Malang (Antaranews Megapolitan) - Saat ini idealisme perfilman di Tanah Air masih terseok-seok, demikian kata Staf Khusus (stafsus) Bidang Komunikasi Publik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nasrullah.
"Saat ini industri perfilman kita memang berada di antara idealisme dan industri. Dalam industri perfilman kita cukup bagus, namun idealisme perfilman kita masih terseok-seok," kata Nasrullah dalam Movie Talk dengan tema "Film Indonesia: Antara Idealisme dan Industri" di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Malang, Jawa Timur, Selasa.
Mantan Kepala Humas UMM itu mengatakan, Indonesia perlu kemajuan ekonomi dari industri kreatif. Namun, dalam industri kreatif, termasuk perfilman, Indonesia punya budaya yang harus dikenalkan kepada dunia.
Sementara itu, Produser dan Youtuber Bayu Skak mengemukakan hingga saat ini jumlah film yang mengangkat budaya, termasuk menggunakan bahasa daerah bisa dihitung dengan jari, karena sebagian besar pelaku perfilman sulit keluar dari zona nyaman untuk memberikan suatu karya yang berbeda.
"Kalau sekarang di Indonesia lagi ada film ramai satu, misal horor, semua bikin horor. Dulu cinta-cintaan ramai, semua bikin cinta-cintaan, karena mereka gak bisa keluar dari zona nyaman. Jadi mereka bikin film di lingkaran-lingkaran itu saja," tuturnya.
Padahal untuk mengenalkan dan mempertahankan bahasa serta budaya daerah ini, salah satunya bisa melalui film. Sebab, film dapat menjadi alat untuk mempertahankan budaya asli sebuah daerah.
Lebih lanjut, Bayu menerangkan berbeda dengan negara maju seperti Amerika dan Selandia Baru. Ketentuan penayangan film di bioskop di Indonesia masih dipegang oleh para pemilik bioskop.
"Jadi orang yang punya bioskop itu adalah dewa. Kalau di Selandia Baru atau Amerika yang 'nge-gong-in' itu pemerintah. Pemerintah yang nonton dulu, misal ini Pusbangnya. Jadi kalau ini deal semua, bioskop-bioskop siap menanyangkan," kata Bayu.
Lebih lanjut, pria yang berhasil menelurkan film Indonesia pertama yang menggunakan bahasa Jawa dan tayang di bioskop di seluruh Indonesia berjudul "Yo Wis Ben" ini menyampaikan perjuangan untuk mengangkat bahasa daerah perlu terus dilakukan.
Ia mengaku kekuatan tekadnya untuk membuat film berbahasa Jawa logat Malangan ini juga mendapat apresiasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy.
Ketua Program Studi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM, M Himawan Sutanto menjelaskan, Indonesia menjadi negara yang masih minim menggunakan bahasa daerah pada berbagai film yang dihasilkannya.
"Jika Korea Selatan memiliki puluhan sekolah film dan India ratusan sekolah film, Indonesia yang masih jarang. Kami berharap teman-teman, utamanya dari luar Jawa dan dari pulau-pulau yang terpinggirkan bisa mengembangkan film yang sifatnya lebih lokal, kuat dan matang," ucapnya.
Sementara itu, Rudy Satrio Lelono seorang Praktisi Media dan Film menyampaikan hingga saat ini dunia perfilman Indonesia maupun pemerintah, tidak pernah melakukan riset khusus tentang film yang dikeluarkan di pasaran.
Padahal, jika penonton ini diriset dengan jelas, para produser atau sutradara akan lebih mudah menentukan langkah untuk membuat yang selanjutnya. Meski demikian, Rudi menekankan pada para seniman film untuk mempertahankan keaslian karya yang dimiliki.
"Kuncinya satu orisinalitas, kita jujur dengan ide dan karya kita," tuturnya.
Perfilman Indonesia, antara idealisme dan industri
Selasa, 18 September 2018 23:23 WIB
Dalam industri perfilman kita cukup bagus, namun idealisme perfilman kita masih terseok-seok.