Depok (ANTARA) - Universitas Indonesia (UI) melalui Direktorat Internasionalisasi Pendidikan menghadirkan Former President, PCST Global Network for Science Communication, Prof. Cho Sook Kyoung, dalam kuliah tamu bertajuk “Sains, Budaya, dan Komunikasi Sains untuk Masyarakat AI”.
Kepala Subdit Operasional Program Kelas Internasional dan Mobilitas UI Alfrida Esther Madame Hutapea dalam keterangannya, Sabtu mengatakan topik ini sangat relevan di era kecerdasan buatan (AI) yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
“Topik ini sangat menarik dan tepat karena kita sekarang hidup di era di mana kecerdasan buatan bukan lagi konsep yang jauh, tetapi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. AI membuka cara-cara baru dalam belajar, memungkinkan eksplorasi ide baru, analisis data, hingga ekspresi kreativitas yang sebelumnya tidak terbayangkan,” ujar Alfrida.
Kuliah umum ini bertujuan untuk memperluas wawasan sivitas akademika mengenai hubungan perkembangan sains dan budaya dalam era kecerdasan buatan.
Serta meningkatkan kemampuan komunikasi sains agar hasil riset dan inovasi dapat dipahami, diakses, dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Setelah mengikuti kuliah ini, para mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi pengguna AI yang cerdas, tetapi juga komunikator yang bijaksana dan inovator yang bertanggung jawab.
“Kita sebagai komunikator dan inovator berperan penting dalam membentuk masyarakat yang lebih baik dan lebih berpusat pada manusia melalui sains dan teknologi,” kata Alfrida.
Prof. Cho—yang merupakan akademisi terkemuka di bidang komunikasi sains dan teknologi energi—membahas perkembangan historis AI, evolusinya, dan implikasinya bagi masyarakat.
Ia menekankan pentingnya komunikasi sains. “Misi utama mengingatkan kita bahwa komunikasi sains bukanlah pilihan. Ini adalah keharusan dan esensial yang memungkinkan masyarakat untuk menjembatani kesenjangan antara ahli dan warga,” ujarnya.
Ia menyoroti adanya tantangan yang ditimbulkan oleh AI, termasuk konsumsi energi, disinformasi, dan kepercayaan publik.
Untuk itu, pendekatan komunikasi sains perlu mempertimbangkan konteks budaya, terutama di Asia, karena nilai-nilai, norma sosial, dan cara pandang masyarakat terhadap ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh tradisi, kepercayaan, serta struktur sosial yang beragam.
“Meskipun produksi dan pemahaman sains dalam komunitas ilmiah bersifat global, tetapi cara sains dikomunikasikan dan dipahami oleh masyarakat berbeda antara negara-negara Barat dan negara-negara Asia. Oleh karena itu, kita perlu membentuk jaringan komunikasi sains Asia untuk mengembangkan strategi yang efektif di wilayah tersebut,” kata Prof. Cho.
