Istanbul (ANTARA) - Mesir mengumumkan penolakan terhadap segala upaya untuk membentuk pemerintahan paralel Sudan atau tindakan apa pun yang mengancam persatuan dan kedaulatan Sudan.
Kementerian Luar Negeri Mesir dalam sebuah pernyataan pada Minggu (2/3) memperingatkan upaya tersebut memperumit situasi di Sudan, menghambat upaya yang sedang berlangsung untuk menyatukan visi kekuatan politik Sudan, dan memperburuk krisis kemanusiaan.
Mesir mendesak semua faksi Sudan mengutamakan kepentingan nasional negara dan berpartisipasi secara positif dalam meluncurkan proses politik yang inklusif tanpa pengecualian atau campur tangan eksternal.
Pada 22 Februari, kelompok paramiliter Sudan, Rapid Support Forces (RSF), bersama kelompok politik dan gerakan bersenjata Sudan, menandatangani piagam politik di Nairobi, Kenya, untuk membentuk pemerintahan paralel yang menentang otoritas Sudan.
Pemerintah Sudan memprotes Kenya karena menjadi tuan rumah pertemuan yang disebut sebagai konspirasi untuk membentuk pemerintahan bagi RSF.
Pada 20 Februari, Sudan menarik duta besarnya di Nairobi, Kamal Jabara, sebagai protes terhadap keterlibatan Kenya dalam pembicaraan yang bertujuan membentuk pemerintahan paralel, seperti yang diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri Sudan saat itu.
Namun, Kenya membela perannya, dengan menyatakan bahwa menjadi tuan rumah pertemuan tersebut adalah bagian dari upayanya untuk mencari solusi untul mengakhiri perang di Sudan, bekerja sama dengan PBB dan Uni Afrika.
Sementara itu, tentara Sudan telah memperoleh kemenangan atas RSF di beberapa wilayah, termasuk Khartoum, Gezira, White Nile, dan North Kordofan.
Di Negara Bagian Khartoum, yang terdiri dari tiga kota, tentara kini menguasai 90 persen wilayah Bahri di utara, sebagian besar Omdurman di barat, dan 60 persen Khartoum, tempat istana presiden dan bandara internasional berada. Namun, RSF masih mempertahankan posisi di lingkungan timur dan selatan Khartoum.
Sudan telah dilanda perang antara tentara Sudan dan RSF sejak pertengahan April 2023 yang telah menewaskan lebih dari 20.000 orang dan menyebabkan 14 juta orang mengungsi, menurut PBB dan otoritas setempat. Namun, penelitian dari universitas di AS memperkirakan jumlah korban tewas mencapai sekitar 130.000 jiwa.
Turki menyatakan kesedihan atas meningkatnya konflik di Sudan dan menyerukan gencatan senjata di negara tersebut.
"Kami sangat sedih dengan meningkatnya konflik di Sudan dan memburuknya situasi kemanusiaan. Kami sekali lagi menyerukan kepada para pihak untuk melakukan gencatan senjata dan perdamaian guna mencegah pertumpahan darah lebih lanjut," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Oncu Keceli pada X.
Keceli juga menekankan pentingnya menahan diri dari tindakan yang dapat merusak persatuan, integritas teritorial, kedaulatan, dan kemerdekaan Sudan.
"Turki siap memberikan semua dukungan yang diperlukan untuk penyelesaian segera konflik dan terciptanya perdamaian, keamanan, dan stabilitas di negara sahabat dan persaudaraan kita, Sudan," katanya.
Tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter telah berperang sejak pertengahan April 2023 yang telah menewaskan lebih dari 20.000 orang dan membuat 14 juta orang mengungsi, menurut PBB dan otoritas setempat.
Program Pangan Dunia (WFP) menyatakan dua juta orang di 27 lokasi di seluruh Sudan saat ini sedang mengalami atau berada di ambang kelaparan.
Seruan oleh masyarakat internasional dan PBB untuk mengakhiri perang semakin meningkat, dengan peringatan akan bencana kemanusiaan yang akan datang karena jutaan orang menghadapi kelaparan dan kematian akibat kekurangan pangan.
Selain itu, konflik telah menyebar ke 13 dari 18 negara bagian Sudan.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Jelang Ramadan, PBB serukan diakhirinya penderitaan dramatis rakyat Sudan
Baca juga: Program Pangan Dunia telah hentikan distribusi makanan ke pengungsi Sudan akibat bentrokan