Periset Biologi Molekuler Eijkman BRIN Josephine Siregar mengatakan kemunculan parasit malaria yang kebal obat membuat para ilmuwan harus menemukan obat-obatan baru untuk mengatasi masalah tersebut.
"Indonesia sangat kaya sumber biodiversitas. Untuk itulah kita bisa bersama-sama membuat penelitian dan penemuan obat baru," ujarnya dalam sebuah seminar bertajuk 'Biologi Struktural dan Model Penyakit' yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Josephine menuturkan BRIN kini memiliki koleksi parasit plasmodium atovaquone dan plasmodium pyrimethamine.
Baca juga: BRIN berencana inisiasi pengembangan vaksin DBD buatan Indonesia
Beberapa penelitian parasit malaria yang resisten terhadap sulfadoxine, artemisinin, piperaquine, dan obat-obat malaria lainnya juga dilakukan oleh lembaga riset pelat merah tersebut.
"Kita bisa bekerja bersama-sama. Saya mengundang peneliti-peneliti dari universitas ataupun institusi lainnya untuk melakukan screening Indonesian biodiversity for antimalaria candidate," kata Josephine.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa riset obat yang bersumber dari biodiversitas itu kelak bisa menargetkan semua siklus parasit malaria.
Baca juga: BRIN sebut tulang sapi dapat digunakan untuk proses penyembuhan patah tulang pada manusia
Kompleksitas siklus hidup parasit malaria membuat Indonesia membutuhkan beberapa obat yang bisa mengobati pasien, seperti vivax dan ovale yang dormant malaria.
BRIN masih tetap mencoba untuk menggali penemuan obat untuk mengobati penyakit malaria, meski mereka juga memiliki obat-obatan khusus berupa vivax dan ovale tersebut.
"Kami butuh model untuk menelusuri seluruh siklus hidup parasit malaria. Kalau pakai parasit yang ada pada manusia harus butuh relawan manusia untuk kami gigitan ke nyamuk dan sebagainya, itu juga tidak mudah," kata Josephine.
"Pengembangan model menggunakan mencit itu sangat baik sekali untuk pengembangan obat malaria baru. Semoga ke depan kita bisa mendapatkan suatu kandidat khususnya dari Indonesia," pungkasnya.