Batam (ANTARA) - “Saya sebelumnya tidak berpikiran akan dievakuasi. Saat itu saya sudah pasrah saja menunggu ajal," tutur Fikri Wahyudi Maulana, 22 tahun, penyintas konflik Sudan asal Batam, Kepulauan Riau.
Nasib baik masih berpihak pada mahasiswa Gabra Scientific Collage Sudan ini, ketika Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Khartoum di Sudan mengabari akan ada evakuasi bagi seluruh warga negara Indonesia, agar terselamatkan dari perang saudara di negeri itu yang telah menewaskan ratusan jiwa dan melukai ribuan orang.
15 April 2023. Tanggal itulah awal mula kisah Fikri, menjadi penyintas perang saudara akibat konflik antara militer Sudan pimpinan Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, dan paramiliter (Rapid Support Force) pimpinan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo.
Hari itu dia sedang menjalani aktivitas keseharian seperti biasa. Selain kuliah, dia dan beberapa temannya juga menjadi pengurus masjid di Kota Khartoum namun, tiba-tiba dia mendengar suara ledakan.
Suara ledakan dan tembakan tidak berhenti terdengar. Lalu, dia cek melalui menara masjid untuk melihat ke arah sumber ledakan di luar, ternyata baku-tembak.
Fikri hari itu memilih bertahan di rumah yang disediakan selama menjadi pengurus masjid.
Fikri bertahan sampai hari pertama Idul Fitri 2023 dan sempat melaksanakan shalat di masjid tersebut.
Setelah shalat sekitar pukul 10 pagi itu, Fikri pergi ke rumah warga berjarak sekitar 300 meter dari masjid, untuk mengisi daya handphone-nya karena listrik di sekitar kompleks masjid terputus.
Ia berencana pulang pukul 12 siang, tapi pada pukul 11.30 dapat kabar kalau rumah yang ditempatinya sudah hancur dihantam mortir.
Mengetahui hal tersebut, dia sangat bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkan dirinya dari serangan mortir nyasar tersebut. Setelah insiden mengerikan itu dia langsung memilih untuk mengungsi.
Fikri lalu mengabari orang tuanya yang berada di Batam serta kerabatnya di sana. Orang tua menangis, menyuruh dia cepat pulang.
Sementara itu, Abdurrahman Tsani, 23 tahun, merupakan abang kandung Fikri. Keduanya sama-sama kuliah di kota tersebut namun beda universitas.
Mereka tidak sempat bertemu selama kejadian karena berbeda tempat tinggal dan tempat pengungsian. Mereka bertemu kembali setelah tiba di Jakarta.
Kondisi yang dialami oleh Abdurrahman Tsani juga sangat menegangkan saat perang terjadi.
Dia dan 70 mahasiswa Indonesia yang tinggal di asrama sempat mengalami kesusahan mendapatkan makanan dan minuman.
Mereka dievakuasi menggunakan bus milik kampus ke kantor Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).
Fikri dan seluruh WNI yang berada di pengungsian sangat lega karena telah dievakuasi oleh pemerintah Indonesia dan saat ini telah kembali ke Tanah Air.
Setelah kembali di Batam, Fikri dan Tsani menunggu kepastian agar dapat terus melanjutkan pendidikan meskipun tidak melanjutkan di Sudan lagi.
Sementara ini kakak beradik itu membantu orang tua mengajar mengaji di rumahnya di Batam.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Gerak cepat KBRI yang menenangkan kakak beradik asal Batam di Sudan