Kabupaten Bogor (ANTARA) - Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks dan sering kali hanya tersembunyi di balik dinding rumah tangga.
Salah satu contoh nyata dari kekerasan ini adalah kasus yang dialami oleh Cut Intan Nabila, seorang selebgram asal Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Cut Intan Nabila adalah seorang perempuan yang berjuang untuk meraih kebahagiaan dalam hidupnya, namun harus menghadapi penderitaan yang tidak seharusnya dialami oleh siapa pun.
Dalam kasus ini, Cut Intan menjadi korban kekerasan fisik dan emosional yang dilakukan oleh suaminya, Armor Toreador. Kasus ini mencuat setelah kekesalan Cut Intan memuncak dan akhirnya berani mengunggah video kekerasan yang ia alami ke akun Instagram pribadinya pada 13 Agustus 2024.
Unggahan tersebut sontak menjadi topik populer dan langsung ditindaklanjuti oleh Kepolisan Resor Bogor dengan mendatangi kediaman Cut Intan untuk melakukan penanganan dan perlindungan terhadap korban dan dua buah hatinya.
Hanya selang beberapa jam, kepolisian berhasil menangkap Armor Toreador di salah satu hotel yang berlokasi di Kemang, Jakarta Selatan. Keesokan harinya Armor ditetapkan sebagai tersangka kekerasan.
Saat ini, Armor masih menjalani tahap peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong. Ia didakwa melanggar Pasal 44 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 dengan subsider Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp30 juta.
Tak hanya itu, Armor Toreador juga didakwa Pasal 315 KUHP terkait penganiayaan dengan ancaman 2 tahun 8 bulan penjara.
Kekerasan yang terjadi terhadap Cut Intan Nabila tidak hanya sebatas fisik, tetapi juga melibatkan penyiksaan mental yang dapat meninggalkan bekas luka yang lebih dalam. Seperti yang sering terjadi dalam kasus kekerasan rumah tangga, korban sering kali merasa terperangkap dalam hubungan yang tidak sehat, takut untuk melapor, atau merasa tidak ada jalan keluar.
Kasus Cut Intan Nabila memperlihatkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di masyarakat.
Komnas Perempuan mencatat, pada 2022 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk melalui berbagai kanal pengaduan mencapai 338.496 perkara. Kasus-kasus ini meliputi berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, hingga perdagangan orang.
Kemudian, data 2023 masih dalam proses pengumpulan dan analisis, tetapi diperkirakan sekitar mencapai 350.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat pada tahun lalu.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga masih mendominasi, yakni sekitar 70 persen dari data kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan. Hal ini mencerminkan kesenjangan dalam pemahaman dan penanganan isu-isu terkait gender dan hak asasi manusia di Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan sering kali dipicu oleh pola pikir patriarkal yang mendominasi dalam banyak budaya. Dalam beberapa kasus, perempuan dianggap sebagai objek yang lebih rendah dan sering kali dijadikan sasaran kekerasan oleh pasangan, keluarga, atau masyarakat di sekitar mereka. Selain itu, ada juga faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi situasi ini, seperti ketergantungan ekonomi atau kurangnya dukungan dari lingkungan sosial.
Dampak kekerasan terhadap perempuan, seperti yang dialami oleh Cut Intan Nabila, sangat berbahaya karena dapat merusak kesehatan fisik dan mental korban. Kekerasan fisik dapat mengakibatkan luka-luka serius, bahkan kematian.
Namun, kekerasan emosional atau psikologis juga tidak kalah parahnya karena dapat menyebabkan trauma jangka panjang yang memengaruhi kesejahteraan mental korban, seperti depresi, kecemasan, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga berdampak pada keluarga dan masyarakat secara lebih luas. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekerasan sering kali membawa trauma mereka hingga dewasa, yang bisa memengaruhi cara mereka membangun hubungan interpersonal dan perspektif mereka terhadap kekerasan.
Upaya antisipasi
Kasus Cut Intan Nabila mengingatkan semua orang bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang harus ditangani secara serius.
Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan, antara lain, pendidikan dan kesadaran. Langkah konkret harus menyasar peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya menghormati hak asasi manusia, terutama hak perempuan, melalui pendidikan yang berbasis pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Kemudian, pendampingan korban, memberikan dukungan kepada korban kekerasan, baik secara psikologis, medis, maupun hukum, agar mereka bisa pulih dan melanjutkan hidup mereka tanpa rasa takut.
Lalu, penegakan hukum yang tegas. Pihak berwenang harus mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan. Proses hukum yang transparan dan adil akan memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan rasa aman bagi korban.
Selanjutnya, membangun lingkungan yang mendukung. Masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan, termasuk memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara, melaporkan kasus kekerasan tanpa rasa takut akan stigma atau pembalasan.
Kasus kekerasan terhadap Cut Intan Nabila menggambarkan betapa pentingnya setiap warga memperhatikan dan mendukung perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ini bukan hanya tentang satu individu, melainkan tentang perubahan sistemik yang diperlukan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Sudah saatnya masyarakat bersama-sama memberikan suara bagi mereka yang tidak dapat berbicara, memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan, dan berjuang untuk menciptakan dunia yang lebih aman dan adil bagi perempuan.
Editor: Achmad Zaenal M
Belajar dari kasus Cut Intan agar tidak ada kekerasan terhadap perempuan
Oleh M Fikri Setiawan Senin, 25 November 2024 21:05 WIB