Jakarta (ANTARA) - Bulan Ramadhan selalu menjadi momentum refleksi bagi umat Muslim untuk memperbaiki kualitas ibadah, demi bisa mencapai derajat takwa. Umat Islam di seluruh dunia memasuki bulan suci dengan semangat menata kembali hubungan dengan Rabb.
Salah satu aspek ibadah yang menuntut perhatian khusus di bulan Ramadhan adalah kewajiban membayar zakat, yang juga mencerminkan semangat berbagi dan kepedulian sosial. Ada dua macam zakat. Pertama, zakat fitrah, yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim, sebelum Shalat Idul Fitri sebagai bentuk penyucian diri dan kepedulian terhadap sesama, khususnya bagi mereka yang kurang mampu.
Kedua, zakat mal, berlaku bagi mereka yang hartanya telah mencapai nisab (batas minimal harta yang wajib dizakati) dan bertahan selama satu haul (satu tahun kepemilikan). Jika haul-nya jatuh di bulan Ramadhan, maka zakat mal harus dikeluarkan pada bulan ini.
Zakat mal mencakup berbagai jenis harta. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh az-Zakat oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, harta yang wajib dizakati meliputi emas dan perak, aset perdagangan, hewan ternak, hasil pertanian, hasil tambang dan tangkapan laut, serta beberapa jenis penghasilan modern yang dalam beberapa pendapat ulama kontemporer termasuk dalam kategori zakat profesi.
Di sisi lain, mengingat awal Ramadhan tahun ini bertepatan dengan 1 Maret 2025, kita sebagai warga negara juga punya kewajiban lain terkait harta yang juga harus dipenuhi, yaitu pajak. Kewajiban tersebut berupa pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak orang pribadi yang batas waktunya jatuh pada 31 Maret.
Bila zakat adalah bentuk ketaatan seorang Muslim sesuai ajaran agama, maka pajak merupakan tanggung jawab setiap warga negara dalam mendukung pembangunan. Meski berbeda dalam konsep dan pengelolaannya, keduanya mencerminkan konsep kesalehan sosial yang harus terus dipupuk dan diperkuat, terutama dalam momentum "madrasah" Ramadhan.
Zakat merupakan kewajiban yang sifatnya tidak hanya personal, melainkan juga punya dimensi sosial yang luas. Prinsip dasar zakat adalah memastikan bahwa harta tidak hanya berputar di tangan segelintir orang kaya, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya oleh mereka yang membutuhkan. Dalam konteks ini, perlu disadari bahwa zakat bukan sekadar kewajiban agama, tetapi juga instrumen kesalehan sosial yang bisa mengurangi lebarnya ketimpangan.
Di sisi lain, pajak sebagai kewajiban negara juga memiliki tujuan yang hampir serupa, yakni memastikan bahwa sumber daya yang dimiliki masyarakat bisa dikelola untuk kepentingan bersama. Pajak yang dibayarkan oleh warga negara selayaknya kembali dalam bentuk pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, serta berbagai program sosial lainnya.
Meskipun zakat dan pajak punya kesamaan pada aspek redistribusi kekayaan, keduanya tetaplah berbeda secara mendasar. Zakat adalah kewajiban agama yang ditujukan untuk membantu kaum dhuafa dan kelompok-kelompok yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syariat. Sementara itu, pajak merupakan kewajiban negara yang digunakan untuk kepentingan yang lebih luas, misalnya pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
Optimalisasi pengelolaan zakat dan pajak harus menjadi perhatian utama. Lembaga pengelola zakat harus lebih transparan dalam melaporkan dana yang diterima dan ke mana dana tersebut didistribusikan.
*) Ismail Khozen adalah Manajer Pratama Institute dan Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia
Baca juga: Peran zakat dan pajak sebagai solusi permasalahan ekonomi