Jakarta (ANTARA) - Indonesia sebagai negara yang berada di cincin api pasifik, tentunya perlu waspada terhadap banyak bentuk bencana alam. Kita mengenal 3 jenis bencana berdasarkan pengebabnya, yaitu bencana yang disebabkan oleh alam, non alam (epidemi, gagal teknologi dll), dan oleh manusia. Namun demikian pada kenyataannya bencana yang disebabkan oleh manusia.
Tragedi yang terjadi di Kanjaruhun menyita perhatian dunia dan merupakan catatan koreksi bagi berbagai pihak, utamanya para penyelenggara kegiatan. Sampai dengan saat ini peristiwa Kanjuruhan masih terus berproses dan masyakat masih menunggu keputusan akhirnya.
Pembahasan di media maupun media sosial berkisar pada kronologi, sebab dan konsekuensi, namun demikian diantara semua pembahasan itu, perlu pula disadari bahwa kejadian tersebut juga bisa dikatakan sebagai sebuah bencana sosial.
Akhir-akhir ini pada berbagai pembahasan ilmiah terkait bencana, kita mulai mengenal istilah bencana antropogenik atau bencana yang disebabkan oleh perilaku atau kelalaian manusia.
Pada saat manusia mulai mengabaikan peraturan, lalai menjaga keselamatan pribadi maupun orang banyak, lamban dalam mengantisipasi dan yang lebih fatal adalah beorientasi hanya pada keuntungan materi, kekuasaan maupun kelompoknya maka rentan terjadi bencana sosial karena pasti akan minim perencanaan tindakan pencegahan.
Bencana menjadi ancaman yang dapat merenggut hak-hak asasi manusia dan saat ini kita mengenal 3 jenis bencana yang dapat disebabkan oleh alam, non alam (epidemi, gagal teknologi dll), dan oleh manusia.
Bencana antropogenik bisa memiliki dampak sangat luas, selain dampak finansial, kesehatan fisik dan psikologi serta sosial bisa juga berdampak pada rusaknya kredibilitas para penyelenggara kegiatan dan lebih jauh juga bisa berdampak pada kredibilitas instansi pemerintah yang membawahinya.”
Menyadari banyaknya bencana antropogenik yang terjadi dan kurangnya informasi kebencanaan, adalah salah satu dasar dilakukannya Konferensi Nasional dengan tema Hukum dan Manajemen Bencana Sesuai Nilai-Nilai Pancasila Di Era Society 5.0".
Mengutip Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.H., pada saat itu “Konferensi nasional diselenggarakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana manajemen penanggulanan bencana alam, non alam dan sosial secara holistik, yakni dilihat dari sisi antara lain ekologi, hukum, kesehatan, sosial budaya, psikologis serta kekerasan.
Tentu saja penanggulangannya tidak terlepas dari perkembangan yang cepat dan instan di era Society 5.0. Dan terlebih lagi bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila dapat membantu kita dalam menanggulangi bencana sosial yang bersifat antropogenik.”
Mengutip pernyataan Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Fakultas Hukum Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.H., pada laporannya saat itu “berbagai topik diangkat dalam koferensi dengan harapan masyarakat semakin menyadari banyak ragam bentuk bencana, dan strategi antisipasi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Topik yang diangkat antara lain Anotasi terhadap Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berdasarkan Perspektif Nilai-nilai Pancasila, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan,Anak Dan Penyandang Disabilitas,Dan Kelompok Rentan Lainnya sesuai Nilai Nilai Nilai Pancasila Di Era Society 5.0, Perempuan Dan Manajemen Resiko Bencana, Politik Hukum Internasional Tentang Manajemen Bencana Di Era Society 5.0.
Hukum Dan Manajemen Bencana Di Bali: Perlindungan Hukum Bagi Perempuan, Anak, Penyandang Disabilitas Dan Percepatan Penurunan Stunting Sesuai Dengan Nilai Pancasila Di Era Society 5.0., Dampak Bencana Terhadap Implementasi Undang-Undang Perkawinan Di Pasigala ( Palu, Sigi, Donggala).
Dr. Darmansjah Djumala, MA., Ketua Pusat Studi Pancasila menyampaikan bangsa ini telah meletakkan Pancasila sebagai Weltanschauung (pandangan dunia/Worldview) atau philosofische grondslag (dasar filsafat negara).
Oleh karena itu sudah sepantasnya bila nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam perilaku termasuk dalam perencanaan penyelenggaraan kegiatan. Apabila kita mengedepankan nilai kemanusiaan dan persatuan, tentunya kita bisa mengesampingkan perbedaan suku bangsa, ras dan agama dalam membantu siapapun yang terkena bencana, serta mengedepankan musyawarah untuk mengatasi konflik dengan lebih humanis.
Bila kita mampu mengutamakan nilai kerakyatan maka sejatinya semua penyelenggaraan kegiatan yang ditujukan untuk masyarakat juga memikirkan kesejahteraan dari masyarakat yang datang. Semoga berbagai bencana yang terjadi dapat menjadi pembelajaran untuk kita semua bahwa, pengabaian nilai-nilai Pancasila potensial beresiko melahirkan bencana sosial yang bersifat antropogenik.
Penulis adalah Rektor Universitas Pancasila Jakarta
Manifestasi Pancasila dalam penanggulangan bencana antropogenik
Oleh Prof. Dr. Edie Toet Hendratno, S.H., M.Si., FCBArb *). Rabu, 2 November 2022 18:43 WIB