Dari hasil survei tersebut diperoleh hasil bahwa kapasitas literasi digital masyarakat Indonesia dinilai sedang yaitu sebesar 3.54 dari 5.00.
Literasi digital ini terbagi menjadi tiga segmen, yaitu pendidikan, pemerintahan (TNI dan Polri) dan masyarakat umum.
Hasil pemetaan literasi digital Indonesia merupakan penilaian terhadap kekuatan dan kelemahan tingkat kecakapan dan pengetahuan digital, sekaligus memberikan gambaran kondisi dan peluang di setiap wilayah Tanah Air.
Untuk meningkatkan literasi digital masyarakat, Kemenkominfo berkolaborasi dengan sejumlah lembaga pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia.
Sasarannya adalah untuk melakukan literasi kepada masyarakat di sektor pendidikan mengenai materi yang didasarkan pada empat pilar utama diterasi digital, yaitu kecakapan digital, etika digital, budaya digital, dan keamanan digital.
Menurut Bambang Tri Santoso dari Tim Literasi Digital Sektor Pendidikan Kementerian Kominfo, literasi digital yang dijalankan oleh Pandu Digital menargetkan lima sektor yaitu pendidikan, desa, petani/nelayan, UMKM dan pariwisata.
Pandu Digital adalah masyarakat umum yang memiliki pemahaman, kemampuan dan kompetensi mendasar terkait literasi digital serta mampu menjalankan tugas dan perannya sebagai perintis, pemandu, pemimpin, pendukung ataupun pelaku aktif atas tercapainya visi dan misi Pandu Digital.
Manfaat menjadi Pandu Digital antara lain dapat mengasah keahlian tertentu sesuai bakat dan minat, dengan mengikuti seminar nasional dan workshop, pelatihan yang di selenggarakan Kominfo secara Gratis. Menjadi individu yang tangguh dan berguna bagi kemajuan nusa bangsa dengan berbagi ilmunya kepada masyarakat.
Kemenkominfo juga menyiapkan modul sebagai acuan dalam peningkatan kapasitas digital bagi lima sektor target tersebut, Kemenkominfo memiliki target jumlah masyarakat terliterasi digital, untuk tahun ini di sektor pendidikan sedikitnya kami berharap ada 250.000 insan pendidikan yang terliterasi digital melalui perguruan tinggi dan Sekolah Menengah Kejuruan di seluruh Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia bekerja sama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Sumatera Selatan menyelenggarakan kegiatan Training of Trainer (ToT) Pembentukan Pandu Digital Sektor Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan pada Jumat (19/5).
Dengan adanya kegiatan ini diharapkan bisa meningkatkan keterampilan tenaga pendidik, agar kemampuan guru dalam mengoperasikan teknologi digital juga tidak tertinggal oleh peserta didik atau muridnya, kata Rektor UPGRIP Bukman Lian
Kegiatan dilaksanakan secara hybrid di Gedung Business & Science Center Universitas PGRI Palembang dan diikuti oleh kurang lebih dari 140 peserta luring dan daring yang terdiri atas guru dan tenaga pendidik di Provinsi Sumatera Selatan.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam literasi digital dengan menjadi pendamping pemanfaatan TIK. Kegiatan ini juga diharapkan dapat membuka kesempatan peningkatan kapasitas bagi guru dan tenaga pendidik dalam bentuk pelatihan dari praktisi TIK.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi pemaparan dari para narasumber yaitu Praktisi IT dan Founder Edukasi4id, Michael S. Sunggiardi dan Ketua Umum Relawan TIK (RTIK) Indonesia dan Pandu Digital Utama, Fajar Eri Dianto.
Michael S. Sunggiardi menjelaskan empat langkah dalam menuju SDM yang unggul bagi Indonesia, pertama adalah dengan mengubah cara memahami teknologi, yang kedua yaitu mengubah cara penerapannya, selanjutnya berkegiatan dengan berpikir menggunakan cara lateral thinking, dan yang terakhir adalah dengan meningkatkan kewirausahaan.
Fajar Eri Dianto menyampaikan empat pilar literasi digital harus dikuasai oleh siswa-siswi di Provinsi Sumatera Selatan guna menjadi talenta digital yang cakap untuk masa depan, Fajar juga memberikan contoh hal-hal yang bisa dihindari dengan penerapan empat pilar literasi digital.
Diambil dari salah satu artikel bertajuk Literasi Digital Masyarakat Indonesia Membaik pada kanal resmi Kominfo disebutkan bahwa teknologi informasi telah memberi banyak kemajuan bagi kehidupan manusia. Terlebih semakin meningkatnya pemanfaatan komputer dan internet dalam membantu memudahkan berbagai pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Lewat komputer dan perangkat lain yang menjadi produk pengembangannya termasuk gawai (gadget), segala jenis informasi bisa diakses dan disebarluaskan dengan mudah melalui jaringan internet.
Dalam perkembangannya, tidak semua informasi yang tersebar luas di internet positif. Tak sedikit pula berisi informasi negatif, contohnya penyebaran berita bohong, radikalisme, ujaran kebencian, dan penipuan. Diperlukan kebijakan dan kemampuan dari setiap pengguna gawai dalam mengendalikan informasi yang mereka dapat di jaringan internet.
Pemerhati teknologi informasi asal Amerika Serikat, Paul Gilster, memunculkan istilah baru yakni literasi digital. Ini kemudian menjadi sebuah istilah baku dalam bukunya Digital Literacy yang terbit pada 1997.
Di dalam perkembangannya, UNESCO memperkuat istilah literasi digital. Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut, literasi digital berhubungan dengan kecakapan (life skill) karena tidak hanya melibatkan teknologi, melainkan meliputi kemampuan untuk belajar, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif untuk menghasilkan kompetensi digital.