Jakarta (ANTARA) - Banjir informasi datang dari segala arah hingga bisa memporak-porandakan isi kepala kita.
Produksi informasi yang telah dibumbui teknologi dan bias pribadi makin menimbulkan kebingungan massal karena terciptanya banyak kepalsuan, sehingga penting untuk tetap merawat akal sehat agar tak tergulung gelombang sampah informasi tersebut.
“Informasi yang berlimpah tanpa konteks hanya melahirkan kebingungan, bukan pengetahuan”, kata filsuf kontemporer Neil Postman – dalam Amusing Ourselves to Death (1985).
Sekarang kita sedang berada pada realita itu: berkelimpahan informasi tanpa konfirmasi dan verifikasi yang membanjiri layar gawai setiap hari. Apalagi pemanfaatan teknologi akal imitasi yang tidak dilandasi etika dan moral dengan mudah memproduksi informasi penuh kepalsuan.
Data terbaru per awal tahun 2025 dari We Are Social --dipublikasikan lewat DataReportal-- menunjukkan sebanyak 212 juta jiwa, setara dengan 74,6 persen dari total populasi Indonesia merupakan pengguna internet. Sedangkan pengguna media sosial sejumlah 143 juta identitas pengguna atau sekitar 50,2 persen dari keseluruhan penduduk. Dan koneksi seluler aktif terdata sekira 356 juta, atau 125 persen dari populasi, yang artinya banyak orang memiliki lebih dari satu koneksi seluler.
Maka bisa dibaca bahwa 3 dari 4 orang di Indonesia berada dalam jaringan, dan setengah populasi juga aktif di media sosial yang menjadi arena pertempuran informasi harian.
Dalam berbagai kesempatan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menegaskan bahwa tugas dan peran media arus utama adalah sebagai penjernih informasi.
Menjadi tugas media massa arus utama untuk mengambil peran sebagai penjernih informasi karena sejak mula kehadirannya telah memiliki fitrah dalam fungsi edukasi publik.
Media massa, dari pendiri hingga jurnalis di lapangan adalah SDM profesional di bidang pemberitaan, yang bekerja berdasarkan idealisme dan berpedoman kode etik sehingga setiap berita diproduksi dan disebarluaskan secara bertanggung jawab.
Pada bagian lain, sebagian masyarakat yang merupakan konsumen media, lebih meminati sensasi ketimbang edukasi. Kecondongan yang membuat kerumunan warganet berada di media sosial, platform yang dirasa lebih menghibur.
Selera receh warganet tak urung bisa membuat para penyaji informasi berkualitas menjadi frustrasi, karena produk berita yang melewati proses sedemikian rupa untuk memenuhi standar layak siar akan kalah laku dengan konten medsos yang dibuat serampangan tapi dianggap lucu.
Akal sehat
Kita bisa kembali sehat bersama-sama dengan cara:
Pertama, media massa harus meneguhkan peran sebagai penjernih informasi dengan hanya memproduksi dan menyebarkan berita penting untuk diketahui publik.
Kedya, media sosial diarahkan untuk lebih banyak memproduksi konten-konten edukatif.
Kemudian kesadaran manusia untuk hanya membuat dan menyebarkan konten baik yang bermanfaat, menjadi hal mendasar dalam memperbaiki perwajahan medsos agar tak menimbulkan polusi informasi.
Ketiga, warganet harus diedukasi untuk lebih memilih konten-konten yang sehat. Bila para kreator membuat konten sensasional demi berburu cuan, sebenarnya audiens punya pilihan untuk tidak menontonnya.
Merawat akal sehat dapat diwujudkan lewat kemampuan membedakan fakta atau opini, sumber kredibel atau abal-abal. Penting untuk bersikap kritis agar tak sekadar menerima, tetapi memeriksa dan membandingkan.
Banjir informasi bukan hanya soal konten, tapi intensitas dan kecepatan yang bisa membuat otak kewalahan.
Langkah lain dalam merawat akal sehat adalah dengan memilih sumber berita kredibel dan terverifikasi, mengatur waktu konsumsi media, atau sesekali mengambil jeda dan “puasa” informasi.
Baca juga: Masyarakat disarankan pilih informasi demi kesehatan mental
