiap rasa yang lezat dapat diterima oleh suku, bangsa, dan agama apapun.
Pada sisi lain keragaman pangan saat Lebaran membuktikan upaya mendorong diversifikasi pangan dapat berjalan dengan sendirinya ketika ekonomi berputar.
Prof. Dr. Le Istiqlal Amien, mantan profesor riset dari Kementerian Pertanian, meyakini diversifikasi pangan di Indonesia dapat tercapai dengan sendirinya ketika pendapatan masyarakat meningkat.
Musababnya, dengan uang yang dimiliki masyarakat dapat memilih beragam pangan karbohidrat dan protein yang umumnya memiliki harga per satuan bobot di atas beras.
Ketika pendapatan masyarakat rendah, maka sumber karbohidrat yang paling murah yakni beras menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat.
Lebaran dengan beragam kuliner, paling tidak mewariskan resep beragam hidangan Nusantara hasil akulturasi budaya, dari generasi ke generasi agar tak hilang ditelan zaman.
Kuliner di atas meja makan menjadi saksi bahwa perayaan keagamaan umat Islam begitu terbuka terhadap berbagai budaya luar. Lebaran pun kini menjadi milik semua. Lebaran yang rahmatan lil alamin.
*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Lebaran, makanan, dan keterbukaan
Oleh Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc Kamis, 11 April 2024 14:28 WIB