Mataram (ANTARA) - Pagi dingin menyelusup di antara deretan warung kayu di Gili Trawangan, sebuah pulau kecil di lepas pantai Lombok bagian utara yang selama ini menjadi magnet wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Di antara aroma kopi dan suara sandal jepit turis yang melangkah di pasir, terdapat kisah panjang yang tidak seindah pemandangan lautnya. Di balik keriuhan wisata dan gemerlap resor, tersimpan persoalan besar, yakni lahan seluas 65 hektare yang statusnya telah lama diperdebatkan.
Lahan yang dahulu dikelola oleh PT Gili Trawangan Indah (GTI) kini menjadi titik panas sengketa antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sejumlah pihak swasta.
Kawasan yang semestinya menjadi aset strategis daerah itu justru menyimpan luka panjang akibat lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan pengelolaan di masa lalu.
Kini, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui pembentukan satuan tugas khusus yang menangani penyelesaian sengketa lahan di kawasan wisata andalan itu.
Kisah ini bermula dari kerja sama pengelolaan antara Pemprov NTB dan PT GTI yang berakhir pada tahun 1997. Setelah itu, lahan yang seharusnya kembali ke pengelolaan pemerintah justru terlantar tanpa kejelasan.
Dalam kurun waktu itu, sejumlah pihak mulai menempati lahan tersebut. Sebagian membangun tempat usaha, sebagian lagi menjadikannya tempat tinggal tanpa izin resmi. Situasi ini berlangsung begitu lama hingga akhirnya menciptakan tumpang tindih kepemilikan dan memunculkan kerugian negara.
Kejati NTB kemudian melakukan penyelidikan mendalam dan menetapkan tiga tersangka. Satu orang berasal dari unsur aparatur sipil negara, sementara dua lainnya dari kalangan swasta.
Hasil audit akuntan publik menyebutkan adanya kerugian keuangan negara senilai Rp1,4 miliar akibat penyalahgunaan lahan tersebut.
Lahan strategis yang seharusnya mendatangkan pendapatan daerah justru menjadi sumber masalah.
Lemahnya sinergi antarinstansi, baik antara pemerintah daerah, badan pertanahan, maupun lembaga hukum, memperburuk situasi yang sudah kompleks.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah implikasi sosial dan lingkungan. Ketika penguasaan lahan tidak jelas, pembangunan informal pun tak terelakkan.
Di beberapa titik, muncul bangunan permanen tanpa izin yang mengganggu tata ruang dan mengancam kelestarian pesisir.
Ekosistem terumbu karang dan biota laut perlahan terganggu oleh aktivitas manusia yang tak terkendali. Masyarakat lokal yang sejak lama hidup berdampingan dengan alam kini terdesak oleh pertumbuhan usaha wisata tanpa arah.
Kolaborasi terbuka
Menyelesaikan sengketa lahan Gili Trawangan membutuhkan langkah yang lebih dari sekadar penindakan hukum. Diperlukan pendekatan multidimensi yang berorientasi jangka panjang dan berpihak pada kepentingan publik.
Langkah pertama adalah memastikan data dan status hukum lahan benar-benar jelas. Pemerintah Provinsi NTB perlu memperbarui data aset secara menyeluruh, bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pariwisata, dan lembaga hukum.
Data harus terbuka untuk publik agar setiap perubahan status dapat dipantau masyarakat. Transparansi menjadi kunci pencegahan agar kesalahan yang sama tidak terulang.
Langkah kedua adalah memperkuat satuan tugas (satgas) penyelesaian sengketa yang sudah dibentuk. Kejaksaan Tinggi NTB memiliki peran strategis dalam memberikan kepastian hukum dan pendampingan administratif kepada pemerintah daerah.
Langkah ketiga menyangkut aspek sosial. Masyarakat lokal perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan kawasan. Warga yang selama ini hidup dari pariwisata harus menjadi bagian dari solusi, bukan korban dari penataan ulang.
Dari sisi ekonomi, pemerintah daerah harus mampu memastikan pemanfaatan lahan tidak hanya menguntungkan investor besar, tetapi juga memperkuat ekonomi masyarakat setempat.
Reinvestasi hasil sewa lahan untuk pembangunan infrastruktur publik seperti air bersih, pengelolaan sampah, dan konservasi alam akan membawa dampak jangka panjang bagi kesejahteraan.
Pembangunan berlebihan bisa merusak sumber daya yang justru menjadi daya tarik utama wisata itu sendiri.
Pemerintah perlu menegakkan regulasi zonasi yang jelas agar kawasan tetap lestari, menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ekologis.
