Bogor, 2/11 (ANTARA) - Gempa bumi berkekuatan sembilan skala Richter disertai tsunami 11 Maret lalu membawa kesengsaraan dan kepedihan serta pekerjaan rumah bagi pemerintah dan rakyat Jepang namun bencana dahsyat itu semakin menyatukan mereka.
Pemerintah pusat dan prefektur (provinsi) bersama berbagai organisasi nirlaba, perusahaan, dan perorangan di Jepang bahu-membahu membantu para korban menata kembali kehidupan mereka serta memulihkan dan merekonstruksi daerah-daerah yang rusak.
Dalam hitungan bulan, sarana dan prasarana umum maupun strategis di berbagai tempat di daerah-daerah bencana, seperti jaringan komunikasi dan bahkan Bandar Udara Internasional Sendai yang sempat rusak berat akibat gempa bumi dan tsunami yang dilukiskan perdana menteri Jepang sebagai "krisis terberat dan tersulit" setelah Perang Dunia II itu telah pulih.
Di kota Sendai yang merupakan pusat ekonomi, industri dan budaya di wilayah timur laut Jepang misalnya, berbagai kegiatan bisnis, lalu-lintas, dan berbagai aktivitas warga lainnya memenuhi denyut kehidupan kota modern nan hijau ini kendati masih ditemui sejumlah bangunan yang mengalami keretakan akibat gempa tujuh bulan silam itu.
Bahkan sebagai pintu masuk utama lewat udara untuk wilayah Tohoku, Bandara Internasional Sendai yang sempat lumpuh total akibat terjangan tsunami yang datang dari arah pantai itu kini sudah sepenuhnya pulih.
Pejabat Sendai Airport Terminal Building Co.Ltd, Junichi Ishimori, mengatakan, tsunami setinggi sekitar 10 meter menerjang landasan pacu dan gedung terminal Bandara dengan membawa aneka benda, termasuk 2.000 mobil yang ada di areal parkir Bandara.
Namun, berkat usaha rekonstruksi yang keras, kompleks Bandara dapat dengan cepat dipulihkan dan pada 13 April 2011, rute domestik Maskapai Penerbangan Japan Airline dan All Nippon Airline telah pun kembali dilayani, katanya.
"Setelah 19 Juli 2011, Japan Airline sudah melayani enam penerbangan domestik sehari dan All Nippon Airline 15 penerbangan domestik. Bahkan, penerbangan internasional pertama setelah bencana juga sudah dimulai pada 23 Juni," katanya.
Ketika itu, sebanyak 120 orang terbang ke Spanyol dengan pesawat carter Hi Fly Airlines. Sejak 25 Juli, frekuensi penerbangan domestik sudah kembali ke posisi sebelum bencana, yakni 41 kali penerbangan domestik per hari, katanya.
Menurut Junichi Ishimori, rute penerbangan domestik itu meliputi masing-masing 13 penerbangan ke Osaka dan Sapporo, enam penerbangan ke Nagoya, empat penerbangan ke Fukuoka, dua penerbangan ke Narita, serta masing-masing satu penerbangan ke Komatsu, Hiroshima, dan Okinawa.
Kecepatan upaya pemulihan berbagai infrastruktur strategis dan pemberian bantuan bagi para korban di zona bencana juga ditunjukkan oleh peran sektor swasta Jepang, seperti Softbank dan Yamato Transport Co.Ltd.
Softbank yang merupakan salah satu dari tiga perusahaan jasa telepon selular utama di Jepang disamping NTT dan KDDI ini misalnya mampu memulihkan jaringan telekomunikasinya yang sempat rusak akibat bencana, khususnya di Frefektur Miyagi, Iwate, dan Fukushima, hanya dalam waktu 34 hari.
Kahumas Softbank, Takeaki Nukii, mengatakan, pihaknya tidak hanya berhasil memulihkan konektivitas jaringannya dalam waktu yang relatif singkat (13 Maret-14 April 2011) tetapi juga meluncurkan proyek dana kemanusiaan serta mengirim 1.229 orang stafnya ke berbagai zona bencana sebagai sukarelawan.
Pemimpin (CEO) Softbank Masayoshi Son juga ikut aktif mendukung kegiatan kemanusiaan bagi para korban dengan menggugah publik lewat media sosial Twitter.
CEO keturunan Korea-Jepang kelahiran Tosu, Frefektur Saga, 11 Agustus 1957 ini mendengarkan masukan sekitar 1,4 juta orang pengikutnya di Twitter dan menjadikannya basis pengambilan 34 keputusan misi kemanusiaan perusahaannya, kata Takeaki Nukii.
Gempa dan tsunami yang telah menyebabkan kerugian sebesar 23 miliar yen bagi perusahaannya yang kini memiliki 27 juta orang pelanggan ini tidak hanya telah semakin menyatukan rakyat Jepang tetapi juga memberikan pelajaran berharga, katanya.
"Untuk mengamankan konektivitas jaringan kami di daerah bencana, kami perlu membangun dan memperkuat jaringan tahan bencana, mengembangkan dan mengadopsi berbagai solusi guna menjaga keberlangsungan jaringan, serta melatih organisasi kami agar mampu bertindak lebih cepat saat bencana datang," katanya.
Perusahaan jasa pengiriman parsel Yamato Transport Co.Ltd juga berhasil memulihkan jaringan operasinya di kawasan Tohoku yang sempat terganggu akibat bencana hanya dalam waktu 10 hari.
"Akibat bencana sebanyak 17 dari 269 kantor pemasaran kami di kawasan Tohoku hancur dan sekitar enam persen jaringan kami terganggu," kata Kahumas Yamato Holdings Co.Ltd, Akihiro Katagiri.
Butuh 10 tahun
Namun dalam waktu 10 hari setelah gempa, operasi jasa pengiriman barang Yamato Transport dapat dipulihkan. "Kini hanya empat kantor kami yang masih tutup karena lokasinya berada di dekat PLTN Fukushima (Daiichi)," katanya.
Untuk mendukung kelancaran pengiriman logistik ke daerah-daerah bencana, pihaknya mengerahkan 200 mobil perusahaan dan 500 orang spesialis logistik yang bekerja bersama berbagai pihak terkait, termasuk pasukan keamanan Jepang, katanya.
Banyak hal yang telah dicapai dalam tujuh bulan terakhir ini namun, untuk membangun kembali kehidupan sosio-ekonomi rakyat di seluruh wilayah bencana sesuai dengan standar Jepang sebagai negara industri maju yang mapan, diperlukan waktu 10 tahun.
Seperti terungkap dalam perbincangan dengan Konselor Sekretariat Markas Pusat Rekonstruksi untuk Bencana 11 Maret 2011, Yoshio Ando, di Tokyo baru-baru ini, program pemulihan dan rekonstruksi semua daerah bencana tidak hanya memerlukan masa 10 tahun tetapi juga dana sebesar 23 trilyun yen.
Sejak bencana yang menewaskan 15.782 orang dan menyebabkan hilangnya 4.086 orang lainnya itu terjadi, hingga akhir Oktober 2011, total anggaran tambahan yang sudah disepakati Diet (Parlemen Jepang) mencapai 6,14 trilyun yen, katanya.
"Anggaran tambahan ketiga sebesar 12,1 trilyun yen (yang diajukan pemerintah) masih dibahas di Diet," kata Yoshio Ando kepada wartawan dari 10 negara Asia di Tokyo, 25 Oktober lalu.
Sejak awal bencana ini terjadi, pemerintah dan parlemen tampak mampu berjalan seiring dan memandang masalah pemulihan dan rekonstruksi sebagai isu yang jauh melampaui kepentingan politik kelompok.
"Kondisi demikian itulah yang senantiasa menjadi harapan rakyat Jepang," katanya menjawab pertanyaan ANTARA pada pertemuan dengan wartawan Asia yang berlangsung di kantornya terkait dengan isu rekonstruksi dalam dinamika politik domestik Jepang.
Yoshio Ando mengatakan, dari total nilai anggaran tambahan ketiga yang telah diajukan pemerintah ke Diet sebesar 12,1 trilyun yen itu, sebanyak 11,63 trilyun yen di antaranya akan dialokasikan untuk keperluan rekonstruksi.
Dari total anggaran tambahan ketiga itu, sebanyak 1,6 trilyun yen di antaranya akan dialokasikan sebagai hibah bagi pemerintah daerah; 1,5 trilyun yen sebagai hibah untuk merespons bencana; 355,8 miliar yen untuk rekonstruksi dari "eksiden nuklir" dan 355,8 miliar yen untuk memperkuat pencegahan bencana di seluruh negeri.
Seterusnya sebanyak 1,4 trilyun yen akan dialokasikan untuk mendukung berbagai proyek tambahan pembangunan infrastruktur publik; 386 miliar yen untuk membersihkan seluruh sisa kehancuran dan sampah bencana dan 671,6 miliar yen untuk pinjaman bagi berbagai pihak yang terkena dampak bencana.
Sebanyak 94,1 miliar yen akan digunakan untuk mendanai misi penanganan bencana dan 2,4 trilyun yen sisanya akan dialokasikan untuk membiayai berbagai pengeluaran lain yang terkait dengan bencana seperti pemberian subsidi bagi penempatan perusahaan dan industri di Jepang, penciptaan lapangan kerja, merekonstruksi sektor perikanan, pertanian dan kehutanan serta pembangunan jejaring informasi tahan gempa, katanya.
Kondisi tidak mudah
Kondisi di lapangan akibat bencana yang merusak empat dari enam reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi serta 300 pelabuhan dan 23.600 hektar lahan pertanian di berbagai wilayah itu tidaklah mudah.
Masyarakat Palang Merah Jepang (JRCS) mencatat, akibat "eksiden nuklir" di PLTN Fukushima Daiici itu, hampir 400 ribu warga yang tinggal di antara radius 20 dan 30 kilometer dari PLTN itu terpaksa dievakuasi untuk menghindari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan.
Gempa bumi di kedalaman 24 kilometer dengan episentrum 120 kilometer dari pantai timurlaut Jepang yang diikuti tsunami itu juga menghancurkan 114.464 rumah serta menyebabkan kerusakan parah 694.084 rumah lainnya di sejumlah frefektur.
Akibat rusaknya sejumlah reaktor nuklir PLTN Fukushima Daiici itu, menurut pegiat Yayasan Pemulihan Bencana Gempa Jepang Softbank Corporation, Yutaka Arai, banyak orang tua di Fukushima mengkhawatirkan efek radiasi bagi anak-anak mereka.
Bahkan tidak sedikit orangtua di Fukushima, satu dari tiga Prefektur terparah dihantam bencana disamping Miyagi dan Iwate, mengkhawatirkan produk makanan di daerah mereka karena takut akan efek radiasi bagi anak-anak mereka, katanya.
"Tingkat radiasi diumumkan pemerintah namun terserah para orangtua di Fukushima menginterpretasikan dampak tingkat radiasi itu," kata Arai kepada wartawan dari 10 negara Asia yang diundang Kementerian Luar Negeri Jepang untuk melihat langsung proses rekonstruksi pascabencana akhir Oktober lalu.
Apa yang disampaikan Yutaka Arai diamini Chieko Iitaka dan Kyoko Ueno, dua warga asal Kota Hirano di Frefektur Fukushima yang kehilangan pekerjaannya setelah bencana dan kini bekerja sebagai staf organisasi nirlaba Iwaki Center untuk membantu para korban yang menempati kompleks perumahan sementara bantuan pemerintah di kota Iwaki.
Chieko dan Kyoko mengatakan, mereka merasa aman tinggal di kota Iwaki yang berjarak sekitar 45 kilometer dari PLTN Fukushima Daiichi tapi, kalau mengingat masa depan anak-anak mereka, mereka ingin menetap lebih jauh lagi dari kota itu.
Kekhawatiran kedua ibu rumah tangga itu akan bahaya radiasi nuklir terhadap anak-anak mereka beralasan sebagaimana ditegaskan JRCS dalam laporannya tertanggal 31 Agustus 2011: "Karena adanya ketakutan akan radiasi nuklir, banyak anak di Fukushima kini dipaksa tinggal di dalam rumah."
Sejumlah tantangan lain yang menuntut aksi nyata pemerintah pusat, frefektur, dan kota serta berbagai pemangku kepentingan lainnya di Jepang adalah kondisi kesehatan dan psikis para korban bencana yang kini menempati rumah-rumah sementara yang dibangun pemerintah.
Seperti dikatakan Direktur Iwaki Center, Yoshikatsu Terui, rumah-rumah sementara tahan gempa yang dilengkapi dua kamar, dapur, peralatan masak-memasak, mesin cuci, kulkas, pendingin ruangan (AC), dan tabung gas ini tidak dapat menampung sebuah keluarga beranggotakan delapan orang.
"Akibatnya keluarga seperti ini harus dipisah ke dalam dua hingga tiga unit rumah sementara. Lalu, para orang tua yang sudah terbiasa bertetangga dengan orang-orang yang mereka kenal kini terpaksa bersebelahan dengan orang-orang yang asing bagi mereka."
Kondisi ini membuat mereka "merasa kesepian" dan bahkan ada di antara mereka yang "bunuh diri". "Ada di antara para orang tua yang hidup sendiri ini tidak makan dan mandi secara teratur sehingga mereka mudah jatuh sakit," katanya.
Hanya saja, kondisi di lapangan tidak mudah karena berkurangnya jumlah dokter berizin praktek dan spesialis kesehatan pascabencana karena tidak sedikit dari mereka yang pindah dari daerah bencana seperti Fukushima ke kota-kota lain di Jepang, kata Yoshikatsu Terui.
Belajar Dari Ketangguhan Jepang Hadapi Bencana
Kamis, 3 November 2011 15:05 WIB
Belajar-Dari-Ketangguhan-Jepang-Hadapi-Bencana