Jakarta (ANTARA) - Di tengah pesatnya globalisasi dan perkembangan industri, hak kekayaan intelektual (HKI) menjadi aset penting bagi para pelaku usaha. Meskipun banyak yang sudah menyadari betapa berharganya HKI, tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menjaga dan mengawasi pemanfaatannya. Nah, salah satu pihak yang memiliki peran strategis dalam hal ini adalah Bea Cukai.
Menurut Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo, Bea Cukai tidak hanya bertugas dalam pengawasan dan pengendalian lalu lintas barang, tetapi juga turut aktif dalam menjaga dan melindungi HKI dari penyalahgunaan, pemalsuan, serta pelanggaran yang merugikan negara dan masyarakat. Dengan fungsi pengawasan yang tepat, Bea Cukai memastikan agar inovasi dan karya intelektual tetap mendapatkan perlindungan yang sah, serta mencegah masuknya barang-barang yang melanggar hak kekayaan intelektual ke pasar Indonesia.
Merujuk pada ketentuan dalam PMK Nomor 40/2018, Bea Cukai berperan dalam penangguhan sementara terhadap impor atau ekspor barang yang diduga melanggar HKI atas merek dan hak cipta yang telah direkam dan disetujui pada sistem perekaman (recordation) Bea Cukai. Penangguhan sementara ini dilakukan dengan mekanisme penegahan di kawasan pabean berdasarkan perintah penangguhan sementara dari Pengadilan Niaga.
Perekaman atau recordation adalah upaya dari pemilik HKI untuk memasukkan datanya ke dalam database kepabeanan Bea Cukai. Dengan mendaftar, pemilik HKI akan mendapatkan beberapa keuntungan seperti pencegahan yang efektif dan efisien sebelum barang yang melanggar HKI terdistribusi, menjaga kepercayaan konsumen terhadap produk di pasaran, hingga mempertahankan reputasi merek dari rendahnya kualitas produk palsu, ungkap Budi.
Melihat pentingnya perlindungan HKI, Bea Cukai pun senantiasa melakukan upaya optimal (extra effort) dalam penegakan hukum HKI di Indonesia. Selain tergabung dalam Satgas HKI bersama DJKI, Bareskrim Polri, BPOM, dan Kominfo, upaya optimal ini juga diwujudkan Bea Cukai melalui sosialisasi untuk meningkatkan awareness dari para pemilik merek tentang perlindungan HKI oleh Bea Cukai, peningkatan kerja sama secara nasional dengan DJKI dan internasional dengan WCO Operation Action IPR A/P III, hingga inisiasi program terobosan Customs Visit to Potential Recordants (CVPR).
CVPR adalah program baru Bea Cukai untuk mendukung peningkatan rekordasi dengan melakukan kunjungan langsung ke perusahaan yang berpotensi atau terindikasi mengalami pelanggaran HKI. Berjalan sejak awal tahun 2024, melalui program ini Bea Cukai telah mengunjungi beberapa perusahaan di bidang otomotif, kosmetik, minuman kemasan, tekstil, dan sebagainya, jelas Budi.
Sejak 2018 hingga September 2024 statistik data rekordasi Bea Cukai terus mengalami peningkatan, hingga kini tercatat ada 54 merek terdaftar, sambungnya.
Kemudian dari sisi pengawasan, Bea Cukai telah melakukan 17 kali penindakan HKI dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dengan 9 di antaranya telah diteruskan ke Pengadilan Niaga oleh pemegang merek. Dari 17 penindakan tersebut, Bea Cukai menindak setidaknya 1.146.240 buah pulpen, 160 gulung dan 890 karton amplas, 4.617.296 buah pisau cukur, 72.000 buah kosmetik, dan 1.681 karton masker.
Berbagai dampak negatif dapat timbul jika barang-barang palsu tersebut tetap beredar di masyarakat, mulai dari kesehatan, keselamatan, minat berinovasi, reputasi produk, trust issues untuk berinvestasi, hingga potensi produk menjadi sumber pembiayaan organisasi kriminal dan terorisme. Melihat hal ini, maka pengawasan terhadap pelanggaran HKI pun akan terus kami optimalkan, tentunya dengan menggandeng berbagai pihak terkait, tegas Budi.
Terakhir, Budi mengimbau kepada para pemilik merek dan hak cipta agar dapat segera mendaftarkan HKI-nya ke sistem rekordasi Bea Cukai. Dengan terdaftar di sistem rekordasi, maka Bea Cukai dapat secara langsung melindungi produk-produk asli dari ancaman pemasukan produk palsu melalui kawasan pabean.