Waikabubak, Sumba Barat (ANTARA) - Sepuluh pelajar kelas 2 Sekolah Dasar (SD) Katolik Waimamongu, Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tampak ceria ketika mendemonstrasikan pembelajaran interaktif di hadapan Wakil Bupati Sumba Barat John Lado Bora Kabba.
Di depan mereka tampak seorang guru menunjukkan buku cerita yang menarik perhatian mereka dan berjudul “Jana tak Mau Tidur”. Buku cerita tersebut berisi gambar-gambar ilustrasi menarik dengan jumlah kalimat yang sedikit.
Saat membaca cerita, 10 anak tersebut sangat antusias. Wajah-wajah mereka tampak serius mendengar dan mencerna cerita yang dibacakan oleh gurunya.
Hanya butuh waktu kurang dari lima menit buku cerita itu selesai dibacakan. Guru tersebut lalu memberikan pertanyaan kepada para pelajar terkait isi cerita, lalu dijawab dengan antusias, bahkan saling rebutan menjawab.
“Jadi tadi yang didemonstrasikan itu merupakan sistem belajar interaktif yang sebelumnya sudah diajarkan kepada kami oleh para fasilitator daerah dari Yayasan Literasi Anak Indonesia (YLAI),” kata Katarina Kahianawa memulai ceritanya.
Metode belajar seperti itu mulai diterapkan di sekolahnya sejak tahun 2021. Metode tersebut dikolaborasikan dengan Kurikulum Merdeka Belajar untuk menyederhanakan kurikulum sebelumnya yang terkesan rumit dan tidak bisa memenuhi capaian kompetensi peserta didik.
Masuknya program pendidikan yang diterapkan itu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan literasi anak di sekolah tersebut positif karena anak-anak di sekolah itu punya perasaan ingin tahu dibandingkan dengan sebelum adanya sistem pembelajaran yang diterapkan oleh yayasan.
Sumber daya manusia (SDM) masyarakat Sumba Barat, khususnya di bagian pedalaman, masih sangat minim. Bagi anak-anak di pedalaman Sumba lebih banyak pasrah kepada alam. Hal ini dibuktikan dengan masih enggannya mereka ke sekolah jika mendung sudah menyelimuti daerah tersebut.
Namun setelah adanya program itu, anak-anak justru lebih senang ke sekolah dan penasaran dengan berbagai cerita dan aktivitas sekolah lainnya, seperti menggambar serta membaca buku cerita terbaru, seperti yang didemonstrasikan.
Novita Magijala, guru yang SD kelas I di SD Loana Padaka, Kabupaten Sumba Barat, yang sudah menjadi guru selama lima tahun mengisahkan pada awalnya dirinya menolak ketika diminta menjadi guru kelas I SD.
Pasalnya, sulit mengatur anak-anak kelas 1 karena masanya masih pada masa bermain. Selain itu juga Novita adalah seorang guru yang temperamennya sangat tinggi.
Dia khawatir jika mengajar anak-anak kelas 1 akan membuat dia stres dan sulit mengendalikan anak-anak yang masih berada pada masa bermain dan belajar.
Apalagi, dia tidak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anak kelas 1 SD tersebut. Selama empat tahun dia berusaha kuat menghadapi sifat anak-anak SD kelas 1 itu.
Saat ditempatkan menjadi guru kelas 1, dia bingung dengan metode apa yang diterapkan kepada anak-anak didiknya. Bersyukur karena sekolah itu bekerja sama dengan yayasan, sehingga metode pembelajaran diajarkan oleh fasilitator daerah dari yayasan kepada para guru.
Dia merasa bangga karena semenjak ada program serta metode pembelajaran seperti itu, kini dia sudah punya jadwal dan metode pembelajaran yang dapat dia ajarkan kepada anak-anak tersebut.
Sebab sudah diberikan materi dan juga alat peraga yang dapat memudahkan dirinya untuk mengajar anak-anak.
Tidak hanya itu, perubahan besar juga terjadi di sekolah, dimana rasa ingin tahu anak-anak sangat tinggi dengan buku-buku bacaan yang menarik yang didapat dari yayasan.
Anak-anak itu justru lebih semangat ke sekolah dan penasaran dengan kegiatan di kelas karena ada aktivitas membaca cerita, ada aktivitas mengenal bunyi dan membaca huruf serta menggambar.
Kalau sebelum-sebelumnya, guru-guru lebih banyak beraktivitas di depan kelas, anak-anak sangat pasif dan guru-guru seperti dia, misalnya, lebih banyak memberikan materi.
Metode pembelajaran seperti itu seharusnya bisa diterapkan di SD-SD di seluruh Sumba Barat karena dampaknya positif bagi anak-anak.
Novita punya pengalaman saat dia mengajar dan memvideokan kegiatan di sekolah lalu diposting di media sosial, mendapatkan respons positif dari teman-teman guru lainnya yang di sekolahnya belum bekerja sama dengan yayasan.
Perjalanan panjang
Kegiatan literasi di NTT sebenarnya sudah tumbuh sejak tahun 2012, dimulai dari beberapa kelurahan dan desa di pusat kota kabupaten, kemudian berkembang terus sampai ke desa-desa pedalaman.
Kegiatan berliterasi juga sudah diterapkan di 22 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, namun anehnya masih banyak anak-anak sekolah belum bisa membaca, menulis, dan menghitung secara baik atau masih tertatih-tatih.
Tidak heran jika pemerhati pendidikan dari Universitas Katolik Weetabula Sumba Barat Rm Dr. Agustinus Tanggu Daga Pr menemukan bahwa masih ada anak kuliah yang hingga saat ini masih dibantu atau dibina untuk menulis dan membaca.
Dia mempertanyakan yang dilakukan guru-guru sejak SD, SMP, hingga SMA, sehingga anak-anak itu bisa lolos sampai bangku kuliah.
Menurut dia mental serta SDM yang rendah mempengaruhi hal ini. Peran orang tua sangat penting untuk mendukung dan membantu serta mendorong anak-anaknya agar mau sekolah dan belajar lebih giat lagi.
Kehadiran yayasan yang dimulai sejak 2018 di Pulau Sumba, merupakan upaya untuk membantu anak-anak di pelosok seluruh di Pulau Sumba agar bisa mengenal huruf, membaca menulis, bahkan bisa berhitung secara baik.
Sempat terhenti pada tahun 2020 akibat COVID-19, pada tahun 2021 program tersebut kembali berjalan di Pulau Sumba, hingga saat ini, dan akan berakhir pada akhir April 2024.
Program yayasan sendiri kini telah menyasar tiga kabupaten di Pulau Sumba, yakni Sumba Barat Daya, dengan sekolah yang sudah dibina 15 unit, Sumba Barat 24 unit sekolah dan Kabupaten Sumba Tengah enam sekolah.
Hasilnya cukup membanggakan karena dari semula nol persen, kini kurang lebih lima persen anak di tiga kabupaten itu sejak kelas 1 hingga kelas 3 sudah bisa mengenal huruf, membaca, serta menceritakan kembali buku cerita yang sudah dibaca.
Targetnya, 40 persen anak-anak di Sumba bisa membaca. Meskjpun baru 5 persen, setidaknya dampak dari metode belajar ini sudah terlihat.
Untuk menghasilkan anak-anak yang bisa mengenal bunyi huruf, bisa membaca dan menulis yayasan menyiapkan fasilitator daerah yang sudah dibina menerapkan metode pembelajaran, yakni program membaca berimbang.
Program-program itu, seperti membaca interaktif, lingkungan kelas literatif, membaca mandiri, fonik dan kesadaran fonemik, membaca bersama, dan membaca terbimbing.
Saat ini yayasan telah melatih kurang lebih 22 fasilitator daerah dan itu tersebar di seluruh Pulau Sumba. Bagi yayasan, jumlah tersebut masih kecil karena idealnya satu fasilitator daerah harus bisa meng-handel dua sekolah agar program membaca berimbang itu bisa berjalan dengan baik.
Para fasilitator daerah itu bertugas untuk melatih guru-guru di sekolah agar menerapkan program membaca berimbang di sekolah.
Namun dalam perjalanan kendala penerapan program itu masih saja ditemui, salah satunya adalah masih banyaknya sekolah yang belum menerapkan program belajar berimbang itu. Karenanya, untuk mempercepat program itu, kuncinya adalah menambah jumlah fasilitator daerah.
Semakin banyak fasilitator daerah masuk ke sekolah pelosok dan semakin banyak buku-buku berkualitas masuk ke sekolah-sekolah pelosok, maka upaya mempercepat budaya literasi akan lebih cepat.
Kendala lainnya adalah adanya mutasi guru yang tentu saja di luar kendali dari pengelola program itu. Walaupun sejak dimulainya program sudah ada kesepakatan bersama bahwa tidak ada pergantian guru, namun kadang kala dinamika terus terjadi dan hal ini berdampak besar terhadap keberlangsungan program tersebut.
Sinergi menguntungkan
Kerja sama antara yayasan dengan sejumlah pemda di Pulau Sumba memberikan dampak positif bagi budaya literasi anak-anak di pulau itu. Karena itu apa yang sudah dijalankan sejak 2018 dan kembali berlanjut pada 2021 hendaknya terus berlanjut kedepannya.
Pemerintah daerah bisa melanjutkan program metode belajar berimbang tersebut jika ingin generasi-generasi emas di Pulau Sumba menjadi generasi yang masa depannya cemerlang.
Saat ini sudah banyak guru yang terlatih, walaupun belum banyak yang bisa meng-handel seluruh sekolah di pulau Sumba, karena itu program yang sudah berjalan ini diharapkan terus dilanjutkan.
Wakil Bupati Sumba Barat John Lado Bora Kabba mengakui bahwa kehadiran yayasan di Sumba Barat terlihat memberikan dampak yang positif bagi perkembangan pendidikan anak-anak di daerah itu.
Pemerintah Sumba Barat sendiri telah mengucurkan anggaran sebesar Rp1 miliar untuk mendukung program literasi di kabupaten tersebut. Hal ini sebagai upaya pemda setempat mendukung program literasi di daerah itu.
Pada dasarnya, berbagai kendala pengembangan literasi anak, seperti sering terjadinya perpindahan guru-guru yang telah mendapat pelatihan ke sekolah lain, tentu menjadi perhatian pemda setempat.
Tak hanya itu pergantian kepemimpinan juga sering menjadi kendala untuk meneruskan program belajar berimbang itu, siapapun yang memimpin, program belajar berimbang itu harus terus berjalan.
Hal ini karena demi pendidikan dan masa depan anak-anak di Sumba Barat, yang diharapkan menjadi generasi emas daerah tersebut.
Apa yang dilakukan oleh yayasan merupakan bukti sinergitas dengan pemda di seluruh pulau Sumba untuk praktik baik peningkatan pendidikan anak di daerah itu.
Anak-anak di daerah itu merupakan tulang punggung bangsa serta masa depan pembangunan di Pulau Sumba. Karena itu, dinas pendidikan dan dinas perpustakaan mempunyai peran penting dalam pengembangan sistem pendidikan di daerah Sumba, khususnya di Sumba Barat.
Karena itu, semua perangkat di daerah itu bisa berkolaborasi aktif dalam upaya peningkatan kemajuan bagi pendidikan di daerah, khususnya bagi peningkatan budaya literasi.
Pemerintah daerah juga akan menyiapkan sejumlah fasilitas pendukung, mulai dari guru serta fasilitas pendukung lainnya untuk mendukung peningkatan budaya literasi anak-anak di daerah.
Perjalanan panjang YLAI lahirkan literasi gemilang untuk Pulau Sumba
Oleh Kornelis Kaha Rabu, 24 April 2024 17:06 WIB