Masa 24 jam belumlah cukup untuk aklimitisasi atau penyesuaian diri sejak pertama kali menginjakkan kaki di dataran tinggi Tibet pada Selasa (16/5) lalu, saat rombongan delegasi dari Beijing mendarat di Bandar Udara Mainling . 

Perasaan linglung dan sesak napas menghinggapi orang-orang sejak hari pertama. Bahkan, apa yang diceritakan oleh staf Pemerintah Daerah Otonomi Tibet tentang potensi yang tersimpan di Prefektur Nyingchi kepada para diplomat, jurnalis, dan akademisi dari Beijing lewat begitu saja karena diliputi situasi adaptasi itu.

Di dalam setiap mobil van yang membawa para delegasi itu sudah disiapkan satu unit tabung oksigen medis. Satu karton berisi sekitar selusin personal oxygen spray sudah ludes beberapa saat setelah mobil meninggalkan area terminal VIP Bandara Mainling yang berada di tengah-tengah lembah Nyingchi.

Oksigen semprotan yang bentuknya mirip kaleng semprotan pengharum ruangan itu lebih simpel untuk dibawa ke mana-mana karena tidak perlu diisi air dan selang, seperti tabung oksigen medis.

Sekumpulan gejala penyakit di atas ketinggian ekstrem tadi untuk sejenak waktu terabaikan karena keelokan pemandangan alam yang menyejukkan mata.

Brahmaputra atau Yarlung Zangbo punya sebutan lain, yakni Grand Canyon dan Sungai Everest. Dari gugusan Everest atau pegunungan Himalaya, khususnya di bagian timur itulah Sungai Yarlung Zangbo berhulu.

Aliran sungai yang tenang ditingkahi siulan burung menciptakan harmoni indah di telinga. Hijau dedaunan berpadu-padan dengan putih salju permukaan puncak Himalaya.

Air hangat dari pancuran sungai sangat tepat untuk mengembalikan kebugaran, apalagi sambil menatap keindahan panorama Grand Canyon.
 
Sejumlah wisatawan memadati objek wisata Taman Nasional Lulang Linhai di dataran tinggi pegunungan Himalaya di Kabupaten Nyingchi, Daerah Otonomi Tibet, China, Rabu (17/5/2023). ANTARA/M. Irfan Ilmie


Sepuluh unit mobil yang membawa delegasi asing meliuk mengikuti jalan yang berkelok dan memanjat punggung perbukitan bersalju di lereng Himalaya.

Tibet yang dikenal dengan sebutan "Negeri Atap Dunia" menyimpan pesona yang sangat menakjubkan, sehingga menarik antusiasme orang-orang yang ingin merasakan pengalaman sensasional di atas dataran berketinggian ekstrem, meskipun harus menguras energi fisik dan isi kantong dalam-dalam.

Konvoi kendaraan para delegasi benar-benar berhenti di sebuah puncak Lulang Linhai, taman hutan nasional yang berada di ketinggian di atas 4.000 meter dari permukaan laut, pada Rabu, 17 Mei 2023, atau hari kedua kunjungan ke Daerah Otonomi Tibet.

Kadar udara yang makin tipis disertai dengan gemuruh angin kencang, membuat para delegasi tidak boleh berlama-lama di ruang terbuka seperti itu.

Rombongan bergeser ke satu lokasi yang berjarak beberapa kilometer saja dari Lulang Linhai. Di situ terdapat satu gardu pandang yang tepat mengarah ke Namcha Barwa.

Dari gardu tersebut bagian puncak sisi timur Himalaya yang seluruh permukaannya berselimutkan salju itu sangat jelas karena selain jaraknya tidak terlalu jauh, cuaca pada Rabu siang itu juga sangat cerah.

Namcha Barwa atau dalam bahasa Mandarinnya dikenal dengan Nanjiabawa Feng berada di atas ketinggian 7.782 meter dari permukaan laut dan secara administratif masuk wilayah Prefektur Nyingchi.

Inilah yang membedakan Namcha Barwa dengan Qomolongma atau puncak Everest di sisi selatan pegunungan Himalaya yang berada di atas ketinggian 8.848 meter dari permukaan laut di Prefektur Xigaze, masih di Daerah Otonomi Tibet. Qomolongma mampu mendatangkan 35.000 turis dan pendaki gunung per tahun.

Seiring dengan dibukanya pariwisata Tibet, masyarakat di sekitar Namcha Barwa menawarkan rumah tinggalnya sebagai penginapan.

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023