Jakarta (ANTARA) - Tinggal 2 bulan lagi Jakarta melepaskan keistimewaannya sebagai Ibu Kota Negara. Keistimewaan yang telah diemban sejak Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Memang, sejarah pernah mencatat ibu kota sempat dipindahkan hampir 4 tahun ke Yogyakarta. Namun, perpindahan itu lebih disebabkan situasi keamanan Jakarta yang makin memburuk dengan kedatangan tentara sekutu yang diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Kala itu, sejumlah petinggi Pemerintah Republik Indonesia merasa terancam nyawanya, bahkan sang Perdana Menteri waktu itu, Sutan Sjahrir, merasakan mobil yang ditumpanginya diberondong peluru oleh tentara sekutu.
Begitu juga dirasakan Proklamator Indonesia Soekarno yang setiap malam harus berpindah-pindah tempat karena diburu intel Belanda.
Kondisi itu membuat pemerintahan yang di pimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta memutuskan memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta. Perpindahan ibu kota ke Yogyakarta terjadi pada 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949.
Perpindahan ibu kota negara tidak hanya terjadi setelah kemerdekaan, namun pada masa penjajahan Belanda juga telah mewacanakan pemindahan ibu kota dari Batavia (Jakarta) ke Bandung pada sekitar tahun 1920.
Jadi, status Jakarta sebagai ibu kota ini sempat lepas beberapa kali dan kemudian kembali, namun kini perpindahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN) Kalimantan Timur, itu sudah tampak di depan mata karena tinggal menghitung bulan.
Pemerintah telah mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN Kalimantan Timur, bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2024.
DKI jadi DKJ
Setelah resmi tidak menyandang status sebagai ibu kota, maka Jakarta sudah diberikan mandat dengan dijadikan sebagai Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang digelar pada 28 Maret 2024 telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) DKJ yang merupakan inisiatif DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta.
Sementara untuk UU DKJ sendiri telah disahkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 25 April 2024. UU DKJ merupakan implikasi dari terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang telah disahkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 15 Februari 2022.
Untuk itu, dengan diundangkannya UU IKN, maka ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta ke IKN, dan status kekhususan Jakarta sebagai provinsi berubah dari yang sebelumnya merupakan DKI kini setelah UU Nomor 2024 menjadi DKJ.
Melalui UU DKJ diharapkan Jakarta tidak hanya sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global, tetapi menjadikan Jakarta tumbuh dan berkembang sebagai kota utama megapolitan di tingkat nasional, regional, dan global.
Meskipun telah disahkan, sampai saat ini status Jakarta belum berubah dan tetap menyandang DKI hingga nanti terbit keputusan presiden terkait pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke IKN di Kalimantan Timur, berdasarkan Pasal 63 UU tersebut.
Nasib Jakarta
Menjelang perpindahan ibu kota, ada kekhawatiran yang muncul di tengah-tengah masyarakat, terutama terkait nasib Jakarta setelah tidak lagi menyandang status ibu kota, apakah daerah ini masih memiliki daya tarik karena telah seperti kota-kota besar lainnya.
Kurator IKN yang juga Gubernur Jawa Barat periode 2018 -- 2023 M. Ridwan Kamil atau yang kini akrab disapa RK menyatakan bahwa dalam waktu dekat Jakarta masih tidak terlalu terpengaruh dengan pemindahan ibu kota dari sisi aktivitasnya.
Hal itu juga sesuai pengalaman negara lain bahwa perubahan itu bisa terjadi mencapai puluhan tahun bahkan ada juga yang mencapai 100 tahun seperti Washington DC, Amerika Serikat.
Apalagi IKN ini tidak ada penduduknya sehingga dipastikan tidak terlalu berdampak pada aktivitas di Jakarta.
Arsitek itu menyatakan bahwa tantangan Jakarta 5 tahun ke depan yaitu terkait penanganan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemimpin Jakarta mendatang harus membenahi masalah tersebut dengan serius.
Dampak perubahan iklim, antara lain, menurunnya kualitas udara, sudah terlihat nyata karena hampir 60 persen penyakit yang diderita warga Jakarta yaitu terkait permasalahan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) karena faktor udara dan polusi.
Selain itu, Jakarta juga harus konsentrasi pada permasalahan livability atau kelayakan hidup. Ketika ada orang yang mau berjalan kaki di sebuah kota, maka itu menunjukkan kelayakan hidup di kota tersebut terpenuhi.
Jakarta saat ini masih belum bisa dikatakan sebagai kota livability karena orang yang berjalan kaki di kota ini masih terpaksa sehingga pemimpin selanjutnya harus memperhatikan itu, agar Jakarta bisa menjadi kota sehat bertaraf global yang diimpikan.
“Setelah IKN jadi ibu kota, Jakarta tidak akan banyak perubahan dari segi aktivitas,” kata Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil itu,
Sementara itu, Presiden Eastern Regional Organization for Planning and Human Settlements (EAROPH) International Emil Dardak menyatakan bahwa Jakarta setelah tidak menjadi ibu kota harus tetap menyediakan hunian di pusat kota demi menjaga perekonomian agar tetap berputar.
Jika pusat Kota Jakarta sudah tidak ada hunian maka perekonomian juga terganggu karena pada malam harinya akan menjadi kota kosong.
Untuk itu, guna menjaga Jakarta tetap sebagai kota yang menjadi tujuan setelah perpindahan ibu kota ke IKN, Kalimantan Timur, maka harus dijaga, salah satunya dengan menyediakan hunian di tengah kota yang terjangkau.
Dari hasil kajian lembaga tersebut menunjukkan empat poin untuk menjaga Jakarta agar tetap sebagai megapolitan. Pertama, bagaimanapun Jakarta harus merevitalisasi fungsinya, jangan sekadar untuk belanja dan kantor.
Kedua, bagaimana menjaga aksesibilitas di dalam kota Jakarta agar tetap baik. Rasio jalan di Jakarta ini memang jauh di bawah kota-kota besar lainnya di dunia. Untuk menjawabnya bukan berarti hanya membangun jalan, tetapi bagaimana tata kotanya, transportasi publiknya harus ada visi yang lebih besar lagi.
Ketiga, Jakarta juga harus menjaga keterkaitan dengan wilayah sekitar seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan lain sebagainya terutama dalam masalah ekonomi. Keempat yaitu menjaga fungsi Jakarta sebagai kota yang berpenghuni.
"Jadi (perlu) ada rusun yang murah ada di tengah-tengah kota sehingga perekonomian di tengah kota bisa hidup serta semakin efisien," katanya.
Jakarta sebentar lagi memang melepaskan statusnya sebagai ibu kota negara. Dengan terlepasnya status tersebut, tentu ada beberapa keistimewaan yang didapatkan selama ini akan hilang, terutama dari segi pendapatan daerah.
Akan tetapi, permasalahan tersebut bukanlah satu-satunya yang mengadang Jakarta. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Jika semua tantangan itu bisa diatasi oleh pemimpin mendatang maka tujuan Jakarta sebagai kota global dan bisnis dapat terwujud seperti direncanakan.
Editor: Achmad Zaenal M
Mengintip masa depan Jakarta setelah lepas status ibu kota
Oleh Khaerul Izan Rabu, 5 Juni 2024 23:03 WIB