Jakarta (ANTARA) - "Saya telah mengubah Partai Buruh. Bila Anda mempercayai saya dengan memilih Partai Buruh, saya akan mengubah negara ini." Demikian disampaikan pemimpin oposisi Partai Buruh Inggris Keir Starmer melalui platform media sosial X.
Seruan yang ditampilkan pada hari pemilu Inggris Raya pada 4 Juli 2024 itu juga seiring dengan hasil dari exit poll (atau survei ke pemilih setelah mencoblos di TPS/tempat pemungutan suara) yang menunjukkan kemenangan telak akan diraih Partai Buruh.
Berdasarkan exit poll oleh Ipsos UK yang digunakan berbagai media utama Inggris seperti Sky News, BBC, dan ITV News, menunjukkan bahwa Partai Buruh diprediksi meraih 410 kursi, mengalahkan partai berkuasa Konservatif yang hanya meraih 131 kursi.
Dengan demikian, Partai Buruh diprediksi meraup mayoritas absolut karena jumlah kursi yang diperebutkan di DPR Inggris Raya adalah sebanyak 650 kursi. Menurut BBC, keunggulan tersebut adalah yang terbesar kedua sepanjang sejarah pemilu Inggris, setelah kemenangan Buruh pada tahun 1997 pada abad ke-20.
Bila prediksi exit poll tersebut tidak meleset, maka Keir Starmer akan menjadi Perdana Menteri Inggris, menggantikan Rishi Sunak dari Konservatif.
Mengapa Buruh bisa menang besar atas Konservatif yang menduduki kekuasaan selama 14 tahun terakhir? Media Washington Post menulis bahwa tren di Inggris adalah para pemilih selama ini telah muak dengan kebijakan Konservatif yang berhaluan kanan tengah.
Senada, opini di media Guardian juga menyebutkan bahwa para pemilih termotivasi oleh kemarahan terhadap kebijakan Konservatif sehingga pemilu kali ini terasa ada rasa "balas dendam" di dalamnya.
Konservatif, yang biasanya dicap sebagai partai yang solid dan "aman" selama ini, dinilai telah berubah dengan berbagai kebijakan "radikal" yang hasilnya ternyata tidak bagus bagi Inggris.
Era Konservatif di abad ke-21 bermula dengan terpilihnya David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris pada 2010, mengakhiri era 13 tahun Partai Buruh sejak 1997.
Penghematan sampai Brexit
Mengingat kondisi ketika Cameron terpilih, yaitu dampak dari Krisis Finansial Global 2007-2008 masih terasa sangat hangat, maka Konservatif memutuskan untuk melakukan program austerity atau pengetatan anggaran, dengan tujuan menyelamatkan defisit di APBN Inggris.
Artikel New York Times pada 2019 menyatakan, kebijakan pengetatan anggaran telah mengubah Inggris yang melakukan pemotongan besar-besaran dalam pos anggaran untuk kesejahteraan sosial luas masyarakat.
Meski pemerintah Inggris menyatakan bahwa NHS (seperti BPJS Kesehatan di Republik Indonesia) terlindungi dari pengetatan anggaran, pengetatan anggaran berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk sejumlah layanan penting sosial, seperti untuk kepolisian, pemeliharaan jalan, perpustakaan, hingga bantuan perumahan untuk warga lanjut usia.
Menurut artikel tersebut, kajian yang dilakukan pakar PBB pada 2018 menyatakan upaya pemerintahan Konservatif untuk mengurangi pengeluaran anggaran ternyata malah meningkatkan tingkat kemiskinan serta menimbulkan berbagai kesengsaraan di salah satu negara terkaya di dunia itu.
Pemerintah Inggris ketika itu menyangkal temuan pakar PBB itu, tetapi sejumlah aspek menunjukkan turunnya kesejahteraan sosial dengan melakukan pengetatan anggaran, seperti meningkatnya warga yang menggunakan food bank atau bantuan pangan, serta naiknya angka kriminalitas di negara monarki tersebut.
Namun, degradasi kesejahteraan sosial itu akan semakin melesat dengan terjadinya Brexit, yaitu langkah Inggris Raya keluar sepenuhnya dari Uni Eropa.
Cameron, dalam manifesto pemilu tahun 2016, berjanji untuk menggelar referendum apakah Inggris harus tetap menjadi anggota Uni Eropa atau tidak. Hasilnya, referendum pada 23 Juni 2016 menunjukkan hasil 52 persen pemilih mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa sehingga Cameron juga mengundurkan diri.
Para pakar ekonomi sebelum referendum telah mengeluarkan peringatan bahwa Brexit akan membuat perekonomian Inggris semakin terpuruk. Kajian pada 2019 juga menunjukkan tidak sedikit perusahaan Inggris lebih memilih membuat kantor di daratan Eropa serta perusahaan Eropa mengurangi investasi di Inggris.
COVID hingga konflik
Belum selesai dengan keruwetan Brexit dan dampak kesengsaraan dari kebijakan pengetatan anggaran, Inggris kembali dihantam oleh pandemi global, COVID-19. COVID-19 telah menghambat perekonomian di berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali efeknya juga merusak ekonomi Inggris.
Cameron, yang digantikan Theresa May pada 2016 serta kemudian Boris Johnson pada 2019, ternyata juga tidak bisa membuat ekonomi Inggris berjaya lagi.
Bojo (panggilan akrab Boris Johnson) diwarnai skandal termasuk Partygate terkait COVID-19, sehingga terpaksa digantikan oleh Liz Truss.
Truss, yang berbagai rencana ekonominya membuat semakin melemahnya mata uang poundsterling sehingga bank sentral Inggris terpaksa mengintervensi, ternyata membuat Truss menjadi perdana menteri tersingkat dengan hanya menjabat selama 50 hari.
Penggantinya, yaitu pemimpin Partai Konservatif saat ini, Rishi Sunak, juga dinilai tidak bisa membuat ekonomi Inggris semakin kompetitif, karena masa pemerintahan Sunak diwarnai antara lain dengan meledaknya konflik Rusia dan Ukraina sehingga berdampak pada tingginya inflasi dan naiknya beban biaya hidup warga.
Kali ini, Partai Buruh yang akan menggantikan era Konservatif. Menurut Washington Post, sejak menjadi pemimpin Partai Buruh pada 2020, Starmer telah menyingkirkan berbagai tokoh sayap kiri di partainya sehingga Buruh lebih cenderung untuk ke tengah daripada ke kiri.
Starmer juga disebut melemahkan penerapan sosialisme di Partai Buruh dan lebih fokus kepada program "penciptaan kekayaan" serta "stabilitas ekonomi".
Lelaki berusia 61 tahun ini dalam suatu wawancara saat kampanye juga menyatakan akan menghindari bekerja setelah Jumat pukul 6 sore karena ingin menghabiskan waktu makan malam Sabat dengan anggota keluarganya, yaitu sang istri dan dua anaknya yang dibesarkan dengan agama Yahudi.
Pernyataan Starmer itu dikritik sejumlah pihak seperti Sunak yang menyindir julukan "perdana menteri paruh waktu" kepada Starmer.
Dengan kondisi perekonomian Inggris yang masih sangat tidak stabil serta dunia yang terus dihantui kekerasan dalam konflik Rusia-Ukraina serta kawasan Timur Tengah yang masih membara, maka jalan Starmer ke depannya juga dipastikan bakal sangat terjal.
Editor: Achmad Zaenal M
Partai Buruh akhiri 14 tahun era Konservatif di Inggris
Oleh M Razi Rahman Jumat, 5 Juli 2024 23:58 WIB