Jakarta (ANTARA) - Juara dua dengan 91 emas. Terakhir kali Indonesia menyentuh angka 90-an medali pada tahun 1991, 34 tahun yang lalu, di Manila Filipina.
Kita bicara tentang prestasi SEA Games Indonesia di luar saat menjadi tuan rumah penyelenggaraan. Jika dihitung dari raihan medali paling banyak yang belum pernah dilampaui sejak lama, ada pada 1993, saat SEA Games berlangsung di Singapura dengan torehan 88 medali emas. Paling mendekati adalah SEA Games 2023 di Phnom Pehn, Kamboja, dengan torehan 87 emas.
Di tengah-tengah itu, prestasi emas Merah Putih naik turun. Terendahnya 38 emas saja, peringkat lima, di Kuala Lumpur tahun 2017. Tidak sampai satu dekade lalu. Tertingginya, baru di akhir 2025 ini.
Pertanyaannya, kenapa dulu Indonesia pernah berjaya di pesta olahraga Asia Tenggara, bahkan tiga kali juara beruntun pada 1989-1993, lalu kemudian tidak stabil di pertengahan, kemudian bangkit di 2025?
Ada banyak faktor sebenarnya. Tapi, mari ambil beberapa poin utama yang bisa menjadi notasi untuk Indonesia berjaya lagi di dunia olahraga.
Pada era emas Indonesia dalam bidang olahraga, yaitu puncaknya di akhir 1980-an dan di awal 1990-an, dominasi cabang olahraga terpetakan untuk kekuatan setiap negara.
Di masa itu, bulu tangkis Indonesia jadi kekuatan dunia. Bukan lagi Asia Tenggara. Memang badminton yang kerap mendapat sorot lampu, meski sebenarnya angkat besi, pencak silat, atletik, panahan, tinju, renang, dan dayung turut menyumbangkan medali emas.
Kala itu, di saat komputer dan internet belum masuk ke Indonesia, para atlet lebih banyak mengandalkan kerja keras dan keistimewaan dididik oleh pelatih mantan juara. Para juara di era sebelumnya turun tangan langsung melatih, untuk melahirkan juara selanjutnya.
Baca juga: Indonesia berhasil menempati peringkat ke-13 dari 57 negara peserta ISG 2025
Lim Swie King, legenda bulu tangkis Indonesia pernah bilang, perbedaan atlet badminton dulu dan era sekarang adalah porsi latihan. Dulu, atlet hanya mengandalkan kerja keras untuk mengokohkan bakat mereka. Di tengah keterbatasan, justru daya juang lebih matang untuk kemudian menguatkan mental pantang menyerah. Bukankah hal-hal seperti itu sudah dicontohkan oleh para pejuang kemerdekaan?
Tradisi turun temurun, juara menjadi pelatih memastikan regenerasi tak terputus. Untuk cabang olahraga pencak silat, Indonesia memiliki kelebihan karena terlahir di dalamnya di saat negara-negara lain baru mempelajarinya.
Selain itu, cabang bela diri seperti pencak silat mempertandingkan banyak nomor yang berarti banyak emas. Transfer generasi sangat mulus. Pelatih adalah mantan juara. Filosofi dan gaya bertarung diturunkan langsung, tidak tergantung satu dua bintang. Ini menjadikan regenerasi terjadi secara alami.
Namun,, olahraga, sama seperti keahlian apapun lainnya, bisa dipelajari bagi mereka yang bersungguh-sungguh. Bakat yang malas akan kalah oleh si pekerja keras.
Negara-negara lain di Asia Tenggara mulai berbenah. Singapura menjadi kekuatan tenis meja baru di ASEAN setelah "mendatangkan" bakat dari China. Thailand, memulai proyek olahraga besar mereka di awal 2000-an untuk dituai dalam jangka panjang.
Proyek olahraga sistematis yang dapat dilihat oleh para tamu SEA Games 2025. Di Thailand, tidak ada gedung baru yang dibangun khusus untuk dijadikan sebagai arena SEA Games ke-33. Tidak seperti Indonesia menyelenggarakan Asian Games 2018 dengan pembangunan dan renovasi besar-besaran di Jakarta dan Palembang.
Ini menjadi sebuah indikasi positif dan negatif sekaligus.
Hal buruknya yang sangat dirasakan adalah ketidakmegahan pesta olahraga negara-negara ASEAN. Kompetisi terasa biasa saja seperti liga sepak bola yang digelar per musim setiap tahun. Tidak gegap gempita. Agak hambar seperti turnamen olahraga lokal.
Tapi hal baiknya, hemat biaya bagi penyelenggara tentu saja. Dan bagi para tamu negara ASEAN lainnya, pelajaran berharga dilihat dari mata kepala sendiri bahwa Thailand telah menggeser level olahraga mereka.
Baca juga: Indonesia juara umum Triatlon SEA Games
Kenapa menggeser level, bukannya naik level? Karena fasilitas olahraga yang mereka punya tidak lebih bagus dari apa yang ada di Indonesia. Hanya saja, Thailand menjadikan olahraga sebagai bagian napas mereka sejak level sekolah.
Lihat saja arena angkat besi dan sepak bola wanita yang diselenggarakan di Chon Buri. Arena itu ada di area Sekolah Olahraga Chon Buri. Arena pertandingan bulutangkis dan gimnastik, adalah stadion di lingkungan salah satu universitas papan atas di Thailand, Universitas Thamasat.
Arena pertandingan bisbolnya, ada di Institut Sains Olahraga yang di dalamnya juga ada Pusat Bakat Olahraga. Arena pertandingan tenis, ada di Pusat Pengembangan Olahraga Tenis di Thailand.
Semua bangunan itu sudah berumur, tidak lagi baru. Yang artinya, proyek olahraga besar-besaran di Thailand sudah berjalan puluhan tahun.
Mereka sudah memulai sport science sejak lama. Mereka menggeser pembinaan bakat olahraga para atlet bukan dari klub, tapi di level institusional seperti sekolah dan universitas.
Di Indonesia, beberapa cabang olahraga mulai menerapkan sport science. Lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Tapi yang perlu dicatat, jangan hanya jadikan angka-angka pada sains olahraga sebagai data pelengkap. Sport science adalah inti pembekalan dan pembinaan atlet, untuk pemetaan arah besar pembentukan atlet dan olahraga Indonesia.
Catatan penting lainnya. Ini penting. Pisahkan olahraga dengan politik. Memang ada saatnya olahraga butuh diplomasi para politisi, butuh dukungan pemimpin negara sebagaimana Presiden Parbowo Subianto berupaya memasukkan pencak silat jadi cabang olahraga Olimpiade.
Namun, politik dan olahraga yang perlu dipisahkan adalah intervensi kepentingan politik praktis ke dalam tata kelola prestasi. Ini adalah pernyataan anti-politisasi. Bukan anti-politik.
Kapan politik mulai merusak olahraga? Ketika politik masuk ke pemilihan ketua federasi, menentukan siapa pelatih, mengatur siapa atlet yang main, memecah organisasi demi kepentingan kelompok. Di titik ini, yang terjadi bukan diplomasi, tapi perebutan kekuasaan.
Dualisme kepengurusan federasi olahraga adalah bukti paling telanjang. Lihat pada cabang olahraga tenis meja dan anggar di SEA Games 2025. Cabang olahraga yang sejak lama mengalami dualisme kepengurusan, meski sekarang sudah terselesaikan, prestasi atletnya jadi tertahan.
Prestasi atlet akan runtuh ketika politik praktis mengambil alih ruang teknis olahraga.
Semoga olahraga Indonesia jaya.
