Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia investasi, istilah cash is king alias uang tunai sangatlah penting, menjadi salah satu acuan.
Ungkapan ini juga menjadi gambaran tentang pentingnya memiliki likuiditas dalam bentuk uang tunai, terutama dalam keadaan darurat atau ketidakpastian ekonomi.
Jika uang itu dialihkan ke emas, hasilnya bahkan lebih besar. Dengan kurs rupiah terhadap dolar pada tahun 2000 yang berada di kisaran Rp8.000 per dolar, Rp1 miliar bisa dikonversi menjadi sekitar 125.000 dolar AS.
Saat itu, harga emas masih sekitar 300 dolar per ons, sehingga seseorang bisa mengantongi sekitar 416 ons emas.
Dua puluh lima tahun kemudian, saat harga emas melonjak ke kisaran 3.000 dolar per ons, nilai emas itu melesat menjadi sekitar Rp20,6 miliar (dengan kurs Rp16.500/dolar AS). Pengembaliannya berlipat-lipat dari nilai awal, dan tentu saja jauh mengalahkan inflasi.
Untuk saat ini, potensi keuntungan emas bahkan semakin berlipat. Analis mata uang dan emas Lukman Leong menilai harga emas diprediksi masih berpeluang melanjutkan reli dan bahkan menembus level 3.500 dolar AS per troy ons.
Tapi kisah yang paling mencolok datang dari pasar saham. Katakanlah seseorang menanamkan seluruh Rp1 miliar itu ke saham BCA di tahun 2000.
Dalam 25 tahun, nilai saham ini telah meningkat lebih dari 234 kali lipat. Tak hanya itu, BCA secara konsisten membagikan dividen tahunan antara 3,5 persen hingga 4 persen, serta melakukan stock split dan penerbitan saham bonus.
Jika seluruh dividen direinvestasikan, akumulasi kekayaan ini bisa menyentuh lebih dari 200 kali lipat dari nilai awal.
Dengan hasil seperti itu, seseorang tidak hanya bisa membeli rumah mewah di kawasan elit Jakarta, tetapi juga memiliki aset yang terus menghasilkan aliran kas pasif dan berpotensi diwariskan lintas generasi.
Pertanyaannya, mengapa saham bisa begitu unggul? Jawabannya terletak pada dua kekuatan utama, apresiasi nilai dan dividen majemuk.
Saham dari perusahaan berkualitas adalah mesin penghasil kekayaan yang tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tapi juga memberikan imbal hasil rutin.
Apalagi jika seseorang memiliki disiplin untuk tidak menjual dan terus mengakumulasi aset tersebut.
Namun bukan berarti emas tak punya tempat. Dalam konteks ketidakpastian global seperti saat ini, dengan ketegangan geopolitik, kebijakan suku bunga yang ambigu, dan risiko sistemik dari utang negara, emas kembali menonjol sebagai aset pelindung nilai.
Emas tidak memiliki risiko counterparty, tidak bergantung pada performa pihak ketiga, dan dapat diuangkan hampir di mana saja. Kenaikan tajam harga emas belakangan ini adalah cermin dari keresahan global, bukan sekadar tren spekulatif.
Meski demikian, untuk jangka panjang, emas tetap tak bisa menyaingi saham dalam menghasilkan kekayaan.
Saat ini di tahun 2025, sejarah telah memberi peta jalan. Jika hari ini pasar menurun, justru itulah saat terbaik untuk menanam. Bukan saatnya membiarkan dana menganggur dalam bentuk tunai yang perlahan membusuk nilainya.
Kini memang bukan lagi soal seberapa tinggi emas akan naik, melainkan seberapa bijak seseorang dalam membaca arah waktu.
Karena pada akhirnya, waktu bukan sekadar teman investor, ia adalah pengganda kekayaan bagi mereka yang sabar, cermat, dan tak terjebak pada ilusi rasa aman.
Baca juga: Segini harga emas di pegadaian pada Minggu 13 April 2025