Bogor, (Antara Megapolitan) - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Yanto Santosa, DEA mengatakan, pemanfaatan satwa liar Indonesia secara optimal dan berkelanjutan dapat mendorong sektor perekonomian nasional.
"Satwa liar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong perekonomian bisa lewat pengembangan ekowisata, wahana perburuan, atau pertukaran satwa antar kebun binatang di dunia, ini bisnis yang menjanjikan," kata Prof Yanto di Bogor, Minggu.
Prof Yanto mengatakan, tidak hanya mendorong sektor perekonomian satwa liar juga dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan protein hewani, sebagai bahan baku obat dan simbol suatu bangsa. Misalnya garuda yang menjadi simbol negara Indonesia.
"Perlu strategi untuk memanfaatkan satwa liar secara optimal dan berkelanjutan untuk mendorong perekonomian nasional," katanya.
Strategi pemanfaatan satwa liar secara optimal dan berkelanjutan berupa identifikasi atau analisis manfaat optimal, revisi kriteria pendapatan dan reevaluasi status populasi dan penetapan kebijakan pemanenan satwa liar di habitat alami serta penentuan metode penghitungan kuota pemanenan leastari.
Selain itu zoonosis perlu segera direncanakan secara cermat dan koprehensif serta dilaksanakan secara sistematik, efektif dan efisien dengan senantiasa melibatkan masyarakat setempat dan semua pemangku kepentingan.
Menurut Yanto, meski memiliki banyak potensi, namun pemanfaatan satwa liar Indonesia belum berkontribusi tinggi terhadap perekonomian nasional. Padahal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengamanatkan sumber daya hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan.
Karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat baik masa kini maupun masa depan.
"Ada dua permasalahan mendasar sehingga pemenuhan amanat UU Nomor 5 Tahun 1990 ibarat jauh panggang dari api," katanya.
Permasalahan mendasar itu, yakni pertama, larangan kegiatan pemanenan satwa liar di kawasan konservasi dan kedua adalah penetapan status jenis satwa dilindungi oleh undang-undang, status kelangkaan/kepunahan oleh CITES atau Red-Book IUCN.
Yanto menilai, kajian mendalam terhadap kriteria yang digunakan dalam penetapan status populasi oleh UU-RI, IUCN maupun CITES menunjukkan "kurang jelas dan belum terukur".
"Lebih aneh lagi status populasi yang ditetapkan berlaku bagi satu jenis satwa di seluruh nusantara," katanya.
Revisi
Menurut Yanto, Undang-Undang Perlindungan Satwa perlu direvisi. Perlindungan satwa tidak berdasarkan spesies tetapi populasi. Misalnya, rusa di Bogor dan Papua bisa dipanen sesuai dengan rumus matematika yang telah ditemukannya.
Berbagai penelitian, lanjut Yanto, telah dilakukan terhadap beberapa populasi satwa liar Indonesia seperti monyet ekor panjang, rusa timor, orang utan, komodo, wallaby, owa, lutung dan banteng.
Hasilnya menunjukkan parameter demografi populasi satwa liar bersifat site-spesifie, untuk jenis satwa yang sama belum tentu memiliki parameter demografi yang identik bilamana kondisi habitatnya berlainan.
Sehubungan dengan adanya variasi parameter demografi inter-populasi tersebut maka proses penilaian dan penetapan status populasi seharusnya juga bersifat specific-site atau hanya berlaku untuk satu populasi saja.
"Dengan demikian, lanjut dia, maka penentapan status populasi untuk suatu jenis satwa yang berlaku untuk seluruh wilayah NKRI sebagaimana ditetapkan oleh UU-RI, CITES dan IUCN perlu segera direvisi," katanya.
Yanto juga mengkritisi, larangan pemanenan satwa liar di kawasan konservasi yang lebih mendasarkan pada teori daya dukung perkembangan ukuran populasi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme alam.
Padahal sesungguhnya kegiatan pemanenan sangat diperlukan dalam pengelolaan sex-ratio, pada saat terjadi laju pertumbuhan populasi tertinggi (r maks) dan atau ketika populasi mengalami ledakan dianggap sebagai hama sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat laju pertumbuhan atau keseimbangan rantai makanan.
"Pemanenan sebagai instrumen penting dalam manajemen populasi, untuk pemenuhan kebutuah protein hewani bagi masyarakat lokal sekitar, sumber pendapatan tunai, wahana rekreasi berburu dan mengurangi konflik manusia dan satwa," katanya.
Pemikiran Prof Yanto terkait strategi pemanfaatan satwa liar secara optimal dan berkelanjutan telah disampaikannya dalam orasi ilmiah guru besar IPB pada Rabu lalu. Ia menyarankan agar pemerintah membenahi data populasi satwa liar yang dimiliki tanpa harus bergantung pada lembaga asing.
"Yang harus dilakukan pemerintah, revisi kriteri status perlindungan satwa, meninjau kembali acuan yang digunakan oleh IUCN atau CITES, segera secara periodik lakukan evaluasi status satwa, dan mengidentifikasi nilai optimal satwa, lakukan perhitungan MPV, dan penentuan kuota pemanenan lestari," katanya.
Pakar: Pemanfaatan Satwa Liar Dorong Perekonomian Nasional
Senin, 28 September 2015 9:55 WIB
Satwa liar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong perekonomian...