Jakarta (ANTARA) - Psikolog Klinis Anak dan Remaja lulusan Universitas Indonesia Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog menekankan pentingnya mengajak anak yang ingin mengikuti aksi unjuk rasa berdiskusi dan memberikan fakta yang ada di lapangan.
"Kita perlu memberikan ruang untuk diskusi, termasuk tentang konteks demonstrasi, protes, peraturan terkait dengan protes atau demonstrasi," kata Gisella saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Anggota Ikatan Psikolog Klinis (IPK) itu menyatakan orang tua perlu memiliki informasi yang cukup dan memadai ketika ingin membagikan edukasi pada anak untuk menyikapi atau merespons kondisi-kondisi sosial politik yang sedang terjadi pada negara.
Sebelum memberikan pemahaman pada anak, orang tua disarankan untuk mencari informasi dari sumber-sumber terpercaya.
Orang tua juga disarankan untuk melihat sejauh mana isu itu dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari anak, misalnya dari sisi kebijakan pendidikan atau akses kesehatan.
Setelahnya, berikan anak sebuah ruang diskusi untuk mendengarkan sejauh mana ia sudah mengikuti perkembangan kondisi politik di masa kini. Tanyakan perasaannya setidaknya pada satu atau dua kasus yang cukup mencuat akhir-akhir ini.
Kemudian, orang tua dapat mengajak anak untuk mengulas beberapa fakta terkait dengan kasus yang sudah diikuti. Di sini, sangat penting untuk melihat reaksi emosional anak ketika menanggapi suatu masalah. Pastikan anak tetap merasa nyaman dan aman untuk bercerita.
Gisella menekankan penting untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan usia dan pemahaman anak, disertai dengan pendekatan yang tidak menghakimi atau menggurui.
Sampaikan informasi atau saran dalam diskusi secara terbuka, setara dan menunjukkan rasa ingin memahami perasaan agar anak bisa lebih bijak menyikapi isu.
"Kalau sudah memberikan fakta, kita boleh menyelipkan pendapat pribadi kita. Namun, pastikan itu terjelaskan, mana fakta, mana analisa atau pendapat pribadi orang tua, sehingga anak jelas seperti apa (situasinya)," ujar dia.
Pada anak yang sudah masuk dalam usia remaja, sertakan edukasi mengenai hukum yang berlaku dan sesuai dengan kondisi terkini.
Jika remaja mengaku masih ingin mengikuti aksi unjuk rasa, Gisella menilai orang tua harus memberikan informasi latar belakang mengenai aturan dalam demo, konsekuensi yang mungkin diterima hingga memberikan data konkret soal apa saja yang terjadi bila ikut menyampaikan aspirasi bersama dengan masyarakat lain yang hadir.
"(Informasi) itu perlu diberikan, ditaruh di atas meja bahwa ini lho, faktanya, pembelajaran dari kasus terdahulu yang mama atau papa baca, jadi ketika membicarakan apa yang bisa dilakukan, pastikan anak paham juga konteks peraturan hukumnya," kata Gisella.
Menurutnya, remaja perlu diberikan pemahaman bahwa penyampaian aspirasi tidak melulu harus melalui demo. Melainkan bisa dalam bentuk seni, mengikuti forum diskusi bersama teman atau guru maupun aksi memperbanyak wawasan dengan membaca sejarah atau riset.
"Jika dia memang ada pendapat-pendapat atau ada hal-hal yang ingin dia lakukan, termasuk terlibat misalnya dalam aksi atau protes seperti ini, sehingga orang tua bisa membimbing, bisa juga memberikan rencana antisipasi atau rencana keselamatan jika diperlukan. Memang perlu dari berbagai macam perspektif untuk implementasi ke anak," tambahnya.
Sementara menanggapi aksi remaja yang turun mengikuti demo hingga membawa senjata tajam, Gisella menyayangkan hal tersebut terjadi dan mengatakan bahwa perilaku tersebut melanggar norma sosial yang berlaku.
Ia menyampaikan bahwa remaja cenderung memiliki sifat melawan dan tidak mengindahkan arahan yang diberikan oleh orang tua maupun orang yang derajatnya berada di atasnya. Sehingga lingkungan sangat berperan besar pada keputusan yang diambil oleh seorang anak.
"Kadang juga remaja karena faktor dia merasa perlu diterima oleh peer, oleh kelompok pertemanannya sehingga dia mudah gitu ya terseret, mudah melakukan," ucapnya.
Membatasi informasi
Psikolog Klinis Anak dan Remaja lulusan Universitas Indonesia Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa membatasi informasi soal demo yang berlanjut di beberapa wilayah akan membantu keluarga terhindar dari rasa stres dan merasa kewalahan.
"Supaya tidak stres dan kewalahan dengan informasi, tentu saja sangat penting untuk membatasi konsumsi informasi," kata Gisella saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Anggota Ikatan Psikolog Klinis (IPK) itu menyoroti bahwa banyak informasi seputar demo yang mengandung kekerasan, sehingga sangat rentan apabila anak, terutama remaja terlalu banyak menonton atau membaca berita tersebut.
Seluruh berita yang mengandung kekerasan berisiko membahayakan ataupun menyakiti kondisi keamanan anak baik secara fisik maupun psikologis.
Oleh karenanya, akan lebih baik jika keluarga memilih waktu-waktu tertentu saja untuk melihat berita.
Keluarga, katanya, juga dianjurkan untuk memilih sumber informasi dari media-media dengan kredibilitasnya yang bisa dipercaya agar tidak terhasut oleh provokasi maupun berita bohong (hoaks). Misalnya, pendapat para ahli komunikasi maupun pakar sosial dan politik.
"Biasakan untuk tidak langsung percaya pada informasi yang diterima pertama kali. Jadi jika bisa, lakukan pemeriksaan ulang ke sumber lain, yang mengenai informasi tersebut, sehingga kita punya beberapa sumber yang bisa dipercaya," katanya.
Orang tua juga perlu membiasakan diri memeriksa informasi yang sedang diikuti oleh anak di rumah. Menurutnya, sangat penting untuk mengetahui dari mana sumber berita yang dilihat beserta dengan platform untuk mengakses informasi itu.
Gisella mengatakan orang tua juga harus menanyakan topik yang sedang dibicarakan oleh anak dan teman-temannya, disertai dengan meminta pendapat anak soal isu tersebut melalui diskusi bersama keluarga.
"Dari situ mungkin kita bisa cek sejauh mana pemahamannya dan hal-hal apa yang mungkin kita bisa kasih juga, informasi atau ide sumber informasi yang reliable," kata dia.
Dengan begitu anak-anak ataupun remaja mempunyai referensi yang jelas dan dapat dipercaya. Anak juga akan terbiasa mencari informasi melalui media yang kritis dan memiliki perspektif yang baik.
Psikolog keluarga lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sani B. Hermawan S.Psi. menekankan bahwa para pejabat publik semestinya lebih bijak dalam menggunakan platform media sosial.
"Pejabat publik itu mestinya bijak dalam bermedia sosial, termasuk dalam hal ini membatasi diri untuk tidak pamer harta," kata Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani itu ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.
Menurut dia, para pejabat publik yang gajinya berasal dari uang rakyat seharusnya tidak menggunakan media sosial untuk memamerkan kekayaan seperti orang-orang yang ingin mendapat validasi atau meningkatkan status sosial dengan apa yang mereka miliki.
Tindakan pejabat publik yang demikian, menurut dia, tidak tepat secara moral maupun etika.
"Ketika itu adanya di pejabat publik, rasanya itu menjadi tidak proper, tidak empati. Tentunya hal ini akan memberikan rasa kecemburuan, rasa ketidakpedulian dengan keadaan masyarakat," katanya.
"Pejabat publik ini memiliki nalar untuk berpikir arahnya ke sana, harus tahu juga apa konsekuensinya," kata dia.
Alih-alih menggunakannya untuk memamerkan harta, Sani mengemukakan, pejabat publik bisa menggunakan platform media sosial untuk membagikan kegiatan sosial dan kegiatan positif lain untuk menunjukkan peran dan kapasitasnya kepada publik.
"Jadi, balik lagi, mereka tidak pamer harta. Kalau pamer kehidupan, kegiatan sosial boleh aja, malah bagus untuk mempromosikan dirinya," katanya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat koordinasi bersama kepala-kepala daerah pada Selasa (2/9) mengingatkan para pejabat pemerintah agar menerapkan gaya hidup sederhana dan tidak memamerkan kemewahan.
Tito juga menginstruksikan para kepala daerah dan pejabat pemerintah menunda pelaksanaan semua jenis kegiatan yang bersifat seremonial, yang dapat menimbulkan kesan pemborosan dalam situasi sosial yang sedang kurang baik karena banyak warga menghadapi kesulitan ekonomi.
