Jakarta (ANTARA) - Menteri lingkungan hidup pertama Indonesia, Emil Salim, pernah mengatakan perlunya memperlakukan alam sebagaimana hidup manusia, mengingat saling ketergantungan antara semua makhluk ciptaan Tuhan.
Hidup ini, menurut Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup itu, adalah anugerah ilahi tidak hanya kepada manusia tapi juga flora dan fauna yang ada. Dengan keterkaitan seluruh ciptaan Tuhan menopang kehidupan agar terus berjalan, sebuah simbiosis yang haris dijaga keseimbangannya.
Ikatan antara alam dan kehidupan itu juga menjadi pegangan Oday Kodariyah, penerima Kalpataru Lestari. Perempuan asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang akrab disapa Mamah Oday itu paham betul peran penting alam ketika ketika mulai mempelajari tanam obat yang menjadi kearifan lokal Indonesia.
Vonis kanker pada awal 1990-an membuat Mamah Oday, yang kini berusia 72 tahun, berikhtiar untuk hidup dengan mempelajari ilmu yang sudah nenek moyangnya wariskan untuk penggunaan dan pemanfaatan tanaman obat. Dalam proses untuk mencapai agar dapat pulih seperti saat ini, dia mulai menanam tanaman obat di halaman rumahnya di Kabupaten Bandung.
Berhasil sembuh dari kanker, dia kemudian mendirikan Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam dan berhasil melestarikan sekitar 900 spesies tanaman obat di kebunnya. Dari satu setek ke setek lain, dia menanam setiap jenis vegetasi itu satu per satu, memastikan tanaman itu tumbuh agar dapat dilihat, dipergunakan dan diketahui oleh masyarakat luas.
Atas usaha dan keberhasilannya mendirikan Kawasan Konservasi Tanaman Obat dan Hutan Bambu itu, Mamah Oday kemudian mendapatkan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 dalam kategori perintis lingkungan.
Mengaku sempat dicibir karena berusaha melestarikan tanaman obat di tengah gempuran obat-obatan modern, Mamah Oday terus konsisten mengembangkan upaya konservasi tersebut.
Mempertahankan tanaman obat agar terus dikenal oleh masyarakat Indonesia kini menjadi misi dalam hidupnya. Dia sudah jatuh cinta dengan kearifan lokal yang kini sering dipandang sebelah mata oleh khalayak karena dianggap kuno atau bahkan dituduh hanya menjadi efek placebo.
Dimulai dari mengembangkan herbarium atau koleksi spesimen tumbuhan untuk tujuan ilmiah, dia juga mengembangkan laboratorium herbal untuk pengobatan klinis dan tradisional pada 2020. Memastikan kearifan itu akan terus berlanjut, bekerja sama dengan mitra dia kemudian mengembangkan pusat pelatihan Global Herbspreneur Academy dan mengkader 900 anak sebagai duta KTO Sari Alam untuk mempromosikan tanaman obat.
Atas konsistensinya meski sudah menerima Kalpataru sebagai penghargaan lingkungan hidup tertinggi di Indonesia, Mamah Oday kemudian mendapatkan Kalpataru Lestari pada 5 Juni di acara peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 yang diberikan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.
Penghargaan itu diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kepada mereka yang terus bertahan melakukan aktivitas dan mengembangkan kegiatan yang berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Untuk tahun ini, Kalpataru Lestari diberikan kepada 12 pahlawan lingkungan hidup.
Meski sudah dua kali menerima Kalpataru, Mamah Oday mengaku tidak akan pernah berhenti untuk bekerja melestarikan tanaman obat. Bukan hanya untuk diri sendiri, keluarga atau bahkan warga sekitar kebunnya, tapi juga masyarakat Indonesia.
"Saya sudah siap dengan segala tantangannya untuk mempertahankan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia," katanya.
Penghargaan Kalpataru dilihatnya sebagai kepercayaan dari bangsa untuk terus berupaya melestarikan tanaman obat, sebuah tanggung jawab yang akan dibawanya sampai menutup usia.

Hidupkan sungai mati
Pentingnya ikatan alam dan manusia itu juga menjadi pegangan bagi I Nyoman Sukra, salah satu penerima penghargaan Kalpataru Lestari 2025.
Pria yang akrab disapa Nyoman Dolphin itu menjadi saksi hidup bagaimana konsistensi untuk menjaga alam dapat menghidupkan kembali sungai yang mati karena pencemaran.
Tumbuh besar di salah satu wilayah pariwisata paling terkenal di Indonesia, atau bahkan di dunia, Nyoman Dolphin menyadari peliknya masalah lingkungan di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, ketika melihat kerusakan di wilayah Sungai Tukad Mati dan mangrove yang berada di sekitarnya. Kawasan itu rusak karena menjadi tempat pembuangan sampah liar.
Tidak hanya sampah, masyarakat juga harus menghadapi kenyataan banyak kayu mangrove ditebang. Jangankan burung bernyanyi, bahkan biawak pun tidak dapat ditemukan, memperlihatkan skala kerusakan yang terjadi.
Di tengah gegap gempita wisata Bali dan segala keriuhannya, dia menyadari bahwa langkah drastis harus dilakukan untuk memulihkan sungai dan kawasan mangrove, salah satu ruang terbuka hijau yang diperlukan masyarakat.
Kawasan itu juga menjadi benteng terakhir menghalau banjir untuk wilayah pariwisata Kuta, Legian dan Seminyak, yang saat itu menghadapi potensi abrasi karena ketiadaan bentang alam penghalang gelombang dan arus laut.
Bersama Komunitas Peduli Sungai Tukad Mati Lestari Kuta dan Kelompok Nelayan Prapat Agung Mangening Patasari, dia kemudian bergerak melakukan penanaman dan pembersihan yang berhasil mentransformasi 12 hektare menjadi wilayah yang asri.
Atas upaya komunitas itu, mereka kemudian diganjar Kalpataru pada 2019 atas penyelamatan sungai dan mangrove di Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya.
Upaya itu konsisten dilakukan hingga kini wilayahnya bertambah menjadi 25 hektare. Tidak hanya itu, pihaknya terus melakukan pembibitan sekitar 25 ribu bibit per tahun untuk vegetasi mangrove, buah-buahan dan tanaman lain, yang diberikan ke masyarakat yang membutuhkan.
Pihaknya kemudian membina 49 masyarakat sekitar untuk melakukan patroli dan membersihkan sungai paling tidak tiga kali dalam sepekan. Ketika musim hujan datang banyak sampah berakhir di muara sungai. Kolaborasi juga dilakukan dengan kelompok nelayan lain.
Pria berusia 50 tahun itu juga menjadi pendamping perhutanan sosial yang berada di Bali dan pembina komunitas penggiat lingkungan yang ada di wilayah tersebut. Terus dilakukan pula sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait sampah, mengingatkan bahwa sungai adalah halaman depan rumah, wajah dari Bali yang harus dijaga kelestariannya.
Dia memastikan aksi itu akan terus dilakukan bersama komunitas setempat untuk menyadarkan di balik gemerlap wisata ada yang perlu diselamatkan. Sungai Tukad Mati dan kawasan mangrove di sekitarnya diharapkan menjadi paru-paru tidak hanya bagi warga Kuta, tapi juga mereka yang datang berkunjung untuk melihat keindahan Bali.
Konsistensi kemudian menjadi kunci untuk memastikan bahwa hubungan simbiosis antara manusia dengan alam terus terjaga. Tidak hanya untuk para pejuang lingkungan seperti Mamah Oday dan Nyoman Dolphin, tapi juga masyarakat secara umum.
Setiap langkah kecil yang konsisten, memilah sampah dan menggunakan produk ramah lingkungan, akan menciptakan gelombang perubahan besar. Karena Bumi tidak membutuhkan kita, kitalah yang membutuhkan Bumi yang asri.