Jakarta (ANTARA) - Selama bertahun-tahun, perdebatan mengenai daya saing industri nasional cenderung menyeret pada masalah klasik: inefisiensi biaya logistik, ketertinggalan teknologi, atau kualitas sumber daya manusia.
Namun, jika kita melihat lebih dalam pada fakta di lapangan dan keluhan para pelaku usaha, akar masalahnya jauh lebih kompleks dan bersifat struktural.
Sebagai contoh, World Economic Forum (WEF) dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) telah berulang kali menyoroti bahwa peringkat daya saing Indonesia masih tertahan, khususnya pada pilar-pilar fundamental seperti infrastruktur dan institusi, yang memang terkait langsung dengan kepastian regulasi.
Industri kita saat ini bukan hanya berjuang di arena persaingan yang keras, tetapi juga menghadapi tekanan ganda yang datang dari berbagai arah, layaknya seorang atlet yang dipaksa bertanding dengan beban ganda.
Tekanan pertama datang dari dalam negeri, berbentuk tumpukan aturan yang rumit dan tumpang tindih. Para pelaku usaha kerap kali mengeluhkan energi dan modal mereka terkuras hanya untuk memenuhi berbagai perizinan yang saling kontradiktif antara satu kementerian dengan kementerian lain.
Kondisi ini, seperti yang diakui langsung oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, telah mengakibatkan investasi tertahan, pembangunan kapasitas produksi terhambat, dan iklim usaha menjadi tidak pasti.
Investor, baik domestik maupun asing, akan selalu menghindari tempat yang aturan mainnya tidak jelas. Keruwetan regulasi, disitat dari berbagai kajian hukum dan ekonomi, telah lama menjadi tembok tebal penghalang investasi.
Kekacauan regulasi ini berdampak nyata pada sektor-sektor kunci. Ambil contoh sektor Industri Karet. Meskipun Indonesia menyandang status sebagai produsen karet terbesar kedua di dunia, kita gagal mengoptimalkan nilai tambahnya.
Mengapa? Karena ketiadaan regulasi yang tegas dan insentif yang kuat untuk hilirisasi —pengolahan karet mentah menjadi produk bernilai tinggi seperti ban atau sarung tangan medis. Tanpa aturan yang memihak, potensi besar ini terus menguap, membuat potensi industri yang seharusnya menjadi raksasa hanya menjadi kurcaci.
Di saat industri domestik sedang berjuang di tengah keruwetan aturan internal, mereka juga harus menghadapi tekanan kedua yang lebih agresif, yaitu dari luar. Pasar Indonesia, yang memiliki populasi besar, telah menjadi sasaran empuk produk-produk asing.
Menperin secara terbuka menegaskan bahwa banyak industri lokal yang punya potensi, terpaksa tumbang bukan karena tidak mampu, melainkan karena pasar domestik dibanjiri produk impor, baik yang masuk secara legal maupun yang ilegal.
Serbuan ini secara langsung memotong pangsa pasar industri lokal, menghilangkan insentif untuk berproduksi, dan memadamkan semangat inovasi.
Dalam konteks ekonomi global, desakan untuk membuka pasar seluas-luasnya sering dikaitkan dengan paham neoliberalisme. Namun, perdebatan ini perlu diletakkan dalam konteks yang proporsional.
Menperin memberikan argumen balasan yang kuat: negara-negara yang dianggap menganut liberalisme pasar, seperti Amerika Serikat, faktanya juga menggunakan Hambatan Non-Tarif (NTM) hingga sekitar 5.000, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang baru sekitar 2.025.
Data ini menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah terisolasi dalam upaya melindungi diri; justru kita memiliki hak dan ruang untuk lebih tegas. Mengingat 80 persen output industri diserap pasar lokal, melindungi pasar domestik harus menjadi prioritas tertinggi.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri strategis, bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI.
