Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Prof. Drajat Martianto mengatakan saat ini terjadi penurunan ketahanan pangan sehingga ada kelaparan tersembunyi, meskipun secara umum kondisi ketahanan pengan Indonesia masih tergolong baik.
"Posisi Indonesia di Global Food Security Index (GFSI) mengalami penurunan setelah pandemi COVID-19," kata Prof Drajat Martianto yang dikukuhkan sebagai guru besar tetap IPB University, Sabtu, melalui keterangannya.
Menurut Prof Martianto, Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition atau tiga masalah gizi sekaligus yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas, dan kurang gizi mikro (KGM) atau yang sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi.
Baca juga: Dosen IPB: Konsumsi karbohidrat berlebih dapat tingkatkan risiko diabetes
Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini, kata dia, bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi atau hidden hunger yaitu defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, iodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.
Martianto menjelaskan penelitian menunjukkan hanya satu persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro yang mengandung karbohidrat.
Namun persoalannya, kata dia, hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani, dan kacang-kacangan.
“Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Mereka ini mengalami kelaparan tersembunyi," katanya.
Baca juga: Rektor IPB tawarkan 10 agenda nasional untuk tingkatkan ketahanan pangan
Doktor lulusan University of Phillippines ini menjelaskan, disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar.
Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas,” ujarnya.
Secara nasional, Indonesia mengalami kerugian lebih dari 50 triliun rupiah dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.
“Penganekaragaman pangan, suplementasi, dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective,” ujarnya.
Baca juga: IPB siap cermati dan laksanakan lima tugas dari Presiden
Menurutnya, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang iodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen.
"Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan," katanya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
"Posisi Indonesia di Global Food Security Index (GFSI) mengalami penurunan setelah pandemi COVID-19," kata Prof Drajat Martianto yang dikukuhkan sebagai guru besar tetap IPB University, Sabtu, melalui keterangannya.
Menurut Prof Martianto, Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition atau tiga masalah gizi sekaligus yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas, dan kurang gizi mikro (KGM) atau yang sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi.
Baca juga: Dosen IPB: Konsumsi karbohidrat berlebih dapat tingkatkan risiko diabetes
Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini, kata dia, bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi atau hidden hunger yaitu defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, iodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.
Martianto menjelaskan penelitian menunjukkan hanya satu persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro yang mengandung karbohidrat.
Namun persoalannya, kata dia, hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani, dan kacang-kacangan.
“Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Mereka ini mengalami kelaparan tersembunyi," katanya.
Baca juga: Rektor IPB tawarkan 10 agenda nasional untuk tingkatkan ketahanan pangan
Doktor lulusan University of Phillippines ini menjelaskan, disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar.
Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas,” ujarnya.
Secara nasional, Indonesia mengalami kerugian lebih dari 50 triliun rupiah dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.
“Penganekaragaman pangan, suplementasi, dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective,” ujarnya.
Baca juga: IPB siap cermati dan laksanakan lima tugas dari Presiden
Menurutnya, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang iodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen.
"Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan," katanya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022