Jakarta (ANTARA) - Permasalahan singkong dan tetes tebu menjadi perhatian serius pemerintah karena menyangkut nasib jutaan petani kecil dan buruh tani di berbagai daerah sentra produksi.
Di tengah keresahan tersebut, Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung dengan memberikan atensi khusus terhadap persoalan yang kian mendesak untuk segera dicarikan solusinya ini.
Rapat terbatas yang digelar pada pertengahan September itu digelar di Hambalang, menjadi wadah koordinasi guna merumuskan langkah cepat serta kebijakan tepat agar petani tidak semakin dirugikan.
Atensi Presiden ini memberi harapan baru bagi petani singkong dan tebu bahwa suara mereka benar-benar didengar dan dicarikan jalan keluar demi keberlanjutan usaha tani di tanah air.
Keresahan petani singkong
Lampung sebagai sentra produksi singkong menyumbang 70 persen produksi nasional, tetapi para petani di sini kerap dihantui keresahan harga jual hasil panen jatuh.
Setiap panen, mereka hanya bisa pasrah ketika harga singkong ditetapkan rendah, bahkan dipotong hingga sepertiga dari nilai sebenarnya. Rugi bukan lagi cerita satu-dua orang, melainkan jeritan bersama.
Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI), Dasrul Aswin, menggambarkan kondisi pelik yang dialami petani singkong selama dua tahun terakhir akibat anjloknya harga dan potongan rafaksi mencekik.
Sejak pertengahan 2024 harga singkong hanya berkisar Rp1.320 hingga Rp1.340 per kilogram, tetapi dipotong rafaksi mencapai 30 hingga 60 persen, jauh dari kondisi wajar. Hasil akhirnya, singkong dihargai hanya sekitar Rp675 per kilogram.
Padahal biaya produksi yang dikeluarkan petani rata-rata Rp740 per kilogram, mulai dari pengolahan hingga panen. Kondisi ini membuat keuntungan nyaris hilang, bahkan kerugian menimpa banyak petani singkong.
Kesulitan makin bertambah karena timbangan pabrik disebut tidak transparan. Dalam sekali muatan truk, petani bisa kehilangan berat hingga enam kuintal, sedangkan fuso berkapasitas 25 ton dapat hilang dua ton.
Keadaan terpuruk itu sempat mendorong aksi-aksi petani. Dari demonstrasi berulang hingga pertemuan dengan pemerintah. Mereka menuntut harga layak Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen.
Harapan petani kembali muncul setelah pemerintah menetapkan harga singkong minimal Rp1.350 per kilogram.
Kondisi ini berdampak luas. Obat-obatan pertanian menumpuk tak terbeli, tenaga kerja harian kehilangan pekerjaan, dan lahan singkong mulai terbengkalai karena pemilik enggan menambah biaya perawatan.
Tetes tebu anjlok
Di tengah geliat musim giling, banyak pabrik gula di Indonesia justru dipenuhi aroma kekhawatiran. Tangki-tangki penyimpanan yang biasanya menjadi penopang produksi kini sesak oleh tumpukan tetes tebu yang tak terserap pasar.
Selama bertahun-tahun, harga tetes tebu relatif stabil dan menjadi tumpuan tambahan penghasilan petani. Namun, sejak awal 2025, kondisi berubah drastis setelah pasar domestik dibanjiri etanol dan molase murah asal Thailand.
Harga tetes tebu atau molasses, salah satu produk turunan utama dari industri gula, terjun bebas hingga menyentuh Rp900 per kilogram. Padahal, selama lima tahun terakhir, harga tetes stabil di kisaran Rp2.100 per kilogram tanpa pernah mengalami penurunan berarti.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Fatchuddin Rosyidi, menilai kebijakan impor yang dibuka lewat Permendag Nomor 16 Tahun 2025 membuat produk lokal kehilangan daya saing hingga harga anjlok ke titik terendah.
Akibatnya, sekitar 60 persen dari total produksi nasional yang mencapai 1,6 juta ton tidak lagi terserap, hanya tersimpan di tangki pabrik dengan risiko menghentikan jalannya penggilingan jika kapasitas penuh.
Kini, dengan adanya kebijakan pembatasan impor etanol, harapan itu menyeruak. APTRI menilai kebijakan itu sebagai bentuk perhatian dan keberpihakan pemerintah dalam memberikan semangat baru bagi petani tebu di seluruh Indonesia.
Negara hadir
Atas arahan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah resmi menerbitkan dua Permendag yang memperketat impor ubi kayu, tapioka, dan etanol demi melindungi petani dalam negeri.
Kebijakan ini hadir sebagai jawaban nyata atas krisis harga singkong yang sempat menjerat petani, memastikan penyerapan hasil panen lokal, serta menjaga stabilitas harga nasional.
Kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memperkuat fakta bahwa impor tapioka menjadi penyebab utama jatuhnya harga, sehingga pemerintah segera merancang pertemuan khusus antara petani, industri, dan regulator.
Impor yang berlebihan membuat industri lebih memilih bahan murah dari luar negeri, sementara potongan harga hingga 60 persen semakin menjerat petani dalam kerugian besar.
Puncak perjuangan terjadi pada 19 September 2025, ketika Amran mengumumkan Larangan Terbatas impor tapioka dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Pertanian.
Tak sampai 24 jam, Menteri Perdagangan Budi Santoso menandatangani peraturan memperketat impor ubi kayu, tapioka, dan etanol demi melindungi petani dan industri.
Pemerintah memperkuat perlindungan petani singkong dan tebu dengan memastikan hasil panen terserap industri, menjaga kestabilan harga.
Upaya ini juga sejalan dengan visi swasembada pangan, energi, dan gula nasional, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi hijau melalui tata kelola pasokan bahan baku strategis yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Baca juga: Menteri Pertanian atasi soal singkong di Lampung
Baca juga: Membentuk ekosistem produksi singkong dan momentum kemandirian pangan
Baca juga: ID FOOD terus lakukan penyerapan gula petani musim giling 2025
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp1,5 triliun serap gula petani tebu
