Penampilannya lusuh, jauh dari kesan rapi, layaknya orang yang tinggal di kampung."Mau cari siapa neng?" kata pria tidak dikenal itu kepada ANTARA saat mengunjungi sebuah rumah yang kata penduduk sekitar perkampungan Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu adalah sebuah sekolah, beberapa waktu lalu.
Kesan pertama bertemu dengan pria itu cukup mengagetkan, penampilannya yang kucel, hanya menggunakan baju kaos berkrah warna coklat berpadu celana pendek selutut yang penuh dengan lumpur. Sepertinya pria tersebut baru pulang dari sawah, karena tidak jauh dari rumah itu persis di depannya terdapat hamparan sawah menghijau yang tidak terlalu luas.Tanpa menggunakan alas kaki, ia berdiri dengan kaki yang penuh lumpur yang telah mengering terkena udara.
"Mau ketemu dengan pemilik sekolah ini, pak, orangnya ada tidak pak?", kata ANTARA kepada sosok pria yang tidak dikenal sambil mengamati bangunan itu, seolah tidak peduli dengan kehadiran pria yang tidak dikenal.Kondisi bangunan itu, cukup menarik perhatian. Karena menurut warga sekitar itu adalah sebuah sekolah. Setelah mengamati sesaat bangunan sederhana itu terdiri atas empat ruangan, ruangan pertama seperti gudang, berlantai tanah dan berdinding bilik dari bambu.Ruangan itu menyatu dengan tiga ruangan berdinding batu, ruang pertama di dalamnya terdapat sejumlah anak-anak remaja seperti tengah belajar menghadap ke arah Utara rumah.
Begitu juga di ruangan ke dua, beberapa orang anak mengenakan seragam pramuka tengah asyik membaca tulisan yang di depan papan tulis yang ditunjuk oleh seorang guru perempuan. Anak-anak itu duduk membelakangi pintu masuk sehingga hanya terlihat punggungnya saja dari balik jendela kaca berukuran 1x 0,5 meter.Terbayang berapa sumpeknya ruangan itu, namun anak-anak itu tetap konsentrasi menghadap ke depan dan mengikuti arahan ibu guru.
Keheranan makin membuncah, ketika pandangan mengarah ke bagunan paling ujung, sebuah ruangan berukururan lumayan besar dapat menampung kursi tamu, yang didalamnya terdapat satu kamar yang menyatu dengan dapur, seorang bocah laki-laki terlihat terlelap di tengah dapur dipenuhi lalat.
Suasana hening menyeruak, melihat pemandangan yang tidak biasanya. Sebuah sekolah yang dibangun seadanya dengan kondisi yang tidak seperti sekolah pada umumnya.
"Ada apa ya, saya pemiliknya, mau ada keperluan apa ya," kata pria itu membalas tanya dengan ragu-ragu.
Rasa kaget muncul tiba-tiba usai pria itu memperkenalkan dirinya sebagai pemilik sekolah yang diberi nama Salafiyah Miftahul Hidayah.Ternyata benar kata pepatah, "Jangan melihat buku dari kulit luarnya saja". Sungguh tidak menyangka pria yang berpenampilan lusuh itu ternyata pemilik sekolah tersebut.Pria itu memperkenalkan dirinya, namanya Dedi Sukardi, bekerja sebagai petani dengan penghasilan seadanya, tapi ia mampu mendirikan sekolah gratis bagi anak petani di kampungnya.
Setelah perkenalan itu, Dedi pun mulai bercerita, sekolah itu ia bangun sejak 17 tahun silam. Sekolah itu dulunya adalah pondok pesantren yang mengajarkan membaca dan menghafal Alquran serta memahami Islam.Di pondok pesantren itu, ia menampung dan mendidik anak-anak dari keluarga tidak mampu yang ada di kampungnya.Bahkan ada juga anak-anak dari luar kampungnya yang ingin belajar Alquran secara gratis di ponpes Salafiyah Miftahul Hidayah miliknya.
"Dulu cukup banyak yang belajar agama di sini, santri saya sampai 100 orang," katanya.Tapi, waktu terus berjalan, roda pun berputar, sedikit demi sedikit jumlah santri terus berkurang.Pondok pesantren asuhannya semakin ditinggalkan, banyak yang beralih masuk sekolah umum.Keinginannya untuk menyebarkan pendidikan agama kepada masyarakat di kampungnya tidak menyurutkan hatinya untuk terus memberikan pendidikan.
Hingga pada dua tahun silam ia pun mengubah pondok pesantren menjadi sekolah umum."Alhamdulillah, sudah dua tahun berjalan, siswa saya mulai banyak sekarang saya punya SD baru ada kelas I jumlah siswa 15 orang, sedangkan SMP sudah ada kelas I dan II, ada 50 anak, " katanya.Tidak hanya itu, Dedi sudah mendaftarkan sekolahnya ke badan akreditasi. Sekolah anak petani itu pun memiliki akreditasi B dan statusnya telah diakui.
Dengan status itu pun, Dedi memberikan pendidikan kepada puluhan anak dari kampungnya. Ia pun semakin percaya diri karena ijazah yang dikeluarkan sekolahnya bisa bermanfaat untuk anak-anak kampung itu.Sebagai sekolah umum, pendidikan yang diberikan oleh para guru di sekolah itu sama dengan pendidikan lainnya, ditambah pendidikan agama seperti Aqidah Akhlah, Fiqih, Sejarah Islam dan Alquran Hadist kepada para muridnya.
Sekolah itu dipimpin oleh salah seorang kepala sekolah dan 10 orang guru yang mengajarkan pendidikan umum dan agama, termasuk Masnah, istri Dedy yang ikut mengajarkan pendidikan Bahasa Indonesia kepada siswa SD.Sebagai sekolah swasta, Dedi menggaji semua gurunya dari penghasilannya sebagai seorang petani.
Ia mengatakan, para guru diupah Rp15.000 per jam. Masing-masing guru rata-rata mengajar selama 4 jam per hari, jika dikalkulasikan per bulan penghasilan guru rata-rata hanya Rp1 jutaan."Kadang saya bayar dengan beras dan hasil kebun di ladang saya," kata Dedi.Meski dibayar seadanya, para guru yang mengabdikan dirinya di sekolah tersebut tidak keberatan jika tenaganya diupah hanya dengan cabai, beras atau sayur-sayuran.Sebagai alumni Ponpos Hidayatul Wildanah di Leuwiliang, Dedi mengajarkan kosep ikhlas dalam mejalankan setiap pekerjaan. Dan konsep ini pula yang digunakan para guru untuk terus mengajar anak-anak para petani itu.
Kemampuan Dedi dibidang agama selain mengantarkanya menjadi seorang guru, Dedi juga dipecaya sebagai ketua MUI Desa Rabak. Ia juga dikenal sebagai tokoh agama setempat. Tak jarang banyak masyarakat yang mengadukan dan meminta nasehat kepada darinya.Sebagai alumnus pondok pesantren yang diajarkannya tentang Alquran dan Islam secara luas. Dedi memiliki mimpi dan keinginan mencerdaskan masyarakat kampungnya dengan pendidikan agama yang dimilikinya.
"Zaman sekarang beban hidup sangat besar, saya hanya ingin masyarakat kampung saya memiliki pendidikan sehingga bisa terus bertahan hidup, khususnya pendidikan agama," katanya.Menurut Dedi, ilmu agama sangat penting dimiliki manusia sebagai hamba Tuhan yang hidup di dunia dengan segala likunya.Meski penghasilan pas-pasan Dedi mengaku tidak merasa kesulitan mengembangkan sekolah miliknya hingga kini.
Dengan penghasilan yang seadanya sebagai seorang petani, Dedi membangun sekolah tersebut dari hasil kebunnya. Setiap ada uang, ia memperbaiki satu per satu bangunan yang rusak. Ia pun membuat sendiri papan tulis, meja dan kursi belajar untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolahnya."Kalau ada uang lebih, saya beli kayu dan paku, saya buat kursi dan meja belajar," katanya sambil menunjuk ke arah kursi yang dibuat seadanya dari kayu yang pengetamannya pun tidak rata.
Hampir 80 persen bangunan di sekolah tersebut ia bangun dengan uang dan hasil jerih payahnya. Tak jarang ada juga pejabat dan masyarakat yang menyumbang untuk pembangunan di sekolahnya."Alhamdulillah, rezeki dari Allah datangnya tiba-tiba. Ada juga pejabat yang datang kadang menyisihkan sumbangan untuk sekolah kami," katanya.Dedi percaya bahwa setiap niat baik selalu dimudahkan oleh Tuhan, dengan keyakinan itu, Dedi optimis sekolahnya dapat menampung anak-anak lainnya yang ingin bersekolah meski tidak memiliki biaya.Dedi memiliki harapan, kedepan sekolahnya bisa terus bertahan agar anak-anak petani di kampungnya dapat bersekolah secara gratis.
Karena tidak memiliki yayasan, sekolah asuhan Dedi terganjal untuk menerima bantuan dari pihak yang peduli."Saya sedang mengusahakan untuk membuat yayasan. Biar sekolah ini bisa terus bertahan, tapi saya juga bingung bagaimana membuat yayasan. Karena repot juga mengurusnya," kata pria itu sambil tertawa malu.
PETANI ITU DIRIKAN SEKOLAH GRATIS BAGI WARGANYA
Kamis, 25 Agustus 2011 14:07 WIB
Penampilannya lusuh, jauh dari kesan rapi, layaknya orang yang tinggal di kampung.
PETANI-ITU-DIRIKAN-SEKOLAH-GRATIS-BAGI-WARGANYA
