Kediri (Antara Megapolitan) - Aparat kepolisian di Kota Kediri, Jawa Timur, menangkap sindikat yang mengaku anggota Badan Intelejen Negara (BIN), ternyata gadungan.
Kepala Polsek Pesantren Kompol Sutjipto, Senin, mengatakan, awal pengungkapan kasus itu dari laporan warga yang merasa menjadi korban pemerasan. Warga tersebut melapor sebab pelaku mengaku sebagai anggota BIN.
"Ada laporan orang yang mengaku anggota BIN dan kami cek lalu amankan orang tersebut," katanya.
Dari informasi yang diterima, korban mengaku sangat terganggu dengan sikap para pelaku. Korban yang awalnya berjualan minuman keras dipaksa memberikan sejumlah uang. Bahkan setelah korban tidak lagi menjual minuman keras, mereka juga kembali datang dengan maksud yang sama.
"Korban memberikan sejumlah uang, tapi beberapa hari kemudian, saat korban sudah tidak berjualan miras, para pelaku kembali mendatangi korban dengan maksud yang sama. Terganggu, akhirnya korban menghubungi polisi," jelasnya.
Polisi mengamankan lima orang yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan tersebut. Kelima pelaku ini berinisial TRI, AD, ED, RS, keempatnya warga Surabaya dan MR warga Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Dalam melakukan aksinya, para pelaku juga menggunakan identitas sebagai aparat penegak hukum sehingga korbannya takut.
Selain mengaku sebagai anggota BIN, ada juga yang mengaku sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Anggota Polda Jatim. Dalam aksinya, untuk meyakinkan korbannya mereka juga membawa berbagai atribut dari aparat penegak hukum sehingga korbannya percaya.
Polisi yang mendapatkan laporan tersebut langsung datang ke lokasi dan melakukan penangkapan. Polisi juga membawa sejumlah benda yang digunakan pelaku untuk berbuat kejahatan.
Beberapa benda itu seperti kartu pers, kartu identitas sebagai anggota KPK, lencana BIN serta dua pucuk senjata api beserta amunisinya.
"Kami datang ke TKP dan amankan yang bersangkutan. Kami tegaskan, adanya oknum BIN itu tidak betul, tapi hanya jaringannya dan istilahnya di dunia kepolisian SP (spion atau mata-mata)," paparnya.
Polisi masih menahan para pelaku. Mereka dijerat Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemerasan dan juga Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman paling lama sembilan tahun penjara.