Jakarta (ANTARA) - Saat ini dunia internasional tengah fasih membicarakan bagaimana krisis perubahan iklim dapat mengancam peradaban. Mulai dari perubahan cuaca yang tidak menentu, banjir, hingga meningkatnya suhu panas di beberapa wilayah. Dengan berbagai fenomena alam itu, hampir semua negara yakin bahwa perubahan iklim memang nyata dan mampu mengantarkan Bumi ke dalam bencana ekologis.
Karena itu banyak negara di belahan dunia tak tinggal diam. Contohnya melalui Paris Agreement pada 12 Desember 2015 yang disepakati oleh 196 negara anggota, termasuk Indonesia. Traktat internasional tersebut menetapkan kerangka kerja global untuk menghindari perubahan iklim dengan membatasi kenaikan suhu global pada angka 1,5 derajat celcius, serta di bawah 2 derajat celcius untuk tingkat praindustri.
Selang 8 tahun kemudian, Uni Eropa sebagai salah satu pihak yang getol menyuarakan isu perubahan iklim telah menerapkan kebijakan European Union Deforestation - Regulation (EUDR) atau kebijakan deforestasi Uni Eropa. Secara asas, EUDR memang dianggap mulia karena dibuat untuk menciptakan industri yang ramah lingkungan. Namun di satu sisi banyak yang menganggap kebijakan itu problematik, sepihak, serta merugikan negara lainnya.
Melalui EUDR, Uni Eropa sepakat membuat aturan yang mewajibkan setiap eksportir melakukan verifikasi untuk menjamin produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan atau deforestasi.
Jika ditemukan adanya pelanggaran, eksportir dapat dikenai denda hingga 4 persen dari pendapatan yang diperoleh Uni Eropa. Produk ekspor yang menjadi sasaran EUDR yaitu minyak sawit beserta produk turunannya, arang, kakao, kopi, kedelai, daging sapi, kayu, karet, kertas, serta kulit.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai dengan aturan semacam itu, Indonesia menjadi salah satu pihak yang dirugikan. Bahkan, kebijakan EUDR itu cenderung mengarah ke diskriminasi ekologis.
“Kemarin dalam kunjungan di Uni Eropa, kami melihat bahwa komoditas kelapa sawit, kopi, kakao, sapi, karet, dan kayu itu juga dikenakan diskriminasi melalui EU Deforestation - Free Regulation,” kata Menko Airlangga saat ditemui ANTARA pada Kamis (20/6/2023).
Tak sampai di situ, EUDR juga menerapkan skema benchmarking yang mengklasifikasikan negara menjadi tiga tipe; negara berisiko rendah, standar, serta tinggi dalam melakukan deforestasi.
Adapun sebenarnya kerangka kebijakan EUDR telah lama dirundingkan di parlemen Eropa, namun baru diundangkan pada April 2023. EUDR baru resmi berlaku pada 16 Mei 2023, namun Uni Eropa memberikan masa transisi bagi perusahaan besar untuk mengimplementasi aturan baru itu dalam waktu 18 bulan, sementara perusahaan kecil mendapatkan fase transisi 24 bulan.
EUDR jadi sorotan utama para petani sawit. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir mengatakan EUDR berpotensi mendiskriminasi petani sawit kecil. Kebijakan itu mampu merugikan negara penghasil utama minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang memiliki banyak petani swadaya kecil seperti Indonesia dan Malaysia.
Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi) juga menyatakan sikap bahwa Uni Eropa harus memberikan dorongan peningkatan kepatuhan dan hukum terhadap keberlanjutan. Semua pemangku kepentingan harus menerapkan prinsip semua ikut serta, tidak boleh ada yang tertinggal (leave no one behind) dalam prinsip keberlanjutan atau sustainable.
Pasalnya, bila diimplementasikan untuk Indonesia, EUDR memang berpotensi memarjinalisasi petani kelapa sawit hingga merugi. EUDR dapat dikatakan memukul petani kecil dengan mengecualikan mereka dari akses pasar secara langsung.
Tak hanya Indonesia, negara penghasil utama minyak sawit atau CPO, seperti Malaysia juga merasa dirugikan. Hal itu yang membuat 3 minggu lalu, Deputy Prime Minister/Minister of Plantation and Commodities of Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof melakukan lawatan diplomatik bersama Menko Airlangga ke Eropa untuk menyampaikan sikapnya.