Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru saja merekomendasikan Pemerintah Pusat untuk tetap meneruskan stimulasi dana Otonomi Khusus (Otsus) kepada Papua dan Papua Barat. Rekomendasi ini menindaklanjuti amanat UU no. 21 tahun 2001 yang menyatakan berakhirnya dana Otsus untuk Papua dan Papua Barat pada tahun 2021. Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berharap DPR RI melalui Komisi II dapat memprioritaskan pembahasan RUU tentang Otsus Papua, karena regulasi tersebut hanya berlaku sampai 20 tahun, dan berakhir pada tahun 2021.
Berkaca dari pelaksanaan Otsus selama 20 tahun ke belakang, kita dapat melihat masih banyak pembenahan yang harus dilakukan. Dalam penjelasannya pada kompas.com, Mendagri menyatakan ada dua alternatif pembahasan RUU Otus, yaitu: melakukan keberlanjutan Otsus 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU); dan melanjutkan pembahasan RUU pada tahun 2014, bahwa dana Otsus akan terus dilanjutkan guna mempercepat pembangunan di Papua. Posisi penting dari Otsus ini sampai membuat Kemendagri mengusulkannya sebagai salah satu dari lima RUU dalam Prolegnas 2020-2024. Semua stakeholder yang diamanahkan untuk mengawaki RUU-RUU ini perlu mengintensifkan dan mengakselerasikan kinerjanya agar tugas negara yang dibebankan kepada mereka cepat selesai untuk kemaslahatan umat.
Seperti yang sudah dijelaskan, aspirasi masyarakat Papua akan ditampung dengan sistem bottom-up dan top-down jaring aspirasi, namun bagaimana apabila RUU Otsus terus mengalami kondisi ‘deadlock´?
Dalam beberapa pertimbangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat saja dikeluarkan, apabila RUU Otsus tidak selesai dibahas sampai tahun 2021. Perppu menjadi penting bagi penyelenggaraan Otsus karena adanya ihwal kepentingan yang memaksa yang harus segera dikejar. Perpu sendiri memiliki hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan UU. Perbedaan antara keduanya adalah dari segi pembentukannya, dimana undang-undang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sedangkan Perppu ditetapkan oleh Presiden.
Pada kasus RUU Otsus, secara sederhana, ihwal kepentingan memaksa yang dimaksud antara lain:
Apabila tidak ada regulasi yang mengatur, maka Otsus yang akan berhenti 2021 tidak akan dapat dilanjutkan, sementara BPK sudah merekomendasikan untuk meneruskan stimulasi dana Otsus pada Papua dan Papua Barat. Ada konsekuensi terusan dari putusan tersebut, yaitu: keberlanjutan jaminan kesehatan, pendidikan, dan lainnya di Papua.
Undang-undang yang dibutuhkan masih belum cukup memadai, karena RUU Otsus masih belum disepakati oleh DPR dan mungkin belum mengelaborasi keseluruhan aspirasi dari masyarakat Papua yang ditampung. Seluruh pelaku yang berkenaan dengan dana Otsus membutuhkannya untuk mendapatkan kepastian mekanisme implementasi Otsus setelah tahun 2021.
Kita tidak berharap bahwa negara akan mengalami keterlambatan dalam rativikasi RUU Otsus, namun melihat kondisi saat ini, masih banyak yang harus dilibatkan dalam perumusan revisi UU Otsus Papua, termasuk di dalamnya adalah tokoh masyarakat, agamat, adat, dan legislative Papua dan Papua Barat.
Namun, apabila hal itu tidak sempat terlaksana tepat waktu, maka sudah sepatutnya ada alternatif jalan keluar yang mulai dipikirkan untuk tetap mengakomodir pelaksanaan Otsus dengan landasan hukum yang tepat, salah satunya adalah melalui penerbitan Perppu di waktu ke depan. (31/*).
*Penulis adalah, Mahasiswa pasca sarjana di Jawa Barat.
Apakah Perlu Dikeluarkan Perppu Jika Pembahasan RUU Otsus Papua Mengalami "Deadlock"?
Senin, 30 Maret 2020 13:38 WIB
Sudah sepatutnya ada alternatif jalan keluar yang mulai dipikirkan untuk tetap mengakomodir pelaksanaan Otsus dengan landasan hukum yang tepat, salah satunya adalah melalui penerbitan Perppu di waktu ke depan.