Bali (ANTARA) - Tahun ini, istilah thrifting, social commerce, hingga predatory pricing begitu sering menggema. Ulah pedagang dan importir pakaian bekas yang sudah jelas ilegal dan transaksi niaga elektronik yang tidak sesuai perizinan, membuat Pemerintah geram, termasuk salah satunya Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Toko thrifting, yang belakangan identik dengan penjualan barang-barang impor bekas berupa pakaian, sepatu hingga tas, semakin merajalela baik secara fisik maupun di lokapasar. Sebenarnya, pasar loak seperti yang berada di daerah Senen, Jakarta, jejaknya sudah ada sejak tahun 1960-an. Namun yang membuat gerah Pemerintah adalah, barang-barang yang dijual saat ini lebih banyak didatangkan dari luar negeri dan bekas.
Penyitaan dan pemusnahan yang dilakukan bersama beberapa kementerian dan lembaga, menjadi salah satu upaya untuk melindungi pedagang dalam negeri yang pendapatannya terganggu akibat kalah saing dengan barang bekas bermerek dan harga yang murah.
Hal ini tentu saja banyak membuat pelaku usaha baik yang skala kecil maupun tingkat industri geram. Pasalnya, kehadiran toko-toko thrifting memberikan efek domino, yang pelan tapi pasti, menghantam para pedagang di Tanah Air.
Bukan apa, sejak pandemi COVID-19 mereda, geliat perdagangan dalam negeri sedang semangat-semangatnya. Ditambah lagi dengan adanya Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), masyarakat mulai melirik karya-karya anak bangsa yang tak kalah secara kualitas dan desain.
Jadi wajar saja bila Pemerintah gemas dan pelaku usaha menjerit. Belum lagi, masalah predatory pricing atau penjualan di bawah harga modal yang dilakukan oleh TikTok Shop. Maka, sejumlah peraturan baru pun ditetapkan guna melindungi perdagangan dalam negeri.
Baca juga: Kemenkop UKM minta pelaku usaha untuk setop jual pakaian bekas impor
Thrifting dan kerugian negara
Data Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat, negara kehilangan pendapatan sebesar Rp19 triliun akibat impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal sejumlah 320 ribu ton yang terjadi sepanjang 2022.
Selama 2022 impor sektor TPT termasuk pakaian bekas ilegal mencapai 320 ribu ton, lebih banyak dibandingkan impor pakaian legal yang berjumlah 250 ribu ton.
Tak hanya rugi dari sisi pendapatan, ratusan ribu tenaga kerja langsung dan 1,5 juta tidak langsung berpotensi kehilangan pekerjaan.
Itu baru perhitungan tahun 2022, belum total kerugian yang didapat sepanjang 2023 akibat impor ilegal dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Impor pakaian maupun produk-produk fesyen lainnya memang tidak dilarang. Namun yang menjadi masalah, barang-barang impor ini merupakan produk bekas atau dengan kata lain Indonesia seperti membeli sampah tekstil dari negara lain yang kemudian dijual kembali dengan harga menggiurkan.
Tentu hal ini sudah dilarang melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, sebagaimana telah diubah dengan Permendag Nomor 25 Tahun 2022 serta Permendag Nomor 26 tahun 2021 tentang Penetapan Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Perdagangan.
Selain itu, peraturan mengenai pelarangan impor barang diatur dalam Permendag Nomor 18 tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Pemeriksaan dan pengawasannya pun diatur dalam Permendag Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan dan Pengawasan Tata Niaga Impor setelah melalui Kawasan Pabean (Post Border). Jadi, bila terdapat penjualan produk-produk bekas asal impor, sudah tentu hal tersebut ilegal karena melanggar aturan.
Kemendag bersama Kementerian Koperasi dan UKM, Ditjen Bea dan Cukai, Kejaksaan Agung, hingga Polri bekerja sama untuk melakukan penyitaan barang-barang di gudang maupun di Kawasan Pabean, menutup tempat-tempat berjualan pakaian bekas, serta menghapus tautan yang berkaitan dengan perdagangan pakaian bekas impor.
Tindak tegas dari Pemerintah pun harus dibarengi juga dengan solusi dari kementerian terkait. Kemendag kala itu masih memberikan kelonggaran kepada para penjual pakaian impor bekas dengan memperbolehkan menjual barang hingga stok di toko habis.
Para pedagang pun diarahkan kepada produsen-produsen pakaian dalam negeri untuk menjual produk-produk karya anak bangsa. Selain itu, para pedagang juga dibina melalui pelatihan untuk mulai berjualan secara daring melalui berbagai lokapasar.
Habis thrifting, terbitlah predatory pricing
Seolah tak berkesudahan, pelaku usaha dalam negeri kembali dihajar oleh maraknya penjualan melalui TikTok Shop yang berada di bawah naungan platform sosial media TikTok. Kenapa konsumen banyak yang berbondong-bondong ke TikTok Shop alih-alih berbelanja di niaga elektronik atau e-commerce? Alasannya tentu saja karena harganya terjun bebas jika dibandingkan dengan penjualan daring biasa, apalagi dengan toko-toko fisik seperti Pasar Tanah Abang.
Bayangkan saja, TikTok Shop mampu menjual kemeja seharga Rp20 ribu, sandal seharga Rp1.500 atau peralatan rumah tangga yang harganya juga berada di bawah Rp10 ribu. Konsumen mana yang tidak tergoda untuk berbelanja, ditambah lagi dengan promo gratis ongkos kirim.
Sayangnya, barang-barang yang dijual tersebut bukan berasal dari dalam negeri. Kebanyakan, penjualnya berasal dari China. Konsumen dapat membeli langsung dan mendapatkan barang hanya dalam waktu 2 minggu, tanpa terkena pajak. Untung di konsumen, buntung di pedagang UMKM.
Inilah yang dinamakan dengan praktik predatory pricing, penjualan dengan harga di bawah modal sehingga sulit disaingi oleh pedagang online lokal maupun yang berada di pasar-pasar konvensional. Pada akhirnya, pelaku usaha yang memiliki modal terbatas akan gulung tikar dan lagi-lagi dapat menghilangkan lapangan pekerjaan.
Barang murah belum tentu kualitas baik. Tidak bersertifikat halal, tidak ada Standar Nasional Indonesia (SNI), tidak ada asuransi kerusakan, tidak ada jaminan perlindungan efek samping khususnya pada produk-produk kosmetik serta makanan dan minuman.
Pemerintah lagi-lagi geram. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dengan tegas mengecam beroperasinya TikTok Shop. Tak lama kemudian, TikTok resmi ditutup.
Penjualan cross border dari niaga elektronik juga dihentikan. Permendag Nomor 50 Tahun 2020 direvisi menjadi Permendag Nomor 31 Tahun 2023 yang mengatur dengan jelas tentang perbedaan e-commerce dan social commerce dan sosial media. TikTok dilarang melakukan transaksi perdagangan, kecuali mengajukan izin sebagai e-commerce.
Permendag No. 31/2023 adalah jawaban
Peraturan ini berisi tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Ini merupakan penyempurnaan dari Permendag 50/2020 yang juga mengatur tentang perdagangan elektronik.
Dalam Permendag 31 Tahun 2023 terdapat enam pengaturan utama yakni, pertama, pendefinisian model bisnis Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE) seperti lokapasar dan social commerce, untuk mempermudah pembinaan dan pengawasan.
Kedua, penetapan harga minimum sebesar 100 dolar AS per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang (merchant) ke Indonesia melalui platform e-commerce lintas negara.
Ketiga, disediakan positive list, yaitu daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan cross-border "langsung" masuk ke Indonesia melalui platform perdagangan elektronik.
Keempat, menetapkan syarat khusus bagi pedagang luar negeri pada loka pasar dalam negeri yaitu menyampaikan bukti legalitas usaha dari negara asal, pemenuhan standar (SNI wajib) dan halal, pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk asal luar negeri, dan asal pengiriman barang.
Lebih lanjut, terdapat larangan bagi lokapasar dan sosial commerce untuk bertindak sebagai produsen. Terakhir, larangan penguasaan data oleh PPMSE dan afiliasi. PPMSE berkewajiban untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE atau perusahaan afiliasinya.
Dalam Permendag 31/2023 juga diatur bahwa sosial commerce hanya akan memfasilitasi promosi barang atau jasa dan dilarang menyediakan transaksi pembayaran.
Tak sekedar membuat peraturan baru, Mendag Zulkifli Hasan juga kerap mendatangi berbagai pasar konvensional seperti Pasar Tanah Abang, ITC Cempaka Mas, Pusat Grosir Cililitan hingga tempat-tempat lainnya untuk memastikan pengaruh penutupan TikTok Shop terhadap para pedagang fisik.
Mendag menyarankan agar para pedagang konvensional mulai memasuki pasar digital agar produknya lebih dikenal luas dan tak terbatas pada daerah tertentu saja. Kemendag bahkan bersedia memberikan pelatihan gratis untuk membuat desain dan pengemasan yang menarik, agar nantinya barang-barang tersebut bisa masuk ekspor.
Bila perdagangan dalam negeri berkembang, dan para UMKM bisa melakukan ekspor, maka pendapatan negara semakin bertambah dan hasilnya akan kembali untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M
Langkah tegas Pemerintah larang "thrifting" dan "predatory pricing"
Oleh Maria Cicilia Galuh Prayudhia Kamis, 28 Desember 2023 13:48 WIB