Busan, Korea Selatan (ANTARA) - Panda pada foto di atas bukan boneka biasa. Meniru sosok Fu Bao, si panda populer dari Korea Selatan, “boneka” itu ternyata dibuat dari limbah kantong plastik yang direka sedemikian rupa.
Di tangan Busan Environmental Corporation (BECO), sampah-sampah dari penjuru kota terbesar kedua di Korea Selatan itu dikelola. Sebagian menjadi karya seni yang tidak asal jadi, sebagian lainnya berakhir menjadi tumpukan tanah setelah terlebih dahulu diolah.
Pada kunjungan rombongan jurnalis ke Busan dalam program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, besutan Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), ANTARA berkeliling menyaksikan beragam karya dari sampah.
Kim Da Hye, staf BECO, yang memandu kunjungan tersebut, menjelaskan ada berbagai material limbah yang dimanfaatkan di Pusat Daur Ulang itu. Selain kantong plastik, ada pula staples, kain perca, potongan kayu, tutup botol plastik, potongan kaca, kabel, jaring ikan, dan cangkang telur.
Sebuah replika lumba-lumba yang terbuat dari cangkang telur menarik perhatian.

Replika lumba-lumba berbahan sampah cangkang kulit telur dipamerkan di Pusat Daur Ulang, Busan, Korea Selatan, Jumat (23/5/2025). (ANTARA/Suwanti)
“Apakah kulit telur merupakan limbah makanan?” tanya Kim menguji pengetahuan rombongan.
“Bukan. Kulit telur tidak termasuk limbah makanan,” kata dia melanjutkan.
Tidak cuma di Busan, di seluruh Korea, pemilahan sampah begitu ketat dilakukan, bahkan dari pembuangan rumah tangga. Setiap kategori memerlukan plastik sampah yang berbeda.
Limbah makanan alias food waste secara khusus didefinisikan sebagai sampah sisa makanan yang bisa diolah kembali menjadi pakan binatang ternak. Plastik sampah berwarna kuning digunakan untuk menampung limbah makanan.
Sementara plastik, kaleng, dan kertas bekas, biasanya masuk ke dalam kategori daur ulang. Pengumpulannya menggunakan plastik sampah berwarna biru.
Karena cangkang telur berpotensi membuat hewan tersedak, limbah ini masuk ke dalam kategori sampah biasa bersama dengan sampah-sampah lain yang sulit dan tidak bisa didaur ulang. Biasanya, plastik putih digunakan untuk menampung.
Sampah umum di dalam plastik itu akan dibakar dalam mesin incinerator dengan suhu 850-1.000 derajat Celcius. Sisa pembakaran kemudian ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
TPA minim bau
Jangan bayangkan TPA seperti Bantar Gebang di Bekasi. Di Saenggok Land Fill tidak ada sampah bak gunung atau bau menyengat yang mengganggu penciuman.
Jaraknya lima menit perjalanan mobil dari Pusat Daur Ulang. Sejak 1996, lahan ini telah beroperasi menampung sisa-sisa sampah Busan selama hampir 30 tahun hingga sekarang.
Pada fase pertama pengoperasiannya tahun 1996 sampai 2005, TPA Saenggok membentang seluas 257.000 meter persegi, dengan kapasitas tampung 11.127.000 meter persegi.
Fase kedua dimulai pada 2006 dan ditargetkan berakhir 2031 mendatang dengan luasan area 250.000 meter persegi dan daya tampung 9.412.000 meter persegi.
“Plastik berisi sampah umum yang telah dibakar, abu hasil pembakarannya itulah yang dikubur di sini. Sampah sulit terurai yang tidak bisa dibakar juga ikut dikubur di area ini,” ujar Kim.
Pada 2024, warga Busan diperkirakan memproduksi hingga 4.000 ton sampah umum per hari secara kumulatif. Jumlah itulah yang diproses di mesin khusus pembakaran. Setelah menyusut menjadi abu, rata-rata 523 ton residu masuk ke TPA Saenggok setiap harinya.
Sejauh pandangan mata, area tanah di TPA Saenggok fase dua terus digarap. Dari kejauhan terlihat mesin pengeruk bergerak menyerok sampah sisa pembakaran yang diangkut oleh truk-truk besar.
“Setiap satu truk pengangkut sampah masuk dan membongkar muatannya, satu truk lain pembawa tanah urugan menyusulnya,” kata Kim, menambahkan.
Tanah untuk menimbun sampah itu diambil dari tanah galian pembangunan apartemen. Hal ini menunjukkan bahwa limbah proses konstruksi yang dikerjakan di Busan digunakan untuk melengkapi proses pengelolaan sampah kota itu.
Namun, persoalan sampah ternyata tidak selesai sampai menguburnya di TPA. Penimbunan sampah di tanah masih menyisakan cairan terkontaminasi: leachate. Residu itu kemudian merembes hingga akumulasinya bisa mengalir ke sumber air.
Misalnya, kontaminasi cairan sampah itu bisa berasal dari pembuangan obat-obatan antibiotik tidak terpakai secara sembarangan. Kandungan antibiotik yang tersisa dalam leachate mungkin mengalir ke sumber air, seperti sungai atau laut.
Ketika ikan di sungai dan laut terkontaminasi kandungan tersebut, manusia yang mengonsumsi ikan juga akan ikut terkontaminasi. Potensi bahaya dalam rantai panjang ini juga turut dimitigasi.
Toko obat diminta untuk memproses secara khusus obat-obatan tidak terpakai sebelum dibuang. Masyarakat juga perlu mengembalikan obat yang mereka beli namun tak terpakai ke toko obat.
Manfaat lain
Penimbunan sampah juga menghasilkan gas, biasanya berjenis metana yang karbondioksida. Biogas dari TPA Saenggok serta yang dihasilkan dari pengolahan sampah makanan ditangkap oleh suatu alat khusus, kemudian diubah menjadi energi listrik untuk dialirkan ke rumah tangga.
Energi panas dari proses pembakaran di mesin incinerator sampah umum juga tak dilepas sia-sia, melainkan digunakan untuk sistem pemanasan.
Sekalipun pengelolaan sampah di Busan, dan di Korea secara umum, telah tertata secara kebijakan, kesadaran masyarakat, hingga tata cara pemprosesannya, sampah tetap menjadi bom waktu dan masalah yang terus mengancam kehidupan di masa mendatang.
Angka rata-rata setoran sampah ke TPA Saenggok beberapa tahun belakangan memang menurun, yakni dari 800-an ton per hari pada 2021 menjadi 500-an ton per hari pada 2024.
Sayangnya, tidak semua sampah itu dapat diproses akhir. Alhasil, ada pula tumpukan sampah, khususnya yang berbahan plastik, di beberapa pojok area TPA.
“Kami ingin terus mengurangi jumlah sampah yang masuk hingga nol. Karena itulah kami sedang mencari cara agar masyarakat bisa menerapkan reduce dan reuse, serta lebih banyak melakukan recycle di pusat daur ulang,” ucap Kim.