Istanbul (ANTARA) - Perekonomian dunia sedang gonjang ganjing menyikapi keputusan pemerintah Amerika Serikat yang memberlakukan tarif impor barang dari negara lain yang masuk ke Negeri Paman Sam itu.
Kecuali terhadap Rusia, Kuba, Korea Utara, dan Belarus, Presiden AS Donald Trump memberlakukan pengenaan biaya impor dari semua negara lain.
Pengumuman tarif terhadap perekonomian global yang dilakukan Presiden AS Donald Trump lebih dari sekadar petir di siang bolong.
Menurut pemberitaan BBC, mantan kepala ekonom di Dana Moneter Internasional (IMF), Ken Rogoff, menyatakan bahwa Trump dengan melakukan pengumuman tersebut sama saja dengan "menjatuhkan bom nuklir pada sistem perdagangan global".
Dasarnya, pemerintah AS telah menjatuhkan "tarif dasar minimum" sebesar 10 persen terhadap semua impor ke negara Paman Sam, serta adanya "tarif timbal balik yang lebih tinggi" untuk sekitar 60 negara.
Kebijakan tarif tambahan 10 persen itu akan mulai diberlakukan per 5 April 2025, sedangkan empat hari kemudian, tarif yang lebih tinggi kepada puluhan negara tersebut akan mulai berlaku.
Banyak negara yang akan dikenakan tarif tinggi hingga lebih dari 30 persen, seperti Kamboja (tarif sebesar 49 persen), Vietnam (46 persen), Thailand (36 persen), dan China (34 persen).
Republik Indonesia sendiri juga dikenai tarif sebesar 32 persen, karena dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS.
Dengan langkah Trump tersebut, para ekonom telah berulang kali memperingatkan bahwa hal itu akan menyebabkan kenaikan harga konsumen, menimbulkan risiko inflasi dan resesi, serta gangguan pada rantai pasokan global.
Meski Trump menyebut pengumuman itu sebagai "Hari Pembebasan", Wakil Kanselir Jerman dan Menteri Ekonomi Robert Habeck, sebagaimana dilaporkan oleh ABC News, mengatakan bahwa hal ini akan diingat sebagai "hari inflasi" bagi konsumen di Amerika Serikat.
Habeck juga mengingatkan bahwa pengumuman tarif itu merupakan "kegilaan AS" karena akan memicu efek domino yang akan menyeret banyak negara ke dalam resesi.
Sementara itu, kepala kebijakan dan advokasi lembaga wadah pemikir bidang perekonomian Groundwork Collaborative, Alex Jacquez, seperti dikutip dari CBS News, mengingatkan bahwa tarif tersebut akan mengakibatkan banyak peritel dan perusahaan besar yang akan membebankan biaya tambahan dari tarif itu sebanyak mungkin kepada konsumen.
Singkatnya, pengumuman tarif yang dilakukan oleh Trump tersebut telah menimbulkan volatilitas yang signifikan ke pasar keuangan global, hubungan internasional yang tegang, dan ketidakpastian ekonomi yang meningkat.
Namun, dampak penuhnya akan bergantung pada respons negara-negara yang terkena dampak dan durasi tindakan perdagangan ini.
Apalagi, negara-negara serta kawasan yang terkena dampak tarif, termasuk China, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko, telah menyatakan niat untuk menerapkan tarif balasan.
Misalnya, China menghadapi tarif total sebesar 54 persen (akumulasi dari kebijakan Trump sebelumnya), yang memicu kekhawatiran tentang potensi perang dagang yang lebih besar.
amun, ada yang unik bahwa Australia, menyatakan bahwa mereka tidak akan melakukan retaliasi atau menerapkan tarif balasan kepada AS.
Tentu saja, Australia bukanlah pasrah dan menerima begitu saja kebijakan Trump tersebut. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dengan tegas menyatakan bahwa penerapan tarif yang dilakukan pemerintahan AS sama sekali tidak beralasan.
Albanese mengingatkan bahwa bila tarif itu disebut sebagai timbal balik, maka seharusnya yang diterapkan adalah nol persen, dan bukannya dipukul rata sebesar 10 persen kepada seluruh dunia.
PM Australia itu juga memperingatkan bahwa kebijakan tarif Trump bertentangan dengan prinsip kemitraan antara kedua negara tersebut, serta bukan "tindakan dari seorang sahabat".
Tak ada pemenang
Uni Eropa pada Kamis (3/4) merespons pengumuman tarif impor 20 persen oleh Amerika Serikat dengan menyatakan "tidak ada pemenang dalam perang dagang."
"Jelas bahwa semua tarif ini akan menaikkan harga bagi konsumen," kata kepala kebijakan luar negeri EU, Kaja Kallas, di sela-sela pertemuan para menteri pertahanan di Polandia.
Dia mengatakan bahwa EU sekarang harus mempertimbangkan cara untuk memperkuat industri pertahanannya sendiri.
"Kami membeli banyak dari Amerika saat ini, tetapi kami perlu mendiversifikasi portofolio sehingga kami memiliki kemampuan untuk memproduksi di sini," kata dia, seraya menambahkan bahwa EU juga akan mencari sekutu lain untuk pasokan senjata.
Negara-negara Eropa telah memasok lebih dari setengah amunisi Ukraina, tetapi menyerukan aksi yang lebih cepat, katanya sebagaimana dikutip dari kantor berita Anadolu.
"Semua ini berjalan dengan sangat baik, ... kita perlu memberikan bantuan ke Ukraina secepat mungkin," kata Kallas.
Dia mengungkapkan harapannya agar pertemuan di Polandia itu mengumumkan lebih banyak bantuan jangka pendek bagi Ukraina.
"Karena semakin kuat mereka (Ukraina) di medan perang, semakin kuat pula posisi mereka di meja perundingan," katanya.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengecam keras keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan tarif impor sebagai "serangan" terhadap tatanan niaga internasional yang sudah mapan.
"Saya meyakini keputusan tarif oleh Presiden AS baru-baru ini secara fundamental adalah salah. Tarif tersebut adalah serangan terhadap tatanan perdagangan yang telah menciptakan kemakmuran di seantero dunia," kata Scholz dalam konferensi pers di Berlin, Kamis (3/4).
Ia menyebut sistem perdagangan internasional yang berlandaskan pasar bebas dan pengurangan hambatan perdagangan terbentuk melalui kontribusi pemerintah AS terdahulu.
Scholz memperingatkan bahwa tarif baru yang diumumkan pemerintahan Trump akan berdampak negatif baik bagi Eropa, Amerika Serikat, maupun dunia.
"Keseluruhan ekonomi global akan menderita akibat keputusan yang tidak matang ini. Pebisnis dan para konsumen di mana pun di dunia ini, termasuk di AS, akan terdampak," kata dia.
"Pemerintahan AS berada pada jalur yang akan berakhir pada kerugian bagi semuanya," ucap Kanselir Jerman, menambahkan.
Presiden Donald Trump pada Rabu (2/4) mengumumkan serangkaian tarif terhadap puluhan negara dan kawasan ekonomi, termasuk Uni Eropa.
Dengan aturan tarif terbaru, impor dari negara-negara Uni Eropa akan dikenakan tarif 20 persen, sementara produk buatan negara-negara lain yang masuk AS dikenakan tarif minimal 10 persen.
Sementara itu, menyusul pemilu federal Jerman pada Februari lalu, Scholz akan segera mengalihkan jabatannya kepada pemimpin pemerintahan selanjutnya.
Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez pada Jumat (28/3) menyerukan kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk "mempertimbangkan kembali" penerapan tarif baru dan mengakhiri apa yang dia sebut sebagai perang dagang yang "tidak berfaedah."
Berbicara dalam sebuah acara di Madrid, hanya dua hari setelah Trump mengonfirmasi apa yang disebut Sanchez sebagai "tarif tertinggi yang pernah dikenakan terhadap Uni Eropa," pemimpin Spanyol itu mendesak Washington untuk kembali terlibat dalam dialog.
"Saya ingin sekali lagi menyerukan kepada pemerintah AS untuk mempertimbangkan kembali, berdialog dengan Komisi Eropa, dan menghentikan tindakan yang tidak berfaedah ini," kata Sanchez.
Pada Rabu (26/3), Presiden Trump menandatangani perintah eksekutif untuk memberlakukan tarif 25 persen pada semua kendaraan dan suku cadang otomotif buatan luar negeri yang diimpor ke AS.
"Perang dagang tidak menguntungkan siapa pun," kata PM Sanchez.
Spanyol, kata Sanchez, akan merespons "dengan cara yang terkoordinasi bersama mitra-mitra Eropa".
"Sebagai kekuatan perdagangan, Uni Eropa mampu merespons tindakan sembrono yang diusulkan oleh pemerintah AS. Di saat beberapa pihak membangun tembok, kami justru membangun aliansi baru," ujar Sanchez sebagaimana dikutip dari kantor berita Xinhua.
China
China mendesak Amerika Serikat untuk memperbaiki penerapan "tarif timbal balik" yang salah, dan mengatasi perbedaan dalam ekonomi dan perdagangan dengan China dan negara-negara lain melalui negosiasi yang setara, saling menghormati, dan saling menguntungkan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun pada Kamis (3/4).
Guo meyampaikan pernyataan tersebut dalam konferensi pers rutin sebagai tanggapan atas pertanyaan tentang pengumuman Washington mengenai "tarif timbal balik" terhadap para mitra dagang utama.
Dengan dalih "timbal balik", AS telah memberlakukan tarif tambahan untuk barang-barang ekspor dari China dan negara-negara lain, yang secara serius melanggar peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan sangat merusak sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan, kata Guo.
"Pihak China dengan tegas menentang hal ini dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk secara tegas melindungi hak-hak maupun kepentingannya yang sah," tutur juru bicara Kemlu China itu.
Dia pun menegaskan kembali bahwa tidak ada pemenang dalam perang dagang atau tarif, serta proteksionisme tidak menawarkan solusi.
Baca juga: Pemerintah siapkan respons kebijakan tarif resiprokal AS
Baca juga: Menghadapi tarif Trump
Baca juga: Perkuat perdagangan anggota BRICS di tengah tarif AS
Baca juga: Begini antisipasi pemberlakuan tarif AS terhadap produk Indonesia