Jakarta (ANTARA) - Penayangan iklan capaian pemerintahan Presiden Prabowo di jaringan bioskop pada 9–14 September 2025 memunculkan perdebatan luas.
Pihak Cinema XXI menjelaskan materi tersebut dikategorikan sebagai iklan layanan masyarakat (ILM), sementara Amnesty International mengkritiknya sebagai bentuk indoktrinasi.
Kontroversi ini penting dilihat secara seimbang. Sebab, di era keterbukaan informasi, pemerintah memiliki kewajiban menyampaikan kinerja kepada masyarakat. Namun pada saat yang sama, hak publik untuk menikmati ruang hiburan, tanpa pesan politik juga harus dihormati.
Iklan pemerintah adalah instrumen komunikasi publik, untuk menyampaikan informasi, meningkatkan pemahaman masyarakat, dan mendorong partisipasi. Iklan layanan masyarakat banyak digunakan untuk kampanye kesehatan, keselamatan lalu lintas, atau literasi digital.
Dalam konteks iklan capaian pemerintahan, tujuannya bisa dilihat dari sisi transparansi. Pemerintah berkewajiban melaporkan apa yang sudah dikerjakan. Iklan menjadi salah satu cara cepat menjangkau khalayak luas. Dari perspektif ini, iklan tidak selalu identik dengan propaganda, melainkan bisa menjadi media akuntabilitas.
Meski sah secara fungsi, persoalan muncul pada medium dan konteks. Bioskop adalah ruang hiburan netral.
Sejumlah negara memberikan pelajaran berharga. Uni Eropa melalui Digital Services Act (DSA) mewajibkan iklan politik diberi label jelas, termasuk siapa pengirimnya dan siapa yang membiayai. Aturan tambahan soal political advertising regulation menekankan pentingnya transparansi dan larangan manipulasi.
Di Amerika Serikat, setiap iklan politik wajib memuat keterangan paid for by atau sponsored by agar publik mengetahui sumbernya. Jerman dengan NetzDG juga menuntut platform digital bertanggung jawab atas keterbukaan iklan politik.
Indonesia memiliki regulasi terkait iklan politik di televisi dan radio, misalnya aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjelang pemilu, namun iklan pemerintah di bioskop belum diatur secara spesifik. Celah regulasi ini perlu segera ditutup.
Bagi industri hiburan, seperti bioskop, kejadian ini bisa menjadi pelajaran penting untuk menetapkan kebijakan editorial. Transparansi kepada penonton, misalnya dengan mencantumkan label “Iklan Pemerintah” di layar, bisa menjadi solusi sederhana agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi khusus terkait penayangan iklan publik di ruang hiburan.
Kedua, semua klaim dalam iklan harus bisa diverifikasi, misalnya dengan mencantumkan tautan ke situs resmi pemerintah agar publik bisa mengecek data.
Ketiga, ruang hiburan sebaiknya dijaga tetap netral. Jika pun ada penayangan iklan pemerintah, harus dilakukan secara terbatas dan transparan.
Keempat, perlu ada mekanisme pengaduan yang jelas. Penonton yang merasa terganggu bisa menyampaikan keberatan, dan pemerintah wajib menindaklanjutinya.
Kelima, pemerintah bisa memanfaatkan kanal digital yang lebih interaktif untuk menyampaikan capaian. Media sosial, aplikasi layanan publik, dan platform streaming memberi ruang partisipasi yang lebih sehat dibanding ruang hiburan pasif.
Jika semua pihak mengambil pelajaran, maka iklan pemerintah di bioskop tidak akan tercatat sebagai kontroversi semata, melainkan sebagai momentum menuju komunikasi publik yang lebih sehat, transparan, dan demokratis.
*) MT Hidayat adalah mahasiswa Program Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (DKIK) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Baca juga: Penyiaran video Presiden di bioskop bagian komunikasi publik
Baca juga: Legislator: Iklan pemerintah di bioskop inovasi komunikasi publik
Baca juga: Pesan Prabowo di bioskop hal lumrah
