Jakarta (ANTARA) - Pepatah "Banyak jalan menuju Roma" dapat diartikan sebagai banyak cara untuk mencapai tujuan. Pepatah ini pun dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya membuka jalan perdagangan lain di tengah isu resesi di Eropa.
Kantor statistik Uni Eropa, Eurostat menyebut bahwa zona Euro resmi memasuki resesi teknis pada kuartal I-2023 setelah ekonomi terkontraksi 0,1 persen dalam dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini disebabkan oleh melonjaknya harga pangan dan energi yang dipicu oleh perang Rusia dan Ukraina. Lantas apakah data tersebut dapat mempengaruhi kinerja dagang?
Resesi ekonomi di Eropa tentu saja akan berpengaruh terhadap semua mitra dagang, termasuk Indonesia. Menurut catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), total ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada 2022 adalah 21,5 miliar dolar AS (19 persen) dan impor 11,6 miliar. Indonesia pun mengalami surplus perdagangan sebesar 9,8 miliar dolar AS.
Melemahnya perekonomian yang sedang terjadi di Eropa kemungkinan berdampak pada Indonesia. Yang pertama tentu saja dari sisi perdagangan.
Ekspor utama Indonesia ke Uni Eropa adalah minyak nabati (3,1 miliar dolar AS), alas kaki (2 miliar dolar AS), produk kimia (1,9 miliar dolar AS), mesin/peralatan listrik (1,2 miliar dolar AS) dan biji/kerak/abu logam (1 miliar dolar AS).
Sementara itu impor utama Indonesia dari Uni Eropa adalah mesin/pesawat mekanik (2,8 miliar dolar AS), mesin/peralatan listrik (1 miliar dolar AS), perangkat optik (688 juta dolar AS), kendaraan dan suku cadang (623 juta dolar AS), dan produk farmasi (591 juta dolar AS).
Baca juga: Indonesia siap selesaikan perjanjian kemitraan Indonesia-Uni Eropa pada 2024
Uni Eropa sendiri merupakan salah satu pasar utama ekspor Indonesia, apabila tekanan ekonomi di Eropa terus berlanjut dan mencatatkan pertumbuhan negatif, konsumsi Eropa secara alamiah akan terus menurun dan akibatnya akan terasa pada kinerja ekspor.
Dampak lainnya adalah dari sisi investasi. Tren investasi diprediksi dapat sedikit melambat. Negara-negara Uni Eropa akan lebih dulu melihat ke dalam negaranya sebelum melakukan investasi.
Dari sisi suku bunga, bank sentral Eropa bersikeras untuk menaikkan suku bunga untuk mencegah resesi. Meningkatnya suku bunga di Indonesia akan menjadi penghambat untuk ekspansi banyak pelaku usaha.
Namun demikian, Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Dzulfian Syafrian mengatakan, secara umum Indonesia akan tahan terhadap resesi yang terjadi di Eropa karena, perekonomian Tanah Air tidak terlalu terintegrasi dengan Uni Eropa sehingga apa yang terjadi di sana sulit merembet ke Indonesia secara langsung.
"Resesi ini bisa terdampak di Indonesia secara tidak langsung jika negara-negara besar lainnya, seperti China dan AS juga terdampak parah dari resesi ini. Hanya saja, resesi yang terjadi di Uni Eropa ini lebih bersifat regional, mereka saja, karena efek peran Rusia-Ukraina yang berkepanjangan," kata Dzulfian kepada ANTARA.
Perang Rusia-Ukraina dinilai telah membuat suplai berbagai barang menjadi terbatas, harga-harga menjadi naik khususnya energi dan komoditas, mengerek inflasi, dan suku bunga, yang berujung pada perekonomian melambat. Inflasi dan resesi bisa terus menggila jika selama musim dingin hal-hal struktural tersebut belum diatasi.
Baca juga: Indonesia-Kanada bahas 19 isu perdagangan
Langkah antisipasi
Seperti kata pepatah, "Sedia payung sebelum hujan". Sebelum benar-benar mempengaruhi perekonomian, pemerintah Indonesia perlu menyiapkan berbagai antisipasi untuk menghalau dampak yang bersifat masif terhadap kinerja perdagangan.
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, sampai saat ini belum ada dampak signifikan terhadap perdagangan Indonesia.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa terdapat kontraksi/penurunan untuk sejumlah produk (Januari-April 2023), seperti produk turunan minyak nabati (khususnya produk fatty acid), besi baja, sepatu olah raga, karet, timah.
Hal itu lebih disebabkan oleh hambatan akses pasar seperti penerapan pengamanan perdagangan oleh Uni Eropa, bukan semata-mata oleh penurunan ekonomi di Eropa.
Sebagai langkah antisipasi menurunnya kinerja ekspor ke wilayah Eropa, pemerintah mendorong para pelaku usaha agar dapat mendiversifikasi pasar tujuan ekspor yang lebih menjanjikan.
Masih banyak pasar lain yang lebih menjanjikan, saat ini Indonesia sudah memiliki sembilan perjanjian bilateral yang concluded/implemented yaitu Jepang, Pakistan, Palestina, Cile, Australia, negara EFTA, Mozambik, Korea dan Uni Emirat Arab," ujar Djatmiko.
Para pelaku usaha Tanah Air juga bisa memanfaatkan pasar bebas ASEAN maupun Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan baik untuk membuka akses yang lebih luas.
Pemerintah Indonesia sendiri terus mempercepat upaya pembukaan pasar ke Eropa melalui perundingan Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA). Diharapkan perundingan ini dapat membuka akses pasar semakin luas, karena akan mengurangi biaya-biaya ekspor baik dari segi tarif maupun non-tarif, agar produk Indonesia memiliki daya saing spesifik yang tidak dimiliki negara lain yang tidak memiliki perjanjian dengan Uni Eropa.
Seperti yang kerap digaungkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, pemerintah terus membuka jalur perdagangan baru seperti kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika sebagai upaya agar Indonesia tidak hanya bergantung pada pasar Eropa saja.
Baca juga: Indonesia dan Swiss perpanjang kerja sama perdagangan dan investasi
Pengamat ekonomi lulusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Bhima Yudhistira berpendapat, Indonesia bisa memanfaatkan para duta besar Indonesia di berbagai negara dan atase perdagangan untuk lebih meningkatkan diplomasi dagang.
Banyak negara-negara di luar Eropa yang memiliki potensi besar untuk digali kerja sama dagangnya seperti India dan Pakistan. Para atase perdagangan diharapkan bisa membaca peta dan peluang perdagangan baru.
Jika Jerman sedang sakit, ekspor bisa dilakukan ke negara lain seperti India dan Pakistan yang masih tumbuh. Semakin cepat Indonesia melakukan transisi, bisa menjaga kinerja ekspor sampai pasar Eropa pulih lagi.
Membaca peluang
Selalu ada peluang yang bisa digali dari resesi Eropa. Kenaikan harga pangan dan sejumlah kebutuhan primer sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha atau eksportir.
Kebutuhan akan produk primer tidak akan berhenti meski harganya terus membumbung tinggi. Hal ini telah dibuktikan pada saat pandemi COVID-19. Konsumen akhirnya beralih pada produk primer yang lebih murah.
Ini sebetulnya bisa menjadi peluang. Para pemasok dari semua negara akan dipaksa oleh situasi untuk menyesuaikan dengan gejolak turunnya permintaan dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Pemasok yang pertama dapat beradaptasi dengan menurunnya daya beli, berpotensi untuk mempertahankan kelangsungan perdagangan dengan buyer Eropa, dan saat keadaan membaik sudah tercipta fondasi bisnis yang kuat.
Dalam kaitan ini, pemasok juga harus dapat memastikan volume stok supply yang stabil sembari menyesuaikan margin keuntungan yang tidak terlalu menekan buyer/importir, karena mereka juga harus menyesuaikan cash-flow dengan tekanan pasar ritel.
Selain mempersiapkan skenario resilien yang adaptif, misalnya penyesuaian spek produk dan margin of profit dengan existing buyer, pelaku bisnis juga perlu mempersiapkan exit strategy baik penyesuaian terms and condition transaksi/pembayaran, kontrak jual beli, maupun mencari pasar alternatif.
Namun yang perlu diingat, peluang ini tidak hanya dimiliki oleh Indonesia. Persaingan akan semakin ketat terlebih dengan Vietnam dan Thailand. Indonesia pun harus selalu bersiap dan melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi dengan berhati-hati sekalipun saat ini menunjukkan tren yang baik.
Langkah antisipasi perdagangan Indonesia di tengah isu resesi Eropa
Selasa, 4 Juli 2023 13:47 WIB