Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meminta pemerintah untuk mendeklarasikan kelor atau Moringa Oleifera sebagai salah satu bahan pangan nasional khas Indonesia.
“Harapan saya bisa dideklarasikan menjadi pangan nasional dulu ya. Jadi kalau Bapak Menteri Kesehatan (Menkes Budi Gunadi Sadikin) mungkin ingin lebih untuk ekspor. Kalau saya, ingin men-declair pangan lokal sebagai pangan nasional,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat dihubungi ANTARA melalui telepon di Jakarta, Kamis.
Hasto menuturkan daun kelor merupakan salah satu jenis pangan yang bersifat masih sangat lokal. Kelor bisa ditanam dimana saja dan bisa didapat dengan harga yang terjangkau. Sayangnya banyak masyarakat masih belum mengenal dengan kelor.
Baca juga: Lima mahasiswa FPIK UB buat "body lotion" berbahan daun kelor cegah COVID-19
Padahal tumbuhan kelor yang terdiri dari daun, biji, dan akar, tersebut memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik bagi tumbuh kembang otak dan syaraf bayi, balita, dan juga ibu hamil.
Sejumlah kandungan nutrisi yang terkandung dalam kelor adalah vitamin A, kalsium, dan vitamin C, yang tidak kalah dari wortel ataupun tomat. Hasto juga mengatakan kelor pun mengandung asam amino esensial yang menyerupai asam amino dalam protein hewani.
“Kalau khusus ibu hamil dan sebagainya (bayi dan balita), itu memang membutuhkan zat khusus yang tidak ada di gingseng, kopi, atau teh. Jadi memang harus mengandung protein,” katanya.
Oleh karenanya jika ingin membawa kelor ke ranah yang lebih luas lagi, Hasto menyarankan agar penelitian dilakukan secara lebih teliti dan mengikuti arahan dan protokol para ahli gizi. Sebab, kelor merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai keunikannya sendiri.
Baca juga: Jambu biji, kulit jeruk dan daun kelor diduga kuat mampu atasi COVID-19
“Ini perlu dipelajari dengan lebih detail karena untuk mengolah kelor yang sudah ada dan juga sudah diteliti para ahli itu hanya diambil daunnya, jadi tidak boleh terikut gagangnya. Karena itu bisa mengurangi atau menetralisir khasiatnya semacam ada antidotum,” katanya.
Penelitian juga harus mengukur takaran yang sesuai dengan usia masyarakat untuk dikonsumsi. Sebab, ibu hamil mempunyai takaran asupan gizinya sendiri. Termasuk apakah khasiat kelor bisa menggantikan protein hewani.
Hasto menyatakan BKKBN beserta jajaran juga sedang melakukan hal yang sama, yakni mengkampanyekan manfaat pangan lokal untuk memerangi stunting. Dimana tidak hanya kelor, BKKBN juga menggalakkan pentingnya asupan protein hewani dari telur, ikan dan beras terfortivikasi.
Baca juga: Berkat bubur MORA, mahasiswa IPB ini juara pertama
Sekarang ini sebetulnya kalau kita lihat produksi kelor di Palu, NTT, Jawa Tengah di Blora, itu hampir semua sudah ekspor dan saya lihat produknya. Variabilitasnya sudah bagus lho, ada yang dibikin teh untuk diseduh, ada yang bentuk serbuk tabur yang kemudian dipakai untuk makanan. Saya kira sudah siap begitu, ujarnya.
Sebelumnya Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menginginkan khasiat dari tumbuhan kelor di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat internasional.
Menkes Budi Gunadi mengatakan kelor bisa menjadi makanan tradisional dan tanaman herbal Indonesia sebagaimana ginseng dari Korea. Sehingga perlu penelitian yang serius untuk bisa membawa kelor masuk dunia internasional.
"Kami akan menjadikan kelor sebagai salah satu makanan tradisional dan herbal Indonesia. Kami akan riset secara formal, mendukung risetnya supaya bisa diterima di kalangan internasional, katanya.