Bogor (Antaranews Megapolitan) - Ramainya kasus ditemukannya cacing dalam 27 merk ikan kaleng (impor maupun produksi nasional) yang dirilis oleh BPOM seharusnya diantisipasi dengan tetap mempertimbangkan banyak faktor dan dengan pemahaman yang kongkrit, seimbang dan sistemik. Penanganan kasus ini tidak boleh mengabaikan pembangunan sektor perikanan sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional.
Berkaitan kasus ini, pada Rabu (4/4), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) mengeluarkan C-Policy Brief atau sintesis pemikiran dan argumen tentang Ikan Kaleng. C-Policy Brief ini melibatkan pemikiran akademisi FPIK-IPB antara lain: Dr. Etty Riani (pakar Fisheries Toxicology), Prof. Dr. Yusli Wardiatno (pakar Aquatic Biota), Ir. Agustinus M Samosir, M.Sc. (pakar Aquatic Ecology), Dr. Taryono (pakar Fisheries Socio-Economics), Dr. Majariana Krisanti (pakar Aquatic Environment Sciences), Dr. Wini Trilaksani (pakar Fish Processing Quality System) dan Dr. Iriani Setyaningsih (pakar Fish Processing Technology).
Sintesis pemikiran dan argumen dari sivitas akademika Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan (FPIK) IPB terkait dengan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Dari hasil penelitian BPOM, diduga parasit cacing ditemukan di beberapa produk ikan kaleng yang menggunakan ikan mackerel di mana menurut literatur cacing jenis Anisakis simplex lebih sering ditemukan pada jenis ikan tersebut. Jenis A. simplex ini terdapat pada perairan dengan empat musim. Hal ini dilaporkan oleh Tolonen and Karlsbakk (2003), bahkan larva cacing anisakis dapat memakan organ ikan hering di Norwegia ( Karlsbakk et al, 2000). Inang akhir dari A simplex adalah mamalia (termasuk manusia), sedangkan inang sementara adalah ikan yang hidup pada perairan yang terdapat larva cacing tsb. Anisakis adalah cacing (nematode) endoparasit yang bersifat zoonosis (berdampak pada kesehatan manusia).
2. Cacing ini dapat menginfeksi berbagai jenis ikan laut terutama ikan yang beruaya jauh dan memiliki rantai makanan panjang, seperti ikan sarden, salem, tongkol, kembung, layur, cucut, kakap putih, cakalang, dsb. Di antara genus Anisakis ini, yang paling membahayakan adalah A. simplex. Namun A. simplex hanya terdapat di Negara subtropis, dan belum pernah ditemukan di Indonesia, sehingga ikan yang terinfeksi A. simplex umumnya adalah ikan impor. Siklus hidup A. simplex sangat kompleks, umumnya dimulai dari telur (belum berembrio) yang dikeluarkan bersamaan dengan feses mamalia laut, yang selanjutnya menjadi larva stadium 1 (L1) dan berkembang menjadi larva stadium 2 (L2) dan larva 3 (masih dalam telur). Pada saat stadium L3, telur akan menetas. Apabila termakan oleh inang intermedier 1 (umumnya invertebrate laut seperti crustacea, copepoda, amphipoda, ubur-ubur, dan ikan kecil. Larva selanjutnya akan menembus dinding usus, masuk ke dalam rongga tubuh atau jaringan di sekitamya. Apabila inang intermedier 1 dimakan oleh inang intermedier 2 (ikan), larva juga akan menembus dinding usus dan terkapsulasi (dalam bentuk siste) dalam rongga tubuh atau dalam jaringan di sekitarnya.
3. Jika ikan yang mengandung siste L3 ini dimakan oleh mamalia laut, yang merupakan inang definitifnya, maka siklus hidupnya sempurna. Namun demikian jika ikan tersebut dalam kondisi mentah, kurang matang, diasap, dibekukan, diasinkan atau diasamkan (namun kurang sempurna), dimakan manusia maka manusia menjadi inang incidental. Larva L3 akan masuk ke saluran pencernaan dan akan mengalami beberapa kali molting dan berkembang menjadi L4 dan menjadi cacing dewasa, yang selanjutnya akan menghasilkan telur (pada mamalia air selanjutnya dikeluarkan bersamaan dg fesesnya). A. simplex dapat berpotensi menyebabkan anisakiasis bila masuk pada tubuh inang akhir, baik cacing dewasa hidup maupun larvanya dan berpotensi menyebabkan toksisitas bila cacing tersebut telah mati.
4. Dalam konteks industri pengolahan hasil perikanan dan berdasarkan uraian di atas maka, cacing A. simplex diduga berasal dari bahan baku ikan yang tidak berasal dari perairan tropis. Audit kualitas impor ikan menjadi sangat penting dalam kerangka industri pengolahan ikan di tanah air.
5. Dalam perspekif pengolahan hasil perikanan, penerapan standar tinggi dengan suhu di atas 70 DC maka A. simplex akan mati. Selain itu, dengan menggunakan azas precautionary approach maka peningkatan standar penanganan bahan baku ikan menjadi sangat penting khususnya dari titik suplai penangkapan ikan ke inlet pengolahannya. Dengan penerapan sterilisasi komersial yang menggunakan suhu dan tekanan tinggi serta waktu yang lama, seperti yang diterapkan pada proses pengalegan ikan, maka cacing ini pasti mati.* Penerapan HACCP from sea to table yang sudah menjadi standar internasional perlu terus ditingkatkan pelaksanaannya baik untuk produk pengolahan hasil perikanan domestik dan eksport. Hal ini untuk mengantisipasi adanya allergen dari cacing tersebut di mana beberapa studi menunjukkan kemungkinan terjadinya true anaphylactic reaction.
6. Perlu dicek kembali mekanisme integrasi hulu-hilir terkait dengan kebutuhan industri pengolahan ikan sehingga dapat dijamin pasokan bahan baku ikan yang berkualitas dari perairan Indonesia untuk industri pengolahan ikan nasional.
7. Kasus ini berpotensi memberikan dampak sosial dan ekonomi yang cukup signifkan. Oleh karena itu dampak ini perlu segera dibuat mekanisme mitigasi kebijakan cepatnya (intermediate policy mitigation) sehingga tidak membuat runtuhnya industri perikanan nasional mapupun turunnya preferensi konsumen terhadap ikan menjadi. Koridor keamanan pangan tetap terjaga dan konsumsi ikan tetap dapat ditingkatkan.
8. Kebijakan mitigasi cepat mencakup perlunya kerjasama hulu-hilir sebagai usaha pengetatan persyaratan penanganan ikan sesuai standar mutu kemananan pangan ikani (food safety) yang diimpor untuk mengurangi potensi masih terdapatnya cacing A simplex yang masih hidup atau berkembangnya larva cacing untuk bahan baku industri ikan kaleng atau pengolahan lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui pengecekan ikan impor harus diperketat sebelum didistribusikan. Selain itu juga perlu dimasukkannya bebas cacing dalam SNI untuk seluruh komoditas hasil perikanan termasuk Ikan Kaleng sehingga dapat digunakan sebagai rujukan bagi industri.
9. Perlu segera dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan dampak infeksi A simplex secara bijaksana agar tidak meresahkan dan mengurangi minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan. Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi ketergantungan impor kebutuhan bahan baku industri pengolahan (kaleng, pindang), dan perlu penelitian lanjutan kemungkinan berkembangnya A simplex pada perairan tropis.
10. Perikanan seharusnya mampu menjadi salah satu lokomotif ekonomi Indonesia, negara yang secara alamiah dikaruniai luas perairan yang besar termasuk sumberdaya ikan di dalamnya. Dalam perspektif ini maka konektivitas perikanan dari mulai resources owners, resources producers, resources processors dan resources consumers mestinya menjadi pilar yang harus diatur dan dikelola sehingga sektor perikanan tetap menjadi pilar bagi pertumbuhan ekonomi bangsa saat ini dan masa depan dalam koridor Perikanan Berkelanjutan. (***/ris)
FPIK IPB keluarkan C-Policy Brief: Ikan kaleng dan perikanan berkelanjutan
Sabtu, 14 April 2018 21:26 WIB
Anisakis adalah cacing (nematode) endoparasit yang bersifat zoonosis (berdampak pada kesehatan manusia).