Jakarta (ANTARA) - Penyair besar Indonesia, Amir Hamzah, diculik Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) -- sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI). Kepalanya dipenggal.
Jasadnya ditumpuk bersama 26 anggota keluarga Kesultanan Langkat, Sumatera Utara. Pelopor Pujangga Baru ini, satu di antara ratusan keluarga bangsawan Kesultanan Sumatera Timur yang dibunuh dalam pembantaian berdarah pada Maret 1946, setahun setelah Indonesia merdeka.
Petang itu, 3 Maret 1946, sekitar pukul 17.00, Amir Hamzah – yang ketika itu sebagai Wakil Pemerintah RI untuk Langkat, setara dengan bupati -- bersama istri dan anaknya, Tengku Tahura, siap-siap pulang dari Binjai ke Langkat. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Awalnya Amir Hamzah menduga ini kendaraan yang akan menjemputnya pulang. Namun, ternyata itu penculiknya. Amir dipaksa naik ke mobil. Sebelum naik, Amir berpesan pada istrinya, untuk menjaga anaknya Tengku Tahura. Pesannya, jika terjadi sesuatu, jangan dendam.
Penyair yang terkenal dengan puisi "Padamu Jua" itu dibawa ke markas pemuda di Binjai, selanjutnya dipindahkan ke Kebun Lada di Binjai. Pada 19 Maret 1946, diperkirakan sekitar pukul 23.15 WIB, Amir Hamzah dan 26 bangsawan Langkat yang ditawan, dipindahkan ke sebuah gudang perkebunan tembakau di Kuala Begumit, Binjai, kawasan yang dikenal dikuasai PKI.
Penulis, budayawan, dan tokoh Melayu, Tengku Haji Muhammad Abdullah Husny (Lah Husny), dalam bukunya berjudul, "Biografi – Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah" yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI di Jakarta pada 1978, menulis, saat diculik Amir Hamzah mengenakan kemeja putih lengan panjang, topi hitam. Amir membawa buku Surat Yasin.
Pada tanggal 20 Maret malam, Amir Hamzah yang saat itu berusia 35 tahun, dieksekusi Mandor Yang Wijaya. Jasad Amir kemudian ditumpuk dengan jasad tawanan lainnya dalam satu lubang.
Perlakuan terhadap Amir Hamzah -- tokoh penting yang memperjuangkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia tersebut -- sungguh brutal. Menurut sastrawan Nh Dini dalam bukunya "Pangeran dari Seberang", Amir Hamzah diseret tujuh orang ke tepi sebuah lubang di Kuala Begumit. Kematian telah disiapkan untuknya. Amir Hamzah meminta penutup matanya dibuka, kemudian shalat dua rakaat dan membaca beberapa ayat Al-Quran.
Setelah itu, tulis Nh Dini, Amir Hamzah diminta berlutut dan membungkuk. Mandor Yang Wijaya mengayunkan parangnya, menebas leher Amir Hamzah. "Tubuh dan kepala Amir Hamzah terpisah, diseret ke dalam lubang. Ditumpuk bersama 26 mayat yang dipenggal kepalanya, malam itu dalam sebuah tindakan yang tidak masuk akal dari Revolusi Sosial—26 eksekusi, 26 kematian atas nama pengadilan rakyat yang kejam, tindakan liar, keji, dan melanggar hukum," tulis Nh Dini.
Tulang belulang Amir Hamzah dan 26 orang lainnya, ditemukan dalam kuburan massal di perkebunan Kuala Begumit, Binjai, Kabupaten Langkat, pada 1948, dua tahun setelah pembunuhan. Setahun kemudian, kerangka Amir Hamzah dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat.
Lokasi kuburan massal diketahui setelah pemimpin dan anggota Pesindo ditangkap, setelah Tentara Rakyat Indonesia (TRI) memulihkan situasi. Tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.
Bukan revolusi sosial
Pembantaian tidak saja di Kesultanan Langkat, tapi meluas ke Kesultanan Deli, Serdang, Asahan, Batu Bara, Kualuh, Panai, Bilah, Kotapinang, hingga ke Simalugun serta Tanah Karo. Istana-istana dibakar, harta benda dirampok, perempuan-perempuan diperkosa. Alasan komunis saat itu, kesultanan merupakan lembaga feodal dan memihak Belanda. Ini alasan yang dicari-cari.
Amir Hamzah, semasa di Jawa, adalah tokoh penting Sumpah Pemuda, pejuang Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, dan antikolonialisme. Amir tidak pernah menggunakan bahasa Belanda dalam puisi-puisi karyanya, juga dalam berpidato. Padahal, sebagai lulusan MULO, Amir fasih berbahasa Belanda. Raja Penyair Pujangga Baru itu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pemerintah RI pada 1975.
Pembantaian keluarga Kesultanan di Sumatara Timur (kini Sumatera Utara) pada Maret 1946 itu, disebut sebagai "Revolusi Sosial". Benarkah ini Revolusi Sosial? Lebih tepat disebut pembataian terencana dan sistematis oleh PKI dan faksi-faksinya, yang berlanjut dengan penghapusan semua Kesultanan Melayu. Dengan pola sama, peristiwa berdarah dan penghapusan kesultanan juga terjadi di Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara.
Faksi PKI, termasuk militer prokomunis, menyerang Kesultanan Bulungan pada Juli 1964. Istana dibakar, bangsawan dibantai, sultan serta keluarganya diculik dan dibunuh. Alasan penyerangan, Kesultanan Bulungan memihak kepada Malaysia. Sejak tragedi kelam tersebut, Kesultanan Bulungan pun dihapus, diganti menjadi Wilayah Swapraja Bulungan pada 1950.
Penamaan "Revolusi Sosial" di Sumatera Timur, justru awal mula dikemukakan Dr Mohammad Amir, Wakil Gubernur Sumatera, yang banyak dikaitkan dengan tragedi kelam ini.
Dua hari setelah pembantaian, Mohammad Amir mengeluarkan pengumuman resmi pada 5 Maret 1946, dengan menyebut bahwa gerakan anti-feodal dan anti-kesultanan yang terjadi di wilayah itu sebagai Revolusi Sosial (Buku Amir Hamzah, Sebuah Kajian Biografi, hal 319).
Mohammad Amir adalah Wakil dari Gubernur Sumatera yang ketika itu dijabat Teuku Muhammad Hasan. Saat pembantaian terjadi, Teuku Mohammad Hasan sedang tugas ke daerah. Kekuasaan dijalankan Mohammad Amir. Pada 6 Maret 1946, Mohammad Amir secara resmi mengangkat M Joenoes Nasoetion (Ketua PKI Sumatera Timur) sebagai wakilnya.
Dari sini, dapat ditarik garis, bahwa gerakan – yang mereka sebut Revolusi Sosial – tersebut, terencana dan terstruktur. Ciri-ciri revolusi pun tidak tercermin dalam tragedi itu, di antaranya gerakan ini tidak dilakukan rakyat dan wilayah secara luas, melainkan mobilisasi PKI dengan sasaran penghapusan Kesultanan Melayu Sumatera Timur dan berupaya mengubahnya dengan sistem komunisme.
Revolusi sosial, yang direncanakan PKI di Sumatera Timur ini, seakan terinspirasi Revolusi Bolshevik di Uni Soviet pada 1917. Revolusi yang dipimpin tokoh komunis Vladimir Lenin ini menggulingkan pemerintahan kerajaan, monarki (Tsar) di Soviet.
Revolusi Bolshevik, telah pula mengispirasi Tiongkok berubah menjadi negara komunis melalui Revolusi Komunis yang dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) di bawah Mao Zedong, yang memenangi perang saudara melawan pemerintahan Nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek, pada 1 Oktober 1949. Semangat kedua revolusi tersebur adalah isu perbedaan kelas sosial, proletar melawan borjuis.
Genosida?
Ada pendapat menarik dari kalangan pengamat soal Revolusi Sosial di Sumatera Timur ini. Dalam buku "Amir Hamzah, Sebuah Kajian Biografi" (ditulis Muhammad Takari, Zaidan BS, dan Fadlin, dengan editor Dr Shafwan Hadi Umri, diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, 2015), pada halaman 291, penulis menyatakan "Revolusi Sosial" di Sumatera Timur ini, lebih tepat dikatakan sebagai genosida bangsawan untuk kepentingan politik kelompok komunis.(https//repositori.kemendikdasmen.go.id)
Genosida, tulis buku tersebut, adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok, dengan maksud memusnahkan dan membuat punah bangsa tersebut.
Prof Dr OK Saidin, SH, MHum berpendapat sama. Tragedi berdarah Maret 1946 tersebut, bukanlah Revolusi Sosial, melainkan pembantaian Etnik Melayu dan Etnik Simalungun serta penjarahan harta yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia.
"Itu peristiwa kriminal pembantaian dan perkosaan karena pembiaran dan kegagalan Pemerintah Indonesia mengawal keamanan wilayah negaranya," tulis Guru Besar Fakultas Hukum USU ini (baca: Pembantaian Etnik Melayu 1946: Kekejaman PKI di Sumatera Timur, www.kumparan.com 1/10/ 2021).
Alasan PKI bahwa para sultan di Sumatera Timur tidak mendukung Proklamasi Kemerdekaan, dibantah OK Saidin. Menurutnya, pada 21-23 Desember 1945 di Padang Panjang, raja-raja se-Sumatera menyatakan dukungannya terhadap pemerintah Republik dan berdiri di belakang Republik. Sultan Deli sebagai pimpinan sidang membacakan putusan Kongres Pemangku Adat/ Raja-Raja Se-Sumatera.
Begitu juga pertemuan antara raja-raja Sumatera Timur dengan Pemerintah Republik, pada tanggal 3 Februari 1946 dalam Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI). Sultan Langkat Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara menyatakan kebulatan tekad dan dukungan yang tegas terhadap Republik Indonesia. Pernyataan itu disampaikan di hadapan wakil Pemerintah Republik Indonesia yang juga Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan dan Mohammad Amir, Wakil Gubernur Sumatera.
"Persis sebulan setelah pernyataan sikap para raja Sumatera Timur itu, pembantaian pun terjadi secara masif dan sistematis. Siapa yang berkhianat kepada Republik? Jelas bukan para sultan dan raja-raja se-Sumatera Timur, tapi pemerintah pusat memiliki agenda lain untuk menghapuskan dominasi kesultanan," tulis Ketua Umum Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu (PB MABMI) tersebut.
Prof OK Saidin ikut dalam penggalian kuburan massal keluarga Kesultanan Asahan, April 2018 di sumur tua Afdeling VI PTPN III kebun Sei Dadap, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan. Ditemukan kerangka 73 korban pembantaian Maret 1946 itu. Seluruh kerangka tersebut kemudian dimakamkam di kompleks Masjid Raya Sultan Akhmadsyah, Tanjung Balai.
Pembantaian keluarga Kesultanan Melayu, yang menimbulkan banyak korban tersebut, seakan tidak pernah ada. Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 17 Tahun 2022 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023, sama sekali tidak menyentuh soal pembantaian yang dilakukan PKI di Sumatera Timur tersebut. Tragedi kelam ini, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Apakah para korban keganasan PKI itu bukan warga negara Indonesia?
*) Asro Kamal Rokan adalah Wapemred Harian Merdeka (1993-1994), Pemred Harian Republika (2003-2005), Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA (2005-2007), anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023), dan kini anggota Dewan Penasihat PWI Pusat (2025-2030).
Baca juga: Yusril terima gelar Datok Seri Indra Nara Wangsa
Baca juga: Ada 4,3 juta warga Melayu di Sumsel
Baca juga: Gelar Melayu Serumpun perkuat persaudaraan
