Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta, terdapat 162.416 pekerja telah melapor di-PHK dan dirumahkan. Rinciannya, 30.137 pekerja dari 3.348 perusahaan di-PHK, sementara 132.279 pekerja dari 14.697 perusahaan dirumahkan tanpa upah. Data ini dirilis dari akun Instagram Disnakertrans dan Energi DKI Jakarta.
Jika tidak ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencegah PHK, dalam 2 bulan ke depan industri otomotif, komponen otomotif, komponen elektronik, tekstil, garmen, dan sepatu juga bakal melakukan efisiensi dengan mengurangi pekerja.
Bisa saja di DKI akan ada penambahan jumlahnya pekerja yang di PHK dari perusahaan garmen dan tekstil yang ada di wilayah Pulogadung, Cakung, Cilincing, hingga Marunda. Apalagi juga ada kabar, di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, saat ini sudah ribun orang buruh ter-PHK. Baru-baru ini Disnakertrans Jawa Barat menyampaikan, sebanyak 40.433 pekerja dirumahkan dan 3.030 pekerja terkena PHK.
Saat ini, ada dua ancaman serius yang dihadapi kaum buruh. Pertama, potensi hilangnya nyawa buruh karena masih diharuskan bekerja dan tidak diliburkan ketika yang lain melakukan physical distancing. Sedangkan yang kedua adalah darurat PHK yang akan mengancam puluhan hingga ratusan ribu buruh.
Jangan Mau Unjuk Rasa
Data tersebut, penulis ambil dari siaran pers Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang dikeluarkan mereka pada 6 April 2020, namun anehnya organisasi buruh ini konon juga yang masih “ngeyel memaksa” elemen buruh lainnya untuk terus melakukan aksi unjuk rasa ditengah pandemi Covid 19.
Rumors yang berkembang di kalangan buruh, mahasiswa dan jurnalis, mereka berencana menggelar unjuk rasa pada tanggal 22 April 2020, karena tanggal 23 April 2020 sudah memasuki bulan Ramadhan atau mereka akan menggelar aksi unjuk rasa pada tanggal 30 April 2020, sehingga jika dilaksanakan jelas akan memberatkan elemen buruh yang mengikutinya, apalagi mereka melakukannya ditengah berpuasa.
Di samping itu, walaupun sampai 6 April 2020, belum ada daerah yang memenuhi syarat untuk dilaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun tidak lama lagi kebijakan tersebut akan dilaksanakan, termasuk sebelumnya sudah ada Maklumat Kapolri yang akan membubarkan berbagai acara yang menghadirkan kerumunan orang banyak termasuk aksi unjuk rasa.
Di sisi yang lain, ancaman wabah Covid 19 belum ada tanda mereda di Indonesia, sehingga persebarannya akan mudah terjadi jika social distancing dan physical distancing tidak rigid dilaksanakan, bahkan tidak menutup kemungkinan saat aksi unjuk rasa buruh digelar, apapun motif dan tujuannya, bisa saja Covid 19 sudah menghinggapi beberapa pengunjuk rasa (semoga saja tidak), sehingga pertanyaannya adalah untuk apa ikut unjuk rasa yang berisiko kesehatan (terpapar Covid 19) dan berisiko hukum (melanggar Maklumat Kapolri, apalagi jika unjuk rasa berakhir anarkis, maka jalur hukum akan berbicara), dan sekali lagi yang menjadi korban adalah buruh, karena mereka sudah pasti di PHK ketika menjalani persidangan, serta belum tentu ada pihak-pihak yang all out membantunya. Sekali lagi, buruh dan mahasiswa jangan mau “dikapitalisasi”. Jangan ikut berunjuk rasa, siapapun yang mengajaknya. (5/*).
*) Penulis adalah, Pemerhati masalah Indonesia dan kolumnis di beberapa media massa.
Buruh Dan Mahasiswa Jangan Mau "Dikapitalisasi" Untuk Unjuk Rasa
Jumat, 10 April 2020 20:18 WIB
Sekali lagi yang menjadi korban adalah buruh, karena mereka sudah pasti di PHK ketika menjalani persidangan, serta belum tentu ada pihak-pihak yang all out membantunya.