Berdasarkan pemberitaan media massa nasional dan daerah serta sejumlah sumber informasi lainnya, aksi unjukrasa masih saja kerap terjadi di beberapa daerah. Selama periode Juli 2017 misalnya berlangsung aksi unjuk rasa di beberapa daerah seperti Jakarta, Bulukumba-Sulawesi Selatan, Mimika-Papua, Buton Utara-Sulawesi Tenggara, Jeneponto-Sulawesi Selatan, Kayong Utara-Kalimantan Barat, Palu-Sulawesi Tengah, Kuningan-Jawa Barat, Bengkulu Tengah-Bengkulu, Bombana-Sulawesi Tenggara, Kupang-NTT, Cianjur dan Bandung-Jawa Barat, Nganjuk dan Sidoarjo-Jawa Timur, Balikpapan-Kalimantan Timur, Tasikmalaya-Jawa Barat, Dompu-NTB, Jember dan Pasuruan-Jawa Timur, Yogyakarta, Semarang-Jawa Tengah, Sorong-Papua Barat, Buton Selatan-Sulawesi Tenggara, Ngawi-Jawa Timur, Cirebon-Jawa Barat, Jayawijaya- Papua, Samarinda-Kalimantan Timur, Karawang, Sukabumi dan Ciamis-Jawa Barat, Denpasar-Bali, Maybrat-Papua Barat, Makassar-Sulawesi Selatan, Pontianak-Kalimantan Barat, Jambi, Mataram-NTB, Bekasi-Jabar, Surabaya-Jawa Timur, Bolaang Mongondow-Sulawesi Utara, Bandar Lampung, Gresik dan Bojonegoro-Jawa Timur, Manokwari-Papua Barat, Kendari-Sulawesi Tenggara, dan Halmahera Utara-Maluku Utara.
Adapun beragam permasalahan atau tuntutan yang dikemukakan dalam berbagai aksi unjuk rasa di beberapa daerah tersebut antara lain, pengusutan kasus korupsi bantuan sosial di Sumut dan kasus BLBI serta meminta Presiden Jokowi segera mencopot Jaksa Agung H.M Prasetyo dari jabatannya; permasalahan tambang ilegal di Bulukumba, Sulawesi Selatan, masalah buruh yang terkena PHK karena meminta bonus kepada perusahaan; desakan penutupan sebuah karaoke di Jakarta karena maraknya Narkoba; penolakan terhadap hak angket KPK di DPR RI; permasalahan pencairan dana insentif guru honorer di Mimika, Papua; penolakan rencana pembangunan PLTU di Kecamatan Tarowang, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan; dugaan korupsi dana bencana tahun 2016 dengan anggaran Rp 15.2 milyar di Minahasa Utara; menuntut pemindahan Ahok dari LP Cipinang ke Mako Brimob; penghapusan tenaga kerja sukarela dan jaminan kesehatan untuk tenaga perawat non-PNS; penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu; penolakan rencana eksekusi oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Kuningan terhadap Tanah Adat Sunda Wiwitan Kecamatan Cigugur yang dinilai cacat hukum; unjuk rasa Gerakan Mahasiswa NKRI menuntut Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, dicopot dari jabatannya, terkait dugaan suap dalam proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta; menuntut negara bertanggungjawab atas nasib mahasiswa PGRI NTT dan menilai Jokowi gagal dalam penyelengaraan pendidikan; menuntut pemerintah segera membuat DIM (Daftar Inventaris Masalah) dan mengesahkan revisi UU. ASN; menolak kenaikan tarif dasar listrik oleh PLN; menolak keberadaan "Gojek" berbasis aplikasi online di Kota Tasikmalaya.
Di samping itu, aksi unjukrasa lainnya juga menuntut pengusutan dugaan praktek pungli dalam pelaksanaan Program Nasional Agraria/Prona di Desa Balung Kulon, Jember-Jawa Timur; menuntut dilaksanakannya reforma graria sejati dan tuntaskan konflik agraria di Kabupaten Sukabumi; Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa/ForBali dan Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi, menolak reklamasi Teluk Benoa dan cabut Perppres No. 51 Tahun 2015; menuntut agar letak Ibukota Maybrat sesuai dengan UU No. 13 Pasal 7 Tahun 2009 yaitu di Kumurkek, bukan di Ayamaru; menuntut perhatian Pemerintah Indonesia dan perwakilan UNHCR terkait nasib dan status kewarganegaraan pengungsi Rohingya di Makassar; mendesak DPRD DKI Jakarta menghentikan Raperda Reklamasi Teluk Jakarta; mendukung KPK agar mengusut tuntas Kasus Korupsi Mega Proyek e-KTP serta semua kasus korupsi yang terbukti merugikan negara dan menyengsarakan rakyat; menolak kebijakan Mendikbud No. 23 tahun 2017 terkait pelaksanaan Full Day School; menuntut agar Walikota Bandar Lampung tetap melanjutkan pembangunan Fly Over Mall Boemi Kedaton Rusa di Jl. ZA Pagar Alam-Jl. Teuku Umar Kota Bandar Lampung; menuntut agar Bupati Gresik menyelesaikan pembangunan Alun-alun Gresik dan membangun infrastruktur serta relokasi PKL; mendukung Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas; menuntut penyelesaian kasus penyerobotan lahan negara, dugaan penyelewengan anggaran dana pembangunan RSUD dan Kantor Bupati Konawe Kepulauan; dan aksi Patriot Garuda Nusantara (PGN), dipimpin Pariyadi @ Gus Yadi untuk mempertanyakan kelanjutan penanganan kasus penghinaan dan permusuhan yang dilakukan Munarman dan Habib Rizieq Shihab.
Yang menjadi catatan menarik adalah mayoritas aksi unjukrasa tersebut dilakukan secara aman dan mematuhi berbagai peraturan yang terkait dengan aksi unjuk rasa, walaupun sejumlah aksi lainnya di beberapa daerah diwarnai dengan aksi-aksi yang memperlihatkan gejala anarkisme, walaupun akhirnya batal terjadi. Aksi tersebut antara lain terjadi di lokasi pembangunan jalan tol Desa Jenggrik, Kec. Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur tanggal 25 Juli 2017, dimana pengunjuk rasa melakukan aksi pemalangan terhadap akses jalan yang dilalui kendaran truk untuk proyek pembangunan jalan tol.
Sedangkan aksi unjukrasa di pintu utama Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat, diwarnai pemalangan dan pembakaran ban dilakukan sekitar 50 orang mahasiswa dan calon mahasiswa Unipa, menuntut agar mahasiswa yang tidak lolos tes seleksi Program S-1 Unipa diakomodir menjadi mahasiswa Unipa.
Indikasi apa ?
Maraknya aksi unjuk rasa yang terjadi di beberapa daerah tidak boleh dipandang sebelah mata, karena fenomena sosial ini setidaknya mengindikasikan beberapa hal antara lain: pertama, masih banyaknya permasalahan yang terjadi di daerah yang masih lambat diselesaikan oleh aparatur negara atau pemangku kepentingan lainnya.
Kedua, kurang efektifnya keberadaan lembaga perwakilan rakyat di daerah atau DPRD dalam menyerap dan menyelesaikan permasalahan konstituen atau rakyatnya, yang berdampak munculnya sikap anti Parpol dan kurang percaya dengan legislatif.
Ketiga, semakin kritis dan dinamisnya perkembangan masyarakat Indonesia, sehingga mereka memiliki rasa kepedulian atas nasib daerahnya dan memiliki rasa keingintahuan yang besar (curiousity) terhadap berbagai permasalahan nasional.
Keempat, aksi unjukrasa menjadi momentum bagi lawan-lawan politik pemerintahan untuk dijadikan amunisi politik menyudutkan pemerintahan dengan dalih negara belum hadir menyelesaikan masalah warganya.
Kelima, reformasi birokrasi di segala lini belum optimal dan semboyan "kerja, kerja dan kerja" belum terealisasi dengan baik.
Sekali lagi, aksi unjukrasa yang masih berseliweran di Indonesia adalah masalah serius, apalagi jika tuntutan pengunjukrasa gagal diabsorb atau diserap pemerintah dan diselesaikan secara wisdom, maka aksi unjukrasa dapat menimbulkan melorotnya kepercayaan publik terhadap institusi negara dan memancing instabilitas lokal dan nasional. Jadi, waspadalah dan selesaikanlah.
*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia. Tinggal di Tabanan, Bali.
Maraknya Aksi Unjuk Rasa di Daerah, Indikasi Apa?
Selasa, 8 Agustus 2017 20:51 WIB
Reformasi birokrasi di segala lini belum optimal dan semboyan "kerja, kerja dan kerja" belum terealisasi dengan baik.