Jakarta (ANTARA) - Di era digital yang semakin terbuka, satu ironi masih melekat kuat dalam dunia kerja Indonesia, yaitu kita hidup di zaman transparansi, tetapi soal gaji masih menjadi "rahasia umum."
Banyak perusahaan masih menahan informasi penting ini di tahap awal rekrutmen, membuat pelamar harus menebak-nebak berapa nilai kerja mereka di mata perusahaan. Ketertutupan gaji bukan hanya masalah efisiensi informasi tetapi juga masalah keadilan sosial, terutama bagi perempuan.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika perusahaan diwajibkan mencantumkan gaji dalam iklan lowongan kerja, jumlah lamaran dari perempuan ke perusahaan besar dan bergaji tinggi meningkat hampir dua kali lipat. Artinya, perempuan bukan tidak tertarik bekerja di perusahaan bergengsi, melainkan tidak memiliki informasi cukup untuk menilai apakah pengorbanan fleksibilitas seperti jam kerja panjang atau mobilitas tinggi sepadan dengan kompensasi yang ditawarkan?
Fenomena ini sesungguhnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Kita sering berbicara tentang kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan, tapi jarang menyentuh akar masalah berupa friksi informasi di pasar tenaga kerja. Banyak perusahaan di Indonesia baik di sektor swasta, BUMN, maupun startup tidak mencantumkan kisaran gaji dalam iklan pekerjaan. Akibatnya, pelamar kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan rasional, terutama perempuan yang lebih sensitif terhadap fleksibilitas dan kompensasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rata-rata upah perempuan di Indonesia hanya sekitar 80–85 persen dari upah laki-laki untuk pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan tanggung jawab yang setara. Sebagian orang menjelaskan ini dengan alasan klasik: perempuan lebih memilih pekerjaan yang fleksibel agar bisa mengatur waktu keluarga. Namun, pertanyaannya apakah mereka benar-benar memilih, atau sebenarnya tidak tahu nilai “harga fleksibilitas” yang mereka bayar?
Penelitian Jalal mengungkap bahwa ketika informasi gaji dibuka, minat perempuan terhadap perusahaan besar melonjak hampir 100%. Ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan terhadap kompensasi, bukan preferensi fleksibilitas, yang menjadi penghalang utama.
Di Indonesia, iklan kerja di sektor seperti perbankan, asuransi, dan pariwisata sering menggunakan istilah "menarik," "kompetitif," atau "sesuai kemampuan," tanpa menyebut angka. Sebaliknya, startup dan lembaga internasional yang menerapkan transparansi gaji justru menarik lebih banyak talenta, termasuk perempuan dan profesional muda. Artinya, keterbukaan gaji bukan hanya isu moral, tetapi strategi bisnis untuk menarik SDM berkualitas.
Banyak perempuan Indonesia bekerja di sektor informal atau usaha kecil karena fleksibilitas waktu. Menurut Sakernas (2024), lebih dari 60 persen perempuan berada di sektor informal, dengan penghasilan jauh di bawah UMR. Jika perusahaan besar lebih terbuka tentang gaji dan fasilitas, sebagian dari mereka mungkin akan berpindah ke sektor formal dengan kompensasi lebih baik.
Masalahnya, fleksibilitas di perusahaan besar masih dianggap "kemewahan." Jam kerja tetap, kewajiban hadir di kantor, dan budaya lembur membuat banyak perempuan ragu untuk melamar, apalagi tanpa informasi pasti tentang imbalan finansial yang akan mereka terima. Padahal, jika mereka tahu bahwa perusahaan besar menawarkan gaji dua atau tiga kali lipat dari sektor informal, keputusan mereka mungkin berbeda.
Sebaliknya, perusahaan kecil sering menjual fleksibilitas sebagai daya tarik, meski dengan gaji rendah. Ini menciptakan perangkap sistemik: perempuan “membeli” fleksibilitas dengan harga murah, tanpa tahu berapa mahal sebenarnya harga yang mereka bayar.
Transparansi gaji memiliki manfaat ganda yaitu ekonomi dan sosial. Dari sisi ekonomi, keterbukaan mengurangi asimetri informasi antara pencari kerja dan perusahaan. Pelamar dapat memilih pekerjaan secara efisien, sementara perusahaan menerima kandidat yang sesuai dengan kisaran kompensasi yang ditawarkan.
Dari sisi sosial, transparansi memperkuat keadilan. Dengan mengetahui gaji di muka, perempuan tidak perlu berspekulasi apakah perusahaan besar "layak diperjuangkan." Dalam eksperimen Jalal, kebijakan pengungkapan gaji meningkatkan peluang perempuan diterima di perusahaan besar sebesar 18 persen. Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi peluang nyata untuk mobilitas sosial dan peningkatan produktivitas nasional.
Jika diterapkan di Indonesia, dampaknya akan signifikan, terutama di industri padat karya seperti tekstil, perhotelan, dan layanan keuangan, di mana perempuan menjadi tulang punggung tenaga kerja. Transparansi gaji akan mendorong kompetisi sehat antarperusahaan, memperkuat standar upah sektoral yang lebih adil, dan meningkatkan partisipasi perempuan di posisi strategis.
Namun, penerapan kebijakan ini bukannya tanpa tantangan. Budaya "menyembunyikan gaji" sudah lama tertanam, bahkan di antara karyawan. Banyak perusahaan khawatir transparansi akan memicu kecemburuan internal atau negosiasi ulang gaji massal.
Sebagian perusahaan kecil juga takut publikasi gaji akan memudahkan kompetitor "mencuri" tenaga kerja mereka. Kekhawatiran ini wajar, tetapi berlebihan. Pengalaman dari Kanada dan Inggris menunjukkan bahwa setelah kebijakan transparansi diterapkan, produktivitas dan kepuasan kerja meningkat, sementara pergantian karyawan (turnover) menurun.
Di sektor publik, Indonesia sudah memiliki dasar hukum transparansi gaji, seperti dalam struktur ASN. Namun di sektor swasta, belum ada regulasi yang mewajibkan pencantuman gaji dalam iklan lowongan. Kementerian Ketenagakerjaan baru sebatas mendorong kesetaraan upah untuk pekerjaan bernilai sama, belum menyentuh aspek keterbukaan informasi di tahap rekrutmen.
Apa yang harus dilakukan
Pertama, pemerintah perlu menetapkan regulasi transparansi gaji yang mewajibkan perusahaan mencantumkan kisaran gaji dalam setiap iklan lowongan. Langkah ini bisa dimulai secara bertahap, misalnya untuk perusahaan dengan lebih dari 100 karyawan atau yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Kedua, platform rekrutmen digital seperti JobStreet, LinkedIn, atau Karir.com dapat berperan aktif dengan mewajibkan kolom gaji terisi sebelum iklan tayang. Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam digitalisasi ketenagakerjaan harus diarahkan untuk mengurangi friksi informasi ini.
Ketiga, perusahaan perlu melihat transparansi sebagai investasi reputasi dan efisiensi. Dengan membuka informasi gaji, mereka menarik pelamar yang relevan dan mengurangi proses seleksi yang tidak produktif.
Keempat, pendidikan karier bagi perempuan perlu diperkuat. Banyak perempuan, terutama di daerah, tidak memiliki kemampuan negosiasi upah atau pemahaman tentang struktur gaji di industri. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga pelatihan kerja dapat berperan dalam meningkatkan literasi karier dan kesadaran akan nilai ekonomi pekerjaan.
Transparansi gaji bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin nilai-nilai dasar dalam dunia kerja yaitu keadilan, kesetaraan, dan kejujuran. Di Indonesia, di mana perempuan masih menghadapi hambatan struktural dalam karier, keterbukaan informasi dapat menjadi alat sederhana tapi kuat untuk memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan.
Satu kebijakan kecil yang mewajibkan pengungkapan gaji dapat menggandakan partisipasi perempuan dalam sektor bergaji tinggi, maka, bayangkan dampaknya jika Indonesia menerapkan secara nasional.
Sudah saatnya kita berhenti membuat para pencari kerja menebak-nebak nilai kerja mereka. Keterbukaan gaji bukan hanya tentang upah, melainkan tentang martabat. Dalam ekonomi masa depan yang berkeadilan, martabat itulah yang seharusnya menjadi fondasi dari setiap pekerjaan di negeri ini.
*) Dr.Aswin Rivai, Pemerhati Ekonomi Dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta
Baca juga: Pemprov Jabar jelaskan dasar gaji serta tunjangan gubernur sampai puluhan miliar
Baca juga: Presiden Prabowo apresiasi para dokter yang tak tergoda gaji besar di luar negeri
Baca juga: Menjaga kapasitas fiskal demi tenaga pendidik
