Jakarta (ANTARA) - Pangan merupakan hal yang paling mendasar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari sekaligus wujud kemampuan suatu Negara dan bangsa mempertahankan eksistensinya sebagai suatu Negara yang berketahanan nasional. Disamping itu, terpenuhi atau tidaknya pangan bagi rakyat dalam suatu Negara akan berimplikasi secara luas ke wilayah ekonomi, sosial dan politik, yang nantinya akan berdampak pada stabilitas Negara. Bahkan Presiden RI Soekarno pernah berkata “Pangan merupakan soal mati-hidup suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi maka akan terjadi malapetaka.”
Namun, hingga saat ini permasalahan pangan masih menjadi problematika mendasar bagi bangsa Indonesia yang notabene sebagai Negara dengan wilayah yang begitu luas dan sumber daya alam melimpah. Tingkat impor pangan masih tinggi, harga pangan masih mahal dan kerawanan pangan masih mengancam di berbagai daerah. Bahkan dapat dikatakan hampir 74 tahun Indonesia merdeka, rakya Indonesia masih belum merasakan kedaulatan pangan. Lalu apa yang salah ?.
Secara instrumen regulasi telah banyak yang mengatur tentang kedaulatan pangan mulai dari instrumen internasional yakni Deklarasi HAM Tahun 1948 dan Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005. Sedangkan instrumen nasional yakni konstitusi Negara Indonesia UUD 1945 Tahun 1945 telah menjamin hak pangan yang secara implisit terkandung dalam pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan pasal 34. Kemudian, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) telah mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan harus berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan.
Konsep kedaulatan pangan saat ini menjadi alternatif bagi kebijakan ekonomi di banyak Negara termasuk di Indonesia. Kedaulatan pangan adalah hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Namun, alih-alih usaha secara besar-besaran dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, justru meneguhkan adagium jauh panggang daripada api. Beberapa modus mengeruk keuntungan dari kebijakan pro impor pun dilakukan diantaranya 1) menaikkan estimasi kebutuhan komoditi pangan demi memunculkan impor sebagai suatu keharusan, 2) membuat lonjakan harga komoditas pangan sehingga impor pangan terjustifikasi, 3) mendorong kemudahan perpajangan sehingga importer mendapat keuntungan besar dari pembebasan pajak, 4) memainkan berbagai mekanisme regulasi terkait impor. Sedangkan bagi petani, impor pangan mempunyai dampak yang cukup berarti.
Oleh karena itu, Pemerintah harus dapat bertindak secara tegas, melakukan penegakan hukum pemberantasan mafia impor pangan apabila tidak ingin Indonesia jatuh kedalam jebakan pangan (food trap) yang antara lain disebabkan oleh pilihan kebijakan penyediaan kebutuhan pangan nasional bertumpu pada impor. Dengan banyaknya lembaga yang menangani masalah pangan menyebabkan penyelenggaraan pangan seringkali tidak efektif. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan impor pangan saat ini diantaranya adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Bulog. Adanya kepentingan ego sektoral masing-masing lembaga menyebabkan penyelenggaraan pangan menjadi tidak maksimal.
Perbaikan diberbagai lini perlu segera dilakukan agar prioritas Nawacita Presiden Jokowi tentang kedaulatan pangan dapat tercapai diantaranya, penegakan hukum pemberantasan mafia impor pangan yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system). Selain itu, sebagaimana diamanatkan dalam UU Pangan agar segera membentuk Lembaga Pangan Nasional, serta memperkuat kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), melakukan perencanaan yang matang dalam setiap pengambilan kebijakan ketahanan pangan, dan yang paling utama adalah meningkatkan produksi pangan dalam negeri melalui program diversifikasi pangan.
Memperbaiki struktur pangan dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, yaitu melalui peningkatan produksi pangan untuk mengurangi ketergantungan kepada pangan impor merupakan hal yang paling utama, sehingga penyelewengan kebijakan impor pangan ataupun kemungkinan pembentukan kartel pangan oleh para pelaku usaha dapat diminimalisir, dan pada akhirnya Indonesia dapat meningkatkan kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. (63/*).
------oo00oo------
Indonesia Bebas Mafia Pangan
Kamis, 26 Desember 2019 9:24 WIB
Memperbaiki struktur pangan dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, yaitu melalui peningkatan produksi pangan untuk mengurangi ketergantungan kepada pangan impor merupakan hal yang paling utama.